Senin, 14 Februari 2011

Menguak Hebatnya Aspal Buton


PERTAMBANGAN

Menguak Hebatnya Aspal Buton

Oleh YUNI IKAWATI

Aspal alam hanya ditemukan di dua tempat di dunia ini, yaitu Trinidad dan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Keberadaan sumber tambang ini telah diketahui pada 1920, tetapi tak tergali dengan baik. Inovasi lalu dilakukan untuk mengolahnya secara efisien hingga mampu menyaingi aspal dari minyak bumi yang mulai langka dan mahal.

Aspal merupakan salah satu material penting dalam pembuatan jalan di Indonesia. Namun, karena kelemahannya, yaitu mudah hancur akibat beban berat dan panas matahari serta genangan banjir, mendorong pihak pengelola menggunakan beton berangka besi. Padahal, beton relatif lebih mahal serta sulit pengerjaan dan perbaikannya.

Di antara dua material itu ada aspal alam yang lebih optimal dibandingkan keduanya. Aspal alam yang dikenal di dunia saat ini adalah Trinidad Lake Asphalt (TLA). Padahal, selain dari Pulau Trinidad di Laut Karibia itu ada aspal alam di Pulau Buton (Asbuton) yang sesungguhnya lebih unggul.

Dari segi cadangan, Asbuton jauh lebih besar dari TLA. Cadangannya mencapai 163,9 juta ton. Bahkan, perkiraan lain menyebutkan 450 juta ton, berarti tergolong terbesar di dunia. Usia pemanfaatan cadangannya ditaksir 200 tahun ke depan.

Meski kandungan aspal masih melimpah, sejak 1970-an, tambang ini mulai ditinggalkan karena tingginya biaya operasi yang tidak lagi sebanding dengan pendapatannya.

”Masalah sesungguhnya karena penerapan teknik ekstraksi atau pemurnian konvensional yang tak efisien,” kata Lisminto, penemu teknik baru pemurnian aspal Buton.

Dipisahkan

Pada proses lama, bitumen aspal lebih dulu dilarutkan dalam pelarut organik, lalu dipisahkan dari unsur pelarutnya dengan cara destilasi.

Dengan cara ini sulit menarik bitumen atau material aspal yang tersembunyi dalam matrik batuan induk. Karena itu, diperlukan ekstraktor bertahap banyak. Ini artinya perlu investasi besar.

Lisminto, lulusan S-1 Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, berhasil menemukan teknik baru. Pada teknik baru itu, pelarutan aspal menggunakan kimia khusus dan proses pemurnian dilakukan dalam media air laut.

Saat batuan induk pecah, bitumen akan keluar dengan sendirinya dan mengapung di air asin. Karena itu, bitumen dengan mudah dapat dipisahkan dari larutan. Proses ini dilakukan pada suhu dan tekanan atmosfer sehingga memperkecil terjadinya pembakaran material. Sederhana, mudah, dan murah, itulah kelebihan teknik yang disebutnya ”pemurnian aspal Buton dengan teknologi ekstraksi terbalik”.

Inovasi ini sesungguhnya bukan lagi tergolong baru karena telah dipatenkan di lembaga paten Indonesia, Jepang, dan Australia pada 1996.

Aplikasi teknik ini, menurut dia, bisa menghemat devisa 75 juta dollar AS karena investasi total hanya 25 juta dollar AS dengan fabrikasi di dalam negeri. Sementara teknologi lain bisa mencapai 100 juta dollar AS.

Penggunaan sumber tambang di dalam negeri juga dapat menekan impor aspal sebesar satu juta ton per tahun sehingga tercipta swasembada aspal nasional. Sebab, teknologi ekstraksi terbalik ini dapat menghasilkan aspal berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

Hal ini memungkinkan jaringan jalan kelas satu sebagai infrastruktur industri juga berkembang. Dan, terbukanya industri di Buton akan membuka lapangan kerja penduduk sekitar.

Hasil samping

Meski inovasi itu memiliki prospek bisnis dan sosial yang baik, rupanya kemudian kurang mendapat sambutan pemerintah dan perusahaan pertambangan. Hal ini tak membuatnya patah semangat. Secara konsisten, Lisminto terus berkutat dengan riset aspal hingga pengembangan pabrik.

Pabrik percontohan berkapasitas satu ton per jam berhasil dibangun dengan dana Rp 200 juta. Produknya telah diuji Puslitbang Jalan Binamarga dan dinyatakan sebagai aspal bermutu. Uji laboratorium dan uji lapangan menunjukkan, sifat produknya setara dengan Trinidad Lake Asphalt.

Teknologi proses ini bahkan menghasilkan produk samping yang sangat potensial, yaitu gipsum dan karbon dioksida. Gipsum adalah bahan baku semen yang masih diimpor 2 juta ton per tahun. Adapun oksida karbon dapat dikonversi menjadi es kering guna mengawetkan ikan. Dari setiap ton produk aspal itu dihasilkan 1,45 ton gipsum dan 0,47 ton es kering.

Pengembangan baru

Melalui pengembangan aspal yang terus-menerus sejak 15 tahun lalu di laboratorium dan pabrik yang dijuluki ”Rumah Teknologi Aspal”, berhasil diatasi lima masalah yang ditemukan pada aspal Buton yang dibuat selama ini, yaitu soal adesivitas, kesulitannya dalam pengolahan, pemadatan, fleksibilitas, dan hambatan distribusinya.

Hasil olahan aspal Buton terbaru ini diberi nama BNA (Buton Natural Asphalt), yang didesain sebagai ”cloning” TLA.

Produk ini kemudian mulai menarik perusahaan lain untuk bermitra, antara lain Adhi Jaya, Pertamina, dan PT Timah (Persero).

Pertamina juga tertarik untuk ikut terlibat dalam pengembangan aspal Buton.

Pengembangan BNA diharapkan dapat mengikuti ”kisah sukses TLA” yang sudah terbukti sebagai bahan konstruksi andal selama lebih dari 100 tahun.***

Sumber : Kompas, Selasa, 4 Januari 2011 | 04:34 WIB

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Andrean Palonggam

Jumat, 7 Januari 2011 | 19:46 WIB

Hebat!!! Segera realisir..

Balas tanggapan

  • Benny Djutrisno

Rabu, 5 Januari 2011 | 14:19 WIB

Bu Yuni Ikawati dan Yth pak Lisminto,kami sangat mendukung upaya bapak yang tanpa kenal lelah,demi menghasilkan"Aspal Nasional" yang berkualitas "International".sampai jumpa lagi diseminar tentang ASPAL. Selamat Berjuang.

Balas tanggapan

  • joe gultom

Selasa, 4 Januari 2011 | 11:52 WIB

maju terus para peneliti Indonesia ^.^v

Balas tanggapan

Kamis, 10 Februari 2011

"Jurig Supa" dari Karawang

MISA SUWARSA

"Jurig Supa" dari Karawang

MISA SUWARSA. (KOMPAS/DEDI MUHTADI)***

Oleh Dedi Muhtadi

Misa Suwarsa, praktisi mikrobiologi yang juga petani jamur merang di Desa Mekarjati, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri. Kini dia dikenal sebagai ahli ”supa” alias jamur.

Misa seperti menjalani konsep Restorasi Meiji, manabu (belajar), maneru (meniru), dan nusumu (mencuri) ilmu pengetahuan dan teknologi. Doktor teknik kimia Institut Teknologi Bandung (1985) ini berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri. Setelah 30 tahun dia mengembangkan bibit itu, kini mantan pegawai Badan Tenaga Nuklir Nasional itu berhasil menjadi jurig supa (bahasa Sunda) atau hantu jamur. Misa dianggap sebagai ahli atau tukang jamur.

Selain pernah dikucilkan keluarga, ia juga dikucilkan almamater akibat tindakan ”restorasinya” dari ranah intelektual akademis ke pematang sawah. ”Ijazah S-3 hingga kini belum pernah saya pegang karena harus ditebus Rp 200 juta. Saya tidak mau…,” ujarnya.

Kisahnya dimulai tahun 1989-an ketika ia memutuskan keluar dari pengajar di ITB dan beralih menjadi petani jamur. ”Saat itu gaji saya sudah Rp 1.920 juta, ketika (nilai satu) dollar AS masih Rp 1.500,” kenangnya.

Keputusannya itu mengundang kemarahan orangtuanya. Ia lalu diusir dari keluarganya di Depok. Hanya dengan bekal Rp 10.000, ia pun harus meninggalkan keluarga besarnya. ”Itu uang dari ibu saya,” katanya.

Misa dianggap intelektual dungu. Dengan bekal uang dan baju seadanya, ia pergi ke Karawang. Daerah lumbung padi ini merupakan kawasan potensial budidaya jamur merang.

Setiba di Karawang, Misa langsung mencari kubung, bekas budidaya jamur yang sudah tidak dipakai di Tanjungpura, perbatasan Karawang-Bekasi. Dia berjalan kaki berkilo-kilometer menyusuri irigasi mencari pemilik kubung untuk meminjamnya.

Hari sudah malam setiba di dekat kubung. ”Saya tidur di kandang kambing karena petani ini anaknya 12 orang,” kenangnya.

Petani miskin yang ditemuinya itu tertarik dengan cerita Misa soal budidaya jamur, tetapi tidak punya modal untuk membudidayakannya. Sementara empat kubung yang tersedia di sana harus disewa Rp 200.000 per kubung.

Misa pun kemudian meminjam uang ”monyet” (pinjaman rentenir). Jika pinjam Rp 200.00, harus kembali Rp 300.000 dalam sebulan.

Mereka butuh modal Rp 600.000 untuk media tanam, yakni jerami dan kapas. Uang yang tersedia adalah uang ”setan” atau ”uang iblis”.

Warga desa menyebut uang pinjaman itu demikian karena pengembalian uang panas itu amat menjerat. Jika pinjam Rp 600.000, harus kembali Rp 1,2 juta dalam sebulan.

Misa benar-benar di persimpangan jalan. Yang bisa dia lakukan hanya shalat tahajud (shalat malam) selama tiga malam. Tuhan pun memberikan jalan untuk melangkah. Dia mendapat pinjaman tanpa agunan.

Dia memperbaiki kubung dengan mengangkut jerami sendiri dari sawah. Daun kelapa untuk biliknya dia ambil dengan memanjat pohon sendiri. ”Badan saya lecet-lecet,” ceritanya.

Singkat kata, delapan hari kemudian, bibit jamur yang dia buat sendiri tumbuh dengan baik dan dijual di pasar Cikampek, Karawang, dengan harga total Rp 1,45 juta.

Dia mengembalikan pinjaman Rp 1,2 juta sesuai perjanjian tertulis di atas segel. ”Uang tersisa hanya Rp 250.000,” ujarnya. Namun, setelah itu, pemilik tanah kubung tidak mengizinkan lagi Misa menanam jamur.

Misa akhirnya bertemu dengan pemilik kubung bekas sopir Kedutaan Besar Amerika Serikat. Pemilik kubung itu memang menyerahkan pengelolaan, tetapi tidak meminjamkan modalnya.

Misa kembali kepada rentenir. Tetapi, kali ini hanya ada uang ”jalan”. Itu sebutan uang pinjaman yang harus dikembalikan secepat mungkin. Jika meminjam Rp 300.000, harus kembali Rp 600.000 dalam delapan hari!

Tanpa berpikir panjang, ia modali empat kubung. Delapan hari kemudian, Misa mampu mengembalikan modalnya kepada tukang pukul yang menagihnya. Dari satu kubung, pinjaman itu lunas selama delapan hari. Tiga kubung lainnya mampu menghasilkan 1 ton jamur merang.

Empat bulan kemudian, dia berhasil membeli empat kubung bersama 1.500 meter lahannya di Tanjungpura, Karawang.

Dibakar warga

Misa memulai kehidupan baru usaha pembibitan dan budidaya jamur di tempat itu. Dari empat kubung terus dikembangkan menjadi 12 kubung, dan hasilnya puluhan juta rupiah.

Misa lalu membeli 1 hektar sawah senilai Rp 50 juta tahun 1991 untuk memproduksi jerami. Karena tinggal di lingkungan petani miskin, perkembangan usaha Misa yang sangat cepat itu menimbulkan kecemburuan.

”Kami sudah berpuluh-puluh tahun menanam padi tetap miskin, tapi si jurig supa hanya beberapa bulan sudah kaya raya,” kenang Misa menirukan umpatan warga. Mereka pun ramai-ramai membakar kubung-kubung jamur Misa.

”Hati saya hancur saat melihat kepulan asap keluar dari sisa-sisa pembakaran kubung,” kata Misa. Ia pun stres dan hampir frustrasi menerima peristiwa pada pertengahan tahun 1992 itu. Namun, ia segera bangkit, membangun 30 kubung baru senilai Rp 35 juta dengan uangnya yang tersimpan di dalam drum selama usahanya berbulan-bulan.

Usahanya berkembang pesat karena dibantu puluhan tenaga kerja. Seiring berjalannya waktu, Misa membuka pelatihan magang bagi para calon wirausaha melalui Pusat Pendidikan dan Latihan Jamur Merang Kelompok Tani Jamur Prima, Karawang.

Misa bercerita mendapat ilmu ”perjamuran” itu semasa masih mengajar di ITB, tinggal di Dago, Bandung Utara. Saat itu dia bertetangga dengan Prof Han, guru besar yang saat itu menjadi dosen tamu mikrobiologi di ITB.

Suatu saat, profesor itu harus segera pulang ke negerinya, Jerman. Dia menitipkan buku-buku miliknya yang tak sempat dibawa pulang ke negerinya kepada Misa. ”Saya percayakan kepada kamu. Buku-buku ini jangan sampai keluar karena bersama 40 profesor lain kami sudah disumpah untuk tidak keluar ke negara lain,’’ ujar Prof Han.

Dasar ”tukang insinyur sableng”, sesudah guru besar pergi, ia melakukan nusumu, mempelajari buku-buku mikrobiologi itu. ”Ternyata bahasanya China sehingga saya harus minta bantuan seorang teman menerjemahkan,” kata Misa.

Dari situlah Misa nekat hengkang dari ITB dan menjadi jurig supa hingga sekarang. Dari pusat pendidikannya, kini sudah ratusan orang menjadi pembudidaya jamur di seantero Nusantara.***

Source : Kompas, Kamis, 10 Februari 2011

Ahmad Erani Yustika : Memaknai Pertumbuhan Ekonomi

Memaknai Pertumbuhan Ekonomi

Oleh Ahmad Erani Yustika

Badan Pusat Statistik telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 sebesar 6,1 persen, lebih tinggi dari yang ditargetkan pemerintah. Pada triwulan IV 2010 pertumbuhan ekonomi melaju hingga 6,9 persen.

Faktor penyerapan APBN yang menumpuk pada triwulan III dan IV dianggap sebagai salah satu sumber penting pertumbuhan triwulan terakhir 2010 tersebut. Jika dikuliti pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor, sektor pengangkutan dan telekomunikasi tumbuh paling tinggi (13,5 persen).

Sektor jasa (nontradable) lain tumbuh lumayan mengesankan. Sektor konstruksi tumbuh 7 persen, sektor keuangan dan jasa 5,7 persen, dan sektor jasa-jasa lain 6 persen. Sementara itu, kinerja pertumbuhan sektor riil masih jeblok. Sektor pertanian hanya tumbuh 2,9 persen, sektor pertambangan dan penggalian 3,5 persen, dan sektor industri pengolahan 4,5 persen. Pola pertumbuhan seperti ini telah berjalan dalam beberapa tahun terakhir (sekitar lima tahun) dan belum ada tanda-tanda bakal berubah.

Zona pertumbuhan rendah

Terdapat tiga catatan penting dari struktur pertumbuhan 2010 tersebut. Pertama, pertumbuhan ekonomi di sektor riil tetap berada dalam zona rendah (di bawah 5 persen) sehingga menimbulkan komplikasi persoalan yang tidak terpecahkan dalam sejarah modern ekonomi nasional, yakni kemiskinan dan pengangguran.

Sampai 2009 sektor pertanian (perkebunan, kehutanan, dan perikanan) menyumbang sekitar 41 persen tenaga kerja, sedangkan sektor industri pengolahan menyerap sekitar 12 persen tenaga kerja. Jadi, kedua sektor tersebut menyerap lebih dari 50 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Jika kedua sektor tersebut terjebak dalam zona pertumbuhan rendah, masalah kemiskinan dan pengangguran tidak akan bisa dikurangi secara meyakinkan.

Penyebabnya, di kedua sektor itulah kantong-kantong kemiskinan berada (petani, nelayan, buruh). Demikian pula, bila kedua sektor itu tumbuh rendah, kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja juga sangat terbatas.

Kedua, sektor nontradable selama beberapa tahun terakhir justru bergerak cepat dan menjadi sumber terpenting pertumbuhan ekonomi. Dalam peta penyerapan tenaga kerja, sektor telekomunikasi, konstruksi, dan keuangan kira-kira menyumbang 11,5 persen tenaga kerja.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, sektor tersebut menikmati kemakmuran ekonomi yang lebih besar ketimbang sektor lain. Implikasinya, tenaga kerja yang terlibat di dalamnya memperoleh penghasilan lebih besar. Tentu saja fakta ini meniupkan masalah berikutnya, yakni munculnya intensitas ketimpangan pendapatan yang lebih besar antarsektor ekonomi (juga ketimpangan pendapatan antarpelaku dan antarwilayah).

Tanpa disadari pula, ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara sektor produksi barang (tradable) dan nontradable bakal menjadi sumber persoalan ekonomi yang akut, bahkan menjalar ke masalah sosial dan politik di kemudian hari.

Ketiga, daya saing, nilai tambah, dan diversifikasi komoditas perekonomian nasional dipastikan bakal keropos karena sektor manufaktur mengalami gejala penurunan (deindustrialisasi).

Jika pertumbuhan dan kontribusi sektor industri rendah, hal itu menunjukkan ketiadaan strategi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan.

Contoh sederhana, saat ini Indonesia merupakan eksportir besar di dunia untuk beberapa komoditas, seperti kelapa sawit, ikan tuna, dan batu bara. Namun, nilai dari produk tersebut sangat murah di pasar internasional dibandingkan apabila produk tersebut diolah terlebih dulu di dalam negeri.

Tampaknya kita terlena untuk menikmati pendapatan dalam jangka pendek ketimbang memproses untuk menghasilkan nilai tambah lebih besar dalam jangka panjang. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak bisa memaksimalkan pertumbuhan ekonomi karena hanya menghasilkan produk primer.

Tren informalisasi ekonomi

Berbicara mengenai mutu pertumbuhan ekonomi, Indonesia pada periode 1980-1993 (bersama dengan Malaysia) dimasukkan sebagai kasus terbaik (best case) negara yang dalam waktu bersamaan dapat memadukan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Sebaliknya, Rusia (1980-1993) merupa- kan kasus terburuk (worst case) karena mencatat pertumbuhan ekonomi rendah dan ketimpangan pendapatan tinggi.

China (1985-1993) dan Thai- land (1981-1992), pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi pemerataan pendapatannya jelek. Sedangkan Sri Lanka (1981-1990), pemerataan pendapatannya bagus, tetapi pertumbuhan ekonominya rendah (Fritzen, 2002).

Pada periode tersebut (1980-1993) sektor riil di Indonesia tumbuh bagus sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh pemerataan pendapatan yang bagus. Hal ini tentu sangat berbeda dengan struktur pertumbuhan saat ini yang terkonsentrasi pada sektor non- tradable.

Salah satu implikasi dari strategi pembangunan yang hanya bertumpu pada satu kaki ini dapat dilihat dari adanya gejala informalisasi ekonomi. Artinya, kegiatan ekonomi disesaki pelaku sektor informal, termasuk tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.

Pada 2009 tenaga kerja yang masuk ke sektor informal hampir mencapai 65 persen dari total angkatan kerja, padahal pada 2008 jumlahnya baru 61 persen.

Realitas ini tentu mengenaskan karena pada saat modernisasi dan transformasi struktural ekonomi telah berjalan, pelaku ekonomi yang terlibat dalam sektor informal justru bertambah. Hal ini terjadi karena sektor industri pengolahan macet dan sektor pertanian tidak mampu memberikan harapan hidup kepada pelakunya.

Sekarang semuanya terpulang kepada pemerintah, apakah akan meneruskan pola pembangunan seperti sekarang atau bekerja keras mengubah haluan ekonomi dengan mendorong sektor ekonomi yang menafkahi kepentingan sebagian besar masyarakat.

Ahmad Erani Yustika,

Guru Besar FE Universitas Brawijaya;

Direktur Eksekutif Indef

Source : Kompas, Kamis, 10 Februari 2011

Selasa, 08 Februari 2011

Kesenjangan Semakin Lebar

Kesenjangan Semakin Lebar
Senin, 08 Februari 2011/09.17 WIB
Bisnis Reang

Asep (50) menyiapkan tahu untuk direbus di tempatnya berproduksi di Kampung Cibuntu, Bandung, Jawa Barat, Senin (7/2). Kenaikan harga kedelai dari Rp 5.200 per kilogram menjadi Rp 6.400 per kilogram membuat perajin tahu di Kampung Cibuntu tertekan biaya produksi. Sebagian besar terpaksa mengurangi ukuran tahu sekitar 25 persen dari ukuran sebelumnya. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

JAKARTA, Bisnis Reang - Perekonomian Indonesia pada 2010 tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kesenjangan di masyarakat.

Pengamat ekonomi Yanuar Rizky di Jakarta, Senin (7/2), mengatakan, kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka.

Sementara sektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengumumkan, pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestik bruto (PDB) Rp 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp 27 juta per tahun.

Jumlah ini didapat dari membagi Rp 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia.

Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di negara-negara maju.

Pertumbuhan PDB pun kemudian didukung oleh ekspansi investasi, terutama untuk industri manufaktur yang menciptakan lapangan kerja.

Meski demikian, komposisi investasi yang sudah melebihi 30 persen dari PDB telah menunjukkan ada sirkulasi yang bermanfaat bagi perekonomian jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi pada 2010 telah menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 3,34 juta orang. Dengan demikian, menurut Rusman, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi pada 2010 mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi 548.000 orang.

”Ini cukup bagus. Penciptaan lapangan kerja paling besar pertama adalah sektor jasa 325.000 orang. Nomor dua industri pengolahan yang mampu menyerap 220.000 orang,” ujarnya.

Yanuar Rizky berpendapat, konsumsi penopang pertumbuhan ekonomi baru dikatakan berkualitas apabila mampu mendorong kegiatan produksi yang menyerap lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi kita seperti terpisah dari fungsi produksi.

Sektor jasa dari perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh sebesar 8,7 persen dan menjadi penyumbang terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, yakni 1,5 persen.

Sumber pertumbuhan PDB terbesar lain adalah angkutan dan industri, masing-masing 1,2 persen.

Konsumsi rumah tangga masih menopang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 2,7 persen dan investasi 2 persen.

Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestik didapat lewat impor.

Yanuar mengutip laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.

Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen aset kekayaan mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estat (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif, seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).

”Jadi, kebanyakan peningkatan pendapatan itu berasal dari deposito dan instrumen finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp 100 juta, menurut data BPS. Bagaimana bisa berkualitas kalau pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat ini hanya pemilik modal yang mampu bermain di pasar uang, bukan berproduksi,” ujar Yanuar.

Industri terpuruk

Kalangan pengusaha juga turut mengkhawatirkan adanya kesenjangan lapisan masyarakat kaya dan miskin. Apabila pemerintah terlambat menanganinya, akan terjadi persoalan sosial yang berdampak terhadap stabilitas ekonomi dan politik.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengemukakan, pengusaha terus berusaha keras menjadi lokomotif perekonomian nasional. Namun, upaya keras tersebut akan sia-sia apabila pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kondisi yang ada, seperti infrastruktur, penegakan hukum, pasokan energi, dan ekonomi biaya tinggi.

”Industri manufaktur masih tertolong dengan pertumbuhan sektor otomotif dan elektronik. Toyota dan Honda masih tumbuh karena jumlah penduduk terus bertambah, elektronik masih maju karena mengekspor,” ujar Sofjan.

Namun, kondisi ini dikhawatirkan tidak bertahan lama jika pemerintah tak segera mengubah kebijakan bea masuk yang memanjakan importir. Kebijakan tersebut, termasuk menaikkan tarif dasar listrik, menghantui dunia usaha.

Minat pengusaha memproduksi barang menurun. Mereka kini menjadi lebih pragmatis dan sebagian mulai beralih menjadi importir sehingga lambat laun mempersempit penciptaan lapangan kerja baru.

Kondisi ini yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Yang menikmati pertumbuhan hanya sebagian kecil masyarakat dan masih banyak yang hidup pas-pasan.

”Bagaimana mau tumbuh baik kalau pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan industri manufaktur. Pengusaha juga tidak mau terkena getah dan setback kalau terjadi apa-apa akibat dampak kesenjangan pendapatan,” ujar Sofjan.

Dalam laporan BPS, kontribusi industri pengolahan dalam PDB merosot selama tiga tahun terakhir.

Pada 2008, industri pengolahan berperan sebesar 27,8 persen dalam PDB, lalu turun menjadi 26,4 persen pada 2009 dan 24,8 persen pada 2010. Industri pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyerap sedikitnya 40 juta pekerja dari 108,21 juta pekerja. (ham)***

Source : Kompas, Senin, 08 Februari 2011

Jangan Hanya Tumbuh, tetapi Tidak Merata

Bisnis Reang, Senin, 08 Fenbruari 2011/09.15 WIB
PERTUMBUHAN

Jangan Hanya Tumbuh, tetapi Tidak Merata

Badan Pusat Statistik mengumumkan, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 6,1 persen terhadap tahun 2009. Jika perhitungan pemerintah benar, ada 2,44 juta lapangan kerja baru yang tercipta karena setiap persen pertumbuhan ekonomi diasumsikan akan menyerap 400.000 tenaga kerja. Sayangnya, pengumuman tingkat pengangguran selalu dilakukan berbeda dengan produk domestik bruto, yakni Maret.

Mendapatkan pekerjaan adalah impian setiap warga negara yang memasuki masa produktif. Namun, mendapatkan pekerjaan bukanlah akhir dari semua masalah. Apa jadinya jika penghasilan yang diperolehnya itu tidak mencukupi? Apa jadinya jika gaji yang diperolehnya habis tergerus oleh kenaikan harga kebutuhan pokok?

Pertumbuhan ekonomi 2010 yang cukup tinggi itu diiringi kenaikan harga 12 jenis komoditas pangan pokok. Lihat saja, harga beras antara Januari 2010 dan Januari 2011 naik 22,74 persen menjadi Rp 9.200 per kilogram, sementara harga beras termurah juga dilaporkan naik 22,6 persen menjadi Rp 7.452 per kg.

Harga minyak goreng umum antara Januari 2010 dan Januari 2011 naik 14,71 persen menjadi Rp 11.707 per liter, sementara harga minyak goreng curah meningkat 6,8 persen menjadi Rp 11.466 per liter. Komoditas tempe juga lebih mahal 0,82 persen antara Januari 2010 dan Januari 2011 menjadi Rp 8.554 per kg, sementara harga tahu pada periode yang sama dilaporkan lebih tinggi 2,8 persen menjadi Rp 7.471 per kg.

Dengan demikian, meskipun ada tambahan jumlah orang yang memperoleh pekerjaan, penghasilannya itu harus tergerus kenaikan harga. Apalagi, laju inflasi pun begitu tinggi tahun lalu, yaitu 6,69 persen.

Atas dasar itu, wajar saja ada kenaikan kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 4,6 persen karena ada kenaikan harga barang. Pengeluaran rumah tangga atas dasar harga berlaku ini meningkat dari Rp 3.290,8 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp 3.642 triliun pada 2010.

Kontributor pertumbuhan ekonomi lainnya yang menonjol adalah konsumsi pemerintah. Komponen ini diumumkan hanya melonjak 0,3 persen menjadi Rp 581,9 triliun (atas dasar harga berlaku). Itu jelas bukanlah ekspansi pemerintah yang maksimal sebab penyerapan anggaran terjadi sangat lambat.

Realisasi belanja negara hingga akhir November 2010 saja baru Rp 817,2 triliun atau masih 72,26 persen dari target APBN Perubahan (APBN-P) 2010 yang ditetapkan Rp 1.102 triliun. Realisasi belanja ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 yang sudah mencapai 75,8 persen dari target APBN-P 2009 atau sekitar Rp 758 triliun.

Komponen lain yang wajib diperhitungkan dalam pertumbuhan ekonomi adalah ekspor minus impor (net export). Nilai ekspor Januari-Desember 2010 tercatat Rp 1.580,8 triliun, lebih tinggi 14,9 persen di atas tahun 2009, yakni Rp 1.354,4 triliun. Harap diingat, kenaikan itu terdongkrak oleh kenaikan harga jual komoditas andalan ekspor Indonesia, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO), karet, dan barang tambang mentah, seperti batu bara, nikel, dan timah. Ini pun mengindikasikan bahwa Indonesia belum menjadi negara yang mampu memaksimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya.

Perhatian juga perlu diarahkan kepada komponen produk domestik bruto (PDB) lain, yakni pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Meskipun tumbuh 8,5 persen menjadi Rp 2.065,2 triliun pada 2010, masih ada aliran modal asing yang mengalir ke pasar modal tetapi tidak menetap di sektor riil. Ini artinya, ada dana segar yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menggerakkan mesin pertumbuhan di dalam negeri.

Harap diingat pula bahwa aliran investasi di sektor riil pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Inilah makanya dalam master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, pemerintah berniat mengalihkan konsentrasi industri dari Jawa ke luar Jawa, yakni dari 30 persen menjadi 40 persen dari total industri di Indonesia pada lima tahun ke depan. Ini menunjukkan bahwa kue ekonomi belum dinikmati seluruh penduduk Indonesia.

Pembangunan ekonomi yang tidak merata menjadi masalah serius karena selain berpotensi menimbulkan kecemburuan antardaerah, hal tersebut juga menjadi sumber ketimpangan kualitas hidup yang berujung pada kerawanan sosial. BPS mencatat, Pulau Jawa menyumbangkan 58 persen terhadap PDB 2010, sedangkan pulau yang lebih besar, seperti Sumatera dan Kalimantan, masing-masing hanya berkontribusi 23,1 persen dan 9,2 persen. (Orin Basuki)***

Source : Kompas, Senin, 08 Februari 2011

Selasa, 01 Februari 2011

Berkat Kotoran Sapi, Raup Rp 110 Juta

Syammahfuz Chazali

Berkat Kotoran Sapi, Raup Rp 110 Juta

Selasa, 1 Februari 2011 | 13:59 WIB


KONTAN


TERKAIT:

BisnisReang — Kotoran sapi tidak hanya bermanfaat sebagai bahan baku utama kompos, tetapi bisa juga menjadi bahan baku pembuatan gerabah, batu bata, dan kerajinan tangan. Syammahfuz Chazali sudah membuktikan dan menjadi tambang emasnya. Ia meraup omzet Rp 110 juta per bulan.

Siapa yang tidak jijik melihat kotoran sapi? Tapi, tak banyak orang menyangka, kotoran ini punya banyak manfaat. Tidak hanya sebagai bahan baku pupuk kompos, tapi juga aneka kerajinan tangan dan batu bata.

Di tangan Syammahfuz Chazali, kotoran sapi bisa menjelma menjadi perkakas rumah tangga, batu bata, dan bermacam kerajinan tangan atau handicraft.

Melalui PT Faerumnesia 7G, Syam, panggilan akrab Syammahfuz Chazali, saban bulan memproduksi 75 hingga 100 gerabah, 500 batu bata, dan ratusan jenis kerajinan tangan, seperti lampu aladin, vas bunga, guci, serta tempat makan. Harga gerabah dan kerajinan tangan mulai Rp 100.000 hingga Rp 750.000 per item. Ia pun sanggup meraih omzet Rp 110 juta per bulan.

Atas prestasinya mengembangkan usaha dengan bahan baku kotoran sapi, pria 26 tahun ini menyabet juara satu Social Venture Competition tingkat dunia di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, tahun 2009 lalu.

Prestasi ini sangat membanggakan. Selama 10 tahun ajang itu digelar, belum pernah ada tim perguruan tinggi dari luar negeri Paman Sam yang sukses menggondol juara pertama dan berhak atas uang sebesar 25.000 dollar AS.

Syam yang lulusan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada mulai menekuni bisnis berbasis kotoran sapi sejak 2006. Awalnya, dia sekadar ingin mengikuti perlombaan kreativitas di kampusnya. Apalagi, ia melihat kotoran sapi selama ini belum terkelola dengan baik.

Padahal, banyak peternakan yang berada di daerah pemukiman yang limbahnya tidak terkelola dengan benar. Tentu saja, ini akan menjadi sumber pencemaran lingkungan berupa bau tak sedap yang dapat mengundang lalat yang kemudian akan menyebarkan kotoran tersebut.

Selain pencemaran udara, kotoran sapi juga bisa menimbulkan pencemaran air. Soalnya, banyak kotoran sapi yang dibuang begitu saja ke sungai oleh para peternak. Lagi-lagi, tentu saja, pencemaran tersebut bisa menimbulkan beragam penyakit.

Berangkat dari situ, Syam kemudian mencari tahu lebih banyak mengenai kandungan kotoran sapi melalui pelbagai literatur. Akhirnya, ia menemukan, dalam setiap 1 kilogram kotoran sapi terdapat kandungan silika sebesar 9,6 persen. Silika merupakan suatu senyawa yang bisa diolah menjadi bahan baku untuk gerabah dan batu bata.

Syam pun berkonsultasi dengan para dosennya dan pihak-pihak lain yang berkecimpung di dunia pengolahan limbah hewan mengenai kelanjutan bisnis berbasis kotoran sapi. "Waktu itu, tidak sedikit yang meragukan peluang bisnis ini," ungkap Syam.

Beragam eksperimen ia lakukan. Dengan kegigihan dan konsistensinya, usaha Syam mulai berbuah hasil. Bahkan, banyak orang menilai, produk batu bata dan gerabah buatannya lebih halus, ringan, dan kuat.

Proses pembuatannya juga tidak begitu rumit. Kotoran sapi cukup dicampur dengan tanah keras dan ditambahkan formula bio-aktivasi berupa faerumnesia. Kemudian, biarkan selama dua sampai tiga minggu hingga berbentuk seperti tanah liat.

Fungsi formula faerumnesia adalah meningkatkan kadar silika dalam kotoran sapi sehingga bisa digunakan sebagai bahan baku. Formula ini juga berfungsi untuk menghilangkan aroma tidak sedap dari kotoran sapi tersebut.

Setelah berbentuk tanah liat, bahan ini bebas dibentuk sesuai keinginan. Apakah mau dibentuk batu bata, gerabah, maupun kerajinan tangan. "Satu ton limbah sapi bisa untuk membuat 500-900 batu bata," kata Syam.

Prosesnya juga sama dengan pembuatan gerabah pada umumnya, mulai dari pembentukan, penjemuran, pembakaran, hingga penyempurnaan. Begitu juga waktu yang diperlukan dari proses pembentukan, penjemuran, pembakaran hingga penyempurnaan, juga sama, hanya satu setengah bulan.

Menurut Syam, bahan baku dari olahan kotoran sapi mampu bertahan pada suhu 1.000 derajat celsius.

Saat ini, Syam sudah memasok produk gerabah, batu bata, dan kerajinan bikinannya hampir ke seluruh Indonesia. Untuk kerajinan tangan, permintaan paling banyak dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kebanyakan pembeli mencari sebagai pajangan di dalam rumah atau untuk suvenir. "Untuk produk lampu aladin, artis Dorce dan Wulan Guritno merupakan konsumen kami," ujar Syam bangga.

Produk kerajinan tangan buatan Syam siap menembus pasar ekspor. Akhir 2010 lalu, ada pengusaha asal Belanda yang tertarik untuk bekerja sama. Pengusaha ini menyatakan, olahan kotoran sapi juga bisa sebagai isolator sehingga tahan untuk empat musim.

Syam sudah mulai mengirimkan beberapa produknya ke negeri kincir angin tersebut sebagai sampel. Jika kerja sama tersebut berjalan lancar, ia akan mulai secara rutin mengekspor produknya dalam jumlah besar.

Dengan meningkatkan promosi dan pemberian informasi yang benar kepada masyarakat luas, Syam yakin bisnis berbasis kotoran sapi ini akan terus memberikan keuntungan. Prinsip utamanya adalah mengubah masalah menjadi sebuah keuntungan. "Sambil mengurangi limbah, kita juga bisa meraih keuntungan yang menjanjikan," ujarnya.

Promosi menjadi penting lantaran satu-satunya hambatan para konsumen adalah mereka masih ragu dengan aroma yang tidak sedap yang akan muncul dari produk-produk berbahan baku kotoran sapi.

Padahal, seluruh pelanggan produk-produk buatan Sam sudah tegas-tegas menyatakan, hasil olahan limbah sapi itu benar-benar sudah terbebas dari bau tak sedap. Toh, masih ada orang yang ragu dan tidak percaya.

Kini, selain aktif mempromosikan melalui internet, Syam juga kerap ikut pameran skala nasional maupun internasional. Syam bahkan sudah mempromosikan produk-produknya di China dan Australia. (Rivi Yulianti/Kontan)*** Editor: Erlangga Djumena

Source : Kompas.com, Selasa, 01 Februari 2011

Ada 4 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • Aan Notonegoro

Selasa, 1 Februari 2011 | 15:53 WIB

Berfikir kreatif dan inovatif yg menjadikannya seperti ini

Balas tanggapan

  • tidehunter

Selasa, 1 Februari 2011 | 15:37 WIB

Luar Biasa Syam, teruskan kerja kerasmu dan jangan lupa Ilmunya dibagi2 juga sehingga bisa membangun bangsa ini...

Balas tanggapan

  • adit ayip

Selasa, 1 Februari 2011 | 14:46 WIB

mantabbb

Balas tanggapan

  • petruk ki

Selasa, 1 Februari 2011 | 14:40 WIB

jempol deh untuk Pak Syam..!!

Balas tanggapan

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template