Kamis, 24 Juni 2010

Sriani, Memuliakan Buah Tropika

SRIANI SUJIPRIHATI. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***

Sriani, Memuliakan Buah Tropika

Oleh Elok Dyah Messwati

Di pasaran, terutama di kota-kota besar, dengan mudah kita jumpai buah-buahan impor. Buah itu, antara lain apel, jeruk, durian, pisang, bahkan pepaya pun berlabel impor, yaitu california papaya atau havana/hawaii papaya. ”Padahal, tak ada pepaya impor, semua itu pepaya hasil pemuliaan yang dilakukan Pusat Kajian Tropika IPB,” kata Sriani.

Bagi Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati, MS, kenyataan membanjirnya buah-buahan impor itu memprihatinkan. Padahal, buah tropika atau buah lokal tak kalah mutunya. Jika impor buah itu dilakukan terus-menerus, lama-kelamaan buah lokal bisa tersingkir. Akibat lanjutannya, petani buah lokal pun makin tak berdaya.

Sriani, Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, menambahkan, sejak diberlakukannya perdagangan bebas, produk impor terus membanjir. Tak cuma buah, bahan pangan seperti gandum, kedelai, bawang putih dan bawang merah pun diimpor.

Lebih memprihatinkan lagi di dunia pertanian, benih tanaman pangan, seperti padi hibrida, jagung hibrida, dan hortikultura di pasaran juga didominasi oleh benih-benih hibrida impor. Di kebun plasma nutfah Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB di Tajur, Bogor, Sriani menunjukkan kebun plasma nutfah yang digunakan untuk merakit varietas baru berbagai tanaman, termasuk pepaya.

Ratusan pohon pepaya di kebun itu, meski tingginya belum mencapai satu meter, sudah berbuah lebat. Dari hasil kerja keras pemuliaan yang dilakukan tim IPB itu sudah dihasilkan empat varietas unggul buah pepaya, yakni pepaya sukma, callina, carisya, dan jene.

Tiga varietas pepaya itu sudah didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan benihnya bisa dibeli para petani buah. ”Ini merupakan salah satu bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) bidang pemuliaan tanaman,” kata Sriani yang memasyarakatkan varietas unggul pepaya itu sejak 2009.

Bukan impor

Namun, ada yang membuat Sriani sedih dan jengkel. Di pasar belakangan ini banyak dijual pepaya callina, tetapi diberi label oleh pedagang sebagai california papaya, atau pepaya carisya menjadi havana atau hawaii papaya.

Mereka seakan sengaja mengubah nama varietas pepaya itu agar seolah-olah buah itu hasil impor. Padahal, pepaya callina tersebut adalah hasil pemuliaan dari tim IPB.

”Menurut distributor dan pedagangnya, kalau tidak dilabeli pepaya impor, buah itu tak laku dijual. Saya tidak percaya. Kalau buah itu kualitasnya bagus, pasti banyak pembelinya. Pepaya hasil pemuliaan kami itu manis rasanya,” katanya menggambarkan kondisi pasar di Jakarta dan sekitarnya.

Meskipun begitu, Sriani masih bersyukur karena para petani dan pedagang pepaya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, misalnya, menjual buah yang benihnya dari IPB itu tetap sebagai pepaya carisya, sukma, dan jene.

”Mereka enggak mau menjual pepaya callina karena sudah banyak dijual di Jakarta. Mereka memilih mencoba varietas pepaya yang lain,” kata Sriani.

Dia bercerita, pepaya callina awalnya berasal dari Pak Okim (kini almarhum), petani di Bogor yang mengklaim punya pohon pepaya yang benihnya dari California, AS. Namun, karena pohon itu mulai menua, buahnya semakin menurun kualitasnya.

”Buah pepaya milik Pak Okim ini lalu kami ambil untuk kemudian di-breeding atau dilakukan pemuliaan. Proses itu memerlukan waktu tujuh tahun untuk perbaikan dan perlu dana besar buat menyeleksi dan melakukan persilangan,” katanya.

Setelah itu barulah dipilih yang terbaik kualitas dan produktivitasnya. Varietas pepaya hasil persilangan itu lalu diberi nama pepaya callina dari California-Indonesia.

”Jadi, pepaya itu bukan murni impor dari California, kami bekerja keras untuk menjadikannya seperti sekarang,” tuturnya.

Lingkungan

Tumbuh di lingkungan pertanian membuat Sriani jatuh cinta pada ilmu pertanian. Saat masih di bangku SMA di Ponorogo, Jawa Timur, dia menyukai pelajaran Biologi. Kakek dan neneknya adalah petani buah dan sayur yang tinggal di dataran tinggi Desa Jurug, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo.

”Halaman rumah keluarga kami penuh dengan jeruk keprok. Kalau mau, kami tinggal memetiknya. Tanaman apa saja tumbuh subur di desa kami,” kenangnya.

Ayah Sriani menjadi penilik sekolah dan ibunya seorang kepala sekolah. ”Orangtua ingin saya menjadi dokter, tetapi saya lebih tertarik belajar pertanian,” katanya.

Sriani konsisten dengan pilihan hatinya. Apalagi, lewat program pemuliaan tanaman yang bertujuan menghasilkan varietas unggul dan berdaya saing itu hasilnya dapat dimanfaatkan petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, pemuliaan tanaman juga berperan mengurangi arus impor baik komoditas maupun benih tanaman.

”Kebergantungan pada produk impor diharapkan dapat dihilangkan, atau setidaknya dikurangi sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan kita dapat diwujudkan,” kata Sriani.

Sekarang ini, kebun yang menanam pepaya varietas callina, carisya, sukma, dan jene semakin luas. Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, hampir semua daerah sudah menanam. Bahkan, di Kabupaten Subang, varietas ini juga ditanam di pekarangan rumah.

Varietas pepaya hasil pemuliaan itu juga sudah ditanam oleh para petani di DI Yogyakarta dan Jateng, seperti di daerah Cilacap, Magelang, Banjarnegara, Brebes, dan Banyumas.

Dia makin senang karena di Jatim pun varietas pepaya itu juga ditanam dan dipasarkan, antara lain di Surabaya, Malang, dan Ponorogo.

”Petani di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan pun mulai menanam pepaya hasil pemuliaan kami (PKBT IPB),” tambah Sriani.

SRIANI SUJIPRIHATI

• Lahir: Ponorogo, 28 Oktober 1955 • Suami: Dr Ir Enisar Sangun, MSc dengan empat anak • Pendidikan: - S-1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta - S-2 Agronomi/Pemuliaan Fakultas Pascasarjana IPB - S-3 Pemuliaan Tanaman Universiti Pertanian Malaysia (kini University Putra Malaysia) • Pekerjaan: - Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB - Ketua Divisi Pemuliaan Tanaman, Pusat Kajian Buah Tropika IPB • Penghargaan: - Penghargaan dari Rektor IPB, 2004 - Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) Award 2004 dari Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia - Satyalancana Karyasatya XX dari Presiden RI, 2006 - Dosen Berprestasi IPB, 2006 - Dosen Berprestasi Nasional, 2006 - Penghargaan Kepedulian dan Penegakan HaKI dari Presiden RI, 2007 - Penghargaan HKI dari Mendiknas, 2009. (Kompas)***

Source : Kompas, Kamis, 24 Juni 2010 | 03:15 WIB

Sabtu, 05 Juni 2010

Berbisnis Sembari Meneruskan Tradisi


DINA MASELA. (KOMPAS/A PONCO ANGGORO)***

Dina Masela

PROFIL USAHA

Berbisnis Sembari Meneruskan Tradisi

Oleh A Ponco Anggoro

Melakoni dunia usaha sekaligus meneruskan tradisi. Itu yang dilakukan Octavianus Masela (80) bersama istrinya, Dina Masela (56), sejak 26 tahun lalu. Keahlian Dina menenun kain tradisional asal Maluku Tenggara Barat dipadu dengan kepiawaian Octavianus memasarkannya membuat kain tenun itu dikenal banyak orang hingga ke luar Indonesia.

Benang-benang berwarna putih diikat di sebuah meja tenun yang disebut papindangan. Panjang seluruh benang disamaratakan sepanjang 100 sentimeter, sedangkan lebar dari gabungan benang-benang tersebut 55 sentimeter.

Sebuah kertas putih kecil yang di dalamnya tergambar motif cengkeh memandu Dina menenun. Diikatkannya tali rafia mengikuti motif yang ada di dalam kertas.

”Inilah proses paling sulit karena tali rafia harus diikat kencang ke benang dan harus sesuai alur yang tergambar di kertas,” tutur Dina di bengkel kerja pembuatan kain tenunnya sekaligus rumahnya di kawasan Jembatan Hautuna, Skip Tengah, Ambon, April lalu.

Jika sudah tuntas, benang-benang dicelupkan di dalam pewarna, kemudian dijemur hingga kering. Setelah itu, tali rafia dilepaskan semuanya. Tali yang sebelumnya mengikat di sejumlah benang memunculkan motif cengkeh berwarna putih di antara benang-benang putih yang telah berubah warna.

”Terlihat sederhana, tetapi sebetulnya rumit. Dibutuhkan waktu minimal dua minggu hanya untuk menyelesaikan satu kain tenun,” katanya.

Rumitnya pembuatan kain tenun menjadi suatu hal yang biasa bagi Dina. Ini tak lain karena ibu dari dua anak ini telah menekuninya sejak kecil. ”Ibu mengajarkannya kepada saya. Saat Ibu sedang membuat kain tenun, saya sering ikut membantu,” lanjutnya.

Kain tenun yang dibuat Dina merupakan kain tenun tradisional dari Maluku Tenggara Barat. Kain tenun ini banyak dibuat oleh warga Maluku Tenggara Barat untuk berbagai fungsi, seperti pakaian sehari-hari, mas kawin, bahkan untuk penghargaan kepada tamu yang datang.

Ketika Dina sudah dewasa atau persisnya pada tahun 1984, dia yang sudah piawai membuat kain tenun mencoba membuatnya sendiri dan memasarkannya ke warga Ambon. Dina sudah menetap di Ambon sejak 50 tahun yang lalu.

”Niat saya tidak hanya untuk memperoleh keuntungan dari menjual kain tenun, tetapi juga untuk mempromosikan sekaligus meneruskan warisan leluhur,” ujarnya.

Awalnya bukanlah hal mudah. Apalagi tidak semua orang mengenal kain tersebut kala itu. Namun, tanpa kenal lelah, dia mempromosikan kain buatannya kepada para tetangga, keluarga, dan teman kerja suaminya saat masih bekerja di PT Telkom (kini pensiun). Dalam waktu tak sampai satu tahun, kainnya mulai dikenal. Pesanan pun mulai berdatangan.

Karena hanya mampu membuat dua kain tenun dalam sebulan, Dina lalu bekerja sama dengan perajin kain tenun di kampungnya di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, untuk memenuhi pesanan-pesanan tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah tetangganya dilatih untuk membantunya membuat kain tenun.

Namun, kemapanan usaha yang dirintis Dina dan suaminya itu, yang cenderung meningkat setiap tahun, hancur tatkala Ambon dilanda konflik sosial berkepanjangan tahun 1999. Selama hampir dua tahun, usahanya berhenti. ”Semua alat tenun hilang,” katanya.

Kehancuran ini membawa usahanya kembali ke titik nol. Ketika konflik usai dan Dina hendak memulai lagi usahanya, modal menjadi kendala utama. ”Kami berupaya mencari pinjaman sampai akhirnya suami saya memperoleh pinjaman modal usaha dari Pelni,” lanjutnya.

Dari situlah mereka mulai membangun usahanya. Alat-alat tenun dibeli, kain-kain mulai ditenun kembali. Mereka mencoba menghubungi para pelanggan lama. Tidak sebatas itu. Mereka kerap ikut serta dalam pameran, baik yang dilangsungkan di Ambon maupun di luar Ambon, seperti di Bali.

Kerja keras ini berbuah hasil. Pelanggannya kini sudah tersebar di Jakarta, Kalimantan, dan Papua. Sejumlah kerabatnya yang tinggal di Belanda pun ikut mempromosikan kain tenun itu kepada warga Belanda. Karena itu, tidak heran jika kerabatnya datang, mereka membeli kain tenun dalam jumlah yang tidak sedikit untuk dipasarkan di Belanda.

Pembelinya kian banyak tatkala Octavianus memasarkan kain-kain tenunnya di Bandara Pattimura, Ambon. Banyak wisatawan lokal ataupun asing yang tertarik membelinya.

Untuk memenuhi pesanan, dia kembali mempekerjakan tetangga-tetangganya. Ada sedikitnya 12 orang yang dia pekerjakan. Karena masih belum bisa memenuhi pesanan, dia menyerap kain tenun buatan para perajin kain tenun di Maluku Tenggara Barat.

Alhasil, setiap bulan sedikitnya 40 kain tenun berhasil dijual. Pendapatan kotor sebesar Rp 20 juta per bulan pun bisa diraup oleh perusahaan yang kemudian diberi nama CV Masatu ini.

”Penghasilan bersih perusahaan paling hanya sekitar lima juta rupiah. Sisanya untuk membeli bahan baku dan membayar para pekerja,” ujar Dina.

Saat usahanya sudah mapan, tidak ada lagi obsesi darinya untuk mengembangkan usahanya. Yang dilakukannya hanya menjaga kualitas kain tenun yang dihasilkan untuk memuaskan konsumen. Baginya kini, kesuksesan yang telah diraih sudah sempurna. Tidak hanya keuntungan bisa diraih untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, tetapi kain tenun Maluku Tenggara Barat juga dikenal banyak orang.***

Sumber : Kompas, Sabtu, 1 Mei 2010 | 03:52 WIB

Harga Baja Diprediksi Naik

Harga Baja Diprediksi Naik

Pekerja mengerjakan pembangunan konstruksi baja di lokasi proyek Media Walk di kawasan Epicentrum Walk, Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Selasa (27/4). Harga baja diprediksi akan naik hingga kuartal III - 2010. Kenaikan harga tersebut sebesar 16 persen hingga 40 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009. (Kompas/Riza Fathoni)***

Source : Kompas, Rabu, 28 April 2010

Kartu kredit Visa

Alat Pembayaran Nontunai

Kartu kredit Visa mulai dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran nontunai di gerai Indomaret, Plaza Bapindo, Jakarta, Jumat (30/4). Sejumlah produk kartu kredit telah menjadi alat pembayaran nontunai di berbagai minimarket dan gerai retail modern lainnya.(KOMPAS/LASTI KURNIA)***

Sumber : Kompas, Sabtu, 1Mei 2010

Keuletan Kunci Usaha Bawang Goreng

WINIAR RATANA KAMDANU. (KOMPAS/RENY SRI AYU)***


Winiar Ratana Kamdanu

PROFIL USAHA

Keuletan Kunci Usaha Bawang Goreng

Oleh RENY SRI AYU

Kalau saja Winiar Ratana Kamdanu (35) tak mendengar petuah teman-teman dan kerabatnya waktu itu, tentu saat ini dia bukanlah pengusaha bawang goreng yang cukup sukses. Hidup dalam lingkungan dan keluarga besar yang umumnya birokrat sempat membuat ibu tiga anak ini berminat juga menjadi pegawai negeri sipil.

Namun, keinginan memiliki usaha sendiri membuatnya urung meneruskan minatnya itu. Terlebih keluarga dan kerabat juga mendukung agar dia tidak jadi PNS seperti profesi yang dipilih sebagian besar keluarganya.

”Akhirnya saya diskusi dengan suami untuk mencari tahu usaha apa yang bisa dilakukan, yang modalnya tidak besar dan bisa melibatkan orang lain sebagai pekerja. Pilihan akhirnya jatuh pada usaha bawang goreng. Pilihan ini diambil karena di samping Palu memang sudah terkenal dengan oleh-oleh khas bawang goreng, juga modalnya tidak terlalu besar dan lebih mudah kerjanya,” kata Winiar.

Sadar tidak punya pengalaman menekuni usaha sendiri, Winiar mendaftar ke Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu untuk diikutkan dalam program binaan bersama orang-orang lain yang juga berminat membuka usaha.

Dari beberapa kelompok dan orang yang menjadi binaan Dinas Perindagkop Kota Palu, usaha Winiar tetap eksis. Bahkan, melihat kesuksesan usahanya, dia diminta membina kelompok usaha lain dan berhimpun dalam sebuah koperasi yang didirikan bersama.

Koperasi yang beranggotakan ibu-ibu rumah tangga ini memiliki berbagai usaha, di antaranya makanan dan camilan kemasan khas Palu.

Berbekal pendidikan dan latihan dari Dinas Perindagkop, Winiar memberanikan menjalankan usahanya. Awalnya, dia mencoba-coba dengan membeli 100 kg bawang mentah yang saat itu harganya Rp 7.000- Rp 9.000 per kg. Dibantu lima kerabat dan tetangga, Winiar mengolah bawang ini menjadi bawang goreng renyah dalam kemasan dan siap jual.

”Saat mau dipasarkan, saya bingung mencari nama. Pikiran saya saat itu bagaimana menggunakan nama yang mudah diingat, masih berbahasa Kaili (bahasa daerah etnis Kaili di Sulteng), sekaligus punya nilai jual. Akhirnya saya memilih madika. Enak didengar, mudah diingat, dan ini bahasa Kaili. Maka, saya cetak di kertas sederhana dan ditempelkan dalam kemasan bawang,” katanya sembari menjelaskan Madika yang berarti ningrat, bangsawan, atau sebutan untuk raja dan bangsawan.

Tidak berkecil hati

Bersaing dengan usaha sejenis yang sudah lebih dulu ada tak membuat Winiar kecil hati. Berbekal relasi, dia melakukan promosi dari mulut ke mulut.

Tidak sedikit pameran yang diikutinya ke sejumlah kota hanya untuk mempromosikan bawang gorengnya dan memperluas jaringan serta pembeli.

Usahanya tak sia-sia. Sejak memulai tahun 2004, hingga kini usahanya tetap jalan. Kalau pada awalnya dia hanya mempekerjakan lima orang, saat ini sudah ada 20 orang yang bekerja secara tetap, tidak termasuk puluhan pekerja lain yang dipanggil bila pesanan banyak.

Pekerja ini, baik yang tetap maupun yang tidak tetap, umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga yang awalnya tidak punya penghasilan. Kalau awalnya bawang goreng hanya diolah di sebuah dapur kecil di belakang rumah, saat ini Winiar sudah punya dapur besar.

Sebuah ruko dua lantai juga dibeli untuk jadi ruang pajang dan tempat menjual produknya. Bawang goreng yang diolah juga besar jumlahnya. Kalau awalnya hanya 100 kg per bulan, saat ini sudah 2 ton per bulan.

Omzetnya saat ini berkisar Rp 100 juta per bulan. Ini dengan hitung-hitungan 1 ton bawang mentah menghasilkan 350 kg bawang goreng. Dengan harga bawang goreng Rp 150.000 per kg, berarti dari 2 ton hasilnya Rp 105 juta.

Adapun pembelinya yang sebelumnya hanya orang dekat, keluarga, atau yang kebetulan berkunjung ke Palu, saat ini sudah banyak pelanggan tetap yang bermukim di kota lain.

Tidak sedikit pelanggan lamanya yang ikut menjual produk Winiar. Bahkan, yang bermukim di luar negeri pun tetap memesan dalam jumlah banyak setiap kali pulang ke Tanah Air.

”Setiap kali pulang ke Indonesia, mereka menelepon minta dikirimkan dalam jumlah banyak. Yang saya tahu ada yang dibawa ke Kanada, Korea, dan beberapa negara lain,” katanya.

Menjalani usaha bawang goreng bukan berarti Winiar tak mengalami jatuh bangun. Serangan hama bawang yang parah tahun 2007, yang membuat panen bawang gagal dan menyebabkan banyak pengusaha bawang beralih ke usaha lain atau gulung tikar, tak membuat Winiar kehilangan semangat.

Bahkan, Winiar juga tak patah arang dengan pengalaman beberapa kali mengalami kerugian karena ditipu. ”Beberapa kali saya dibawakan bawang yang bercampur. Kami sudah kerjakan sehari semalam, kupas, goreng, pas pagi hari mau dikemas bawangnya sudah lembek dan berminyak. Terpaksa tak jadi dijual dan rugi,” ujar Winiar.

Tak jarang pemasok bawang membawa bawang yang jumlahnya tidak sesuai dengan yang dibayar. Pengalaman lain adalah tatkala permintaan besar dan bahan baku kurang yang akhirnya membuat harga jual bawang menjadi tinggi.

Namun, pengalaman demi pengalaman ini tidak membuatnya patah semangat. Hal itu justru membuat Winiar kian ingin mengetahui lebih jauh seluk-beluk bawang. Dia pun terjun langsung ke petani bawang yang tersebar di beberapa desa di Kabupaten Sigi.

Menghidupkan koperasi

Bertemu langsung petani dan mengetahui sedikit demi sedikit soal bawang membuat Winiar melakukan pendekatan dan pembinaan pada kelompok-kelompok tani. Dia juga melakukan pendekatan dan membangun hubungan dengan petugas penyuluh lapangan.

Dalam hal pembelian, terutama pada masa-masa permintaan kurang, Winiar juga mengatur jadwal bergilir di setiap kelompok tani agar ada pemerataan. Panen bawang setiap dua bulan memungkinkan Winiar melakukan ini dan tidak membuat petani menunggu lama.

Saat ini, dengan apa yang sudah diraihnya, Winiar tidak lagi terlalu berkeinginan muluk untuk lebih memperbesar usahanya. Sebaliknya, bersama ibu- ibu lainnya, Winiar membantu menghidupkan koperasi Beringin Jaya yang dibentuk atas saran Dinas Perindagkop Kota Palu.

Produksi ibu-ibu rumah tangga, seperti abon ikan, daging, berbagai camilan, dan oleh-oleh khas Palu lainnya, ikut dipasarkan bersama bawang goreng Madika di ruko milik Winiar.

”Tidak ada masalah dengan itu. Toh, pada awalnya membangun usaha, salah satu tujuannya juga memberdayakan orang lain. Kalau di usaha bawang sudah cukup menampung pekerja, apa salahnya ikut membantu mengembangkan usaha ibu-ibu lain. Kan, ini juga bagian dari pemberdayaan,” katanya. ***

Sumber : Kompas, Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:08 WIB

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template