Kamis, 23 September 2010

KEMISKINAN : Yang Terus Dikalahkan

KEMISKINAN

Yang Terus Dikalahkan

Amad dan Kliwon, dua buruh gali asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ngobrol di tepi Jalan Adiyaksa, Jakarta, sambil menunggu panggilan, Senin (20/9). Meluasnya kemiskinan menyebabkan jumlah buruh gali terus bertambah. Persaingan antarsesama mereka untuk mendapatkan pekerjaan pun semakin ketat. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***

Ruang kontrakan itu berukuran 2 meter x 3 meter, berdinding bata, bercat putih kusam, berlantai semen yang terkelupas di beberapa bagian. Setengah lantai tertutup tikar pandan lusuh. Baju bercampur bau keringat bergantungan di dinding kosong dan lembab.

Rumah sewaan di bilangan Pondok Aren, Tangerang, Banten, itu dijejali delapan sampai 10 tukang gali. ”Saya membayar sewa Rp 1.500 semalam,” ujar Solikin (43), asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Kelompok buruh sektor informal itu berdatangan dari berbagai daerah. Upah mereka antara Rp 40.000 dan Rp 50.000 per hari, sesuai kesepakatan dengan mandor. ”Tidak setiap hari bekerja,” ungkap Darma (43). ”Kadang seminggu kami menganggur, tidak dapat pekerjaan.”

Kalau sudah begitu, pengeluaran harus diperketat. Makan cukup sekali sehari. Menunya nasi disiram kuah sayur dan sepotong kerupuk, Rp 3.500. Ditambah rokok, pengeluaran bisa ditekan di bawah Rp 9.000 per hari. Sisanya ditabung untuk keluarga di kampung yang dikunjungi sebulan sekali.

Uang yang diserahkan untuk biaya hidup satu keluarga dengan empat sampai lima anak kadang mencapai Rp 1 juta per bulan. Ini masih lebih baik dibandingkan upah di kampung yang jauh lebih rendah, itu pun kalau ada pekerjaan. ”Sekarang cari kerja di kampung susah sekali,” ucap Darma.

Sulitnya pekerjaan di kampung juga dirasakan Kaswari (39), buruh gali yang mangkal di perempatan Jalan Pemuda-Jalan Wahidin, Kota Cirebon. Namun, pekerjaan di kota juga tak mudah. Sering sampai lebih dari dua hari tak ada order kerja.

Berjubelnya buruh tanpa keterampilan dan sangat terbatasnya lapangan kerja di kota membuat persaingan upah tak terelakkan. Upah Rp 15.000-Rp 20.000 sudah sangat disyukuri. ”Kalau pasang harga, anak istri di rumah tidak bisa makan,” ujar Kaswari yang bersama keluarganya tinggal di daerah Ciledug, Kabupaten Cirebon.

Tak tersentuh

Wajah kemiskinan di kota dan kota besar adalah muara yang persoalan hulunya hampir tak pernah disentuh. Kampung dan dusun ibarat wilayah antah berantah yang sumber dayanya terus dikeruk dan wilayahnya dikuasai atas nama devisa negara. Mereka yang masih punya daya berduyun-duyun mengungsi ke kota, tanpa keterampilan, tanpa modal, mengaisi remah-remah rezeki untuk bertahan hidup.

Urbanisasi tak terbendung ketika disparitas pembangunan desa-kota semakin tak terjembatani. Kalau pada tahun 2009 sekitar 53 persen penduduk Indonesia menumpuk di perkotaan, menurut perkiraan Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, jumlahnya menjadi 68,3 persen pada 2025.

Artinya, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Kemiskinan di perkotaan meningkat akibat daya dukung lingkungan dan daya serap ekonomi terbatas. Kebutuhan kota akan tenaga kerja terampil tak terpenuhi sehingga angka pengangguran perkotaan meningkat drastis. Kemiskinan antargenerasi dengan mudah terbangun karena orang yang menganggur cenderung lebih mudah menjadi miskin.

Seperti dialami Ny Bona (57). Ibu 11 anak itu memulung sampah plastik di kali bersama suaminya, buruh cuci motor, dan tinggal di kolong jembatan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Ia terdampar di Jakarta ketika tanah warisan di kampungnya, Cikarang, Bekasi, habis dibagi-bagi dan dijual. Sembilan anaknya tak menyelesaikan sekolah dasar. Dua bungsunya masih duduk di bangku SMP dan SD, tetapi terancam putus sekolah karena menunggak iuran bulanan.

Spiral kemiskinan

Kondisi keluarga Ny Bona adalah gambaran sulitnya memutus spiral kemiskinan di Indonesia. Hilangnya tanah petani, seperti dikemukakan Don Marut dari Forum NGO Internasional mengenai Pembangunan Indonesia (Infid), selalu bergerak paralel dengan pertumbuhan kemiskinan di Indonesia.

Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan cenderung tidak berubah selama hampir 20 tahun. Lembaga Demografi FE UI mencatat, pada 1990, persentase penduduk miskin sekitar 15,1 persen dan tahun 2008 sekitar 15,4 persen.

”Itu kalau standarnya satu dollar per hari. Kalau 1,5 dollar per hari, jumlahnya menjadi 57 persen atau 66 persen atau lebih dari 100 juta jiwa kalau ukurannya dua dollar sehari,” ujar Don.

Kemiskinan multidimensi menjadi sangat serius karena lebih dari 50 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD ke bawah. Mereka akan berjubel di pasar kerja selama usia produktif meski terus digilas oleh roda mekanisme pasar.

Jadi, jangan harap program-program penghapusan kemiskinan yang parsial dan bias kota WIBseperti selama ini akan menghapus mimpi kemiskinan pada tahun 2015! (THY/INE/MH)

Source : Kompas, Selasa, 21 September 2010 | 03:49

Angka Kemiskinan Masih Simpang Siur

LAPORAN MDGS

Angka Kemiskinan Masih Simpang Siur

JAKARTA - Besarnya angka kemiskinan Indonesia masih simpang siur. Untuk kepentingan yang berbeda, angka yang menunjukkan jumlah penduduk miskin tersebut muncul dengan besaran berbeda.

Dalam laporan yang dibawa ke Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan Milenium yang berlangsung pada 20-22 Desember 2010 di New York, angka kemiskinan yang dilaporkan adalah 13,3 persen atau jumlah penduduk miskin sekitar 31,02 juta—data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Penduduk 2010.

Menurut catatan Kompas, dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan bagi orang miskin, penerima bantuan iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang. Mereka adalah penduduk yang dapat menggunakan jaminan itu ketika sakit. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari angka penduduk miskin menurut BPS, yakni 31,02 juta jiwa pada tahun 2010.

Kesimpangsiuran angka penduduk miskin tersebut ditanggapi oleh Suahasil Nazara, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Sementara itu, Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad dari sudut pandang yang berbeda menyoroti angka yang dilaporkan Indonesia ke forum di New York.

Metodologi

Menurut Suahasil Nazara, kemiskinan mempunyai banyak dimensi yang kerap tidak terwakili dalam data statistik. Orang-orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan, misalnya, tidak dapat diabaikan karena jumlahnya besar. Persentase kemiskinan (sesuai laporan BPS) sekitar 13 persen, tetapi angka penerima bantuan pemerintah terkadang lebih besar. ”Itu mencerminkan terdapat keluarga yang masih layak menerima bantuan, tetapi tidak dikategorikan miskin oleh statistik BPS,” ujar Suahasil.

Menurut dia, persentase kemiskinan yang dikeluarkan BPS merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan metode tertentu. Yang terpenting, tegasnya, adalah menggunakan satu metodologi yang sama agar angka-angka tersebut dapat diperbandingkan antarwaktu sehingga trennya bisa diketahui.

Kualitas hidup

Suahasil menambahkan, salah satu tantangannya ialah mendekatkan perhitungan makro dengan realitas kemiskinan untuk kepentingan intervensi program-program mengurangi kemiskinan.

Hal lainnya, kualitas dan perbaikan hidup masyarakat belum tentu tercermin dari statistik itu. Angka kemiskinan turun belum berarti ada perbaikan kualitas hidup.

Menyoroti kualitas hidup, menurut Chalid, kualitas hidup penduduk miskin semakin buruk karena kebijakan pemerintah berpihak kepada kapitalis.

Kualitas hidup yang antara lain juga tampak dari pemenuhan kebutuhan akan air bersih dipandang Chalid tidak akan mencapai target MDGs karena, ”Patokannya adalah air dengan pemipaan, air bersih yang diswastakan. Bagaimana penduduk miskin akan mengakses? Harganya saja demikian mahal,” ujarnya. Dengan kebijakan semacam itu, tambahnya, penduduk miskin akan semakin jatuh miskin.

Suahasil menjelaskan, lantaran kompleksitasnya, penanganan kemiskinan perlu dilakukan secara komprehensif. Menurut dia, pemerintah sebetulnya telah mempunyai pendekatan dalam mengatasi masalah kemiskinan dengan membagi menjadi tiga kluster, yakni berbasis keluarga, komunitas, serta usaha mikro atau kecil.

”Kluster pertama biasanya berbentuk bantuan sosial. Kluster ketiga merupakan upaya meningkatkan pendapatan yang melibatkan lembaga keuangan atau perbankan,” ujarnya. (INE/ISW)***

Source : Kompas, Selasa, 21 September 2010 | 04:15 WIB

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Yusuf Sofiyandi

Selasa, 21 September 2010 | 14:16 WIB

membuka lapangan kerjanya bagaimana mas ? siapa yang membuka ? jangan bilang anda meminta pemerintah? tidak solutif

Balas tanggapan

  • Imron Musa

Selasa, 21 September 2010 | 08:46 WIB

Sederhana kok menurunkan kemiskinan, cukup membuka lapangan kerja perkuat sistem jaminan sosial masyarakat, sehingga terkontrol pddk miskin

Balas tanggapan

Kependudukan Masalah Tabu

Kependudukan Masalah Tabu

PARIS, SENIN - Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan Milenium, ada satu masalah yang tercecer dibahas, yaitu bagaimana menjawab pertanyaan, menghadapi ledakan penduduk dunia apa yang harus dilakukan?

Bagi kebanyakan aktivis, pertumbuhan penduduk merupakan hal yang amat besar dan penting. Amat penting karena persoalan kependudukan terkait erat dengan masalah kemiskinan dan kondisi lingkungan. Namun, masalah kependudukan justru diabaikan pada pertemuan-pertemuan tingkat kepala negara.

”Pada saat Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) diadopsi, tidak ada satu pun target yang menyasar masalah populasi atau akses keluarga berencana,” ujar Alex Ezeh, Direktur Eksekutif pada Studi Populasi Afrika dan Pusat Penelitian Kesehatan di Nairobi.

Para aktivis kampanye memberikan perhatian khusus kepada masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Pertumbuhan populasi pada beberapa kasus telah menjadi penyebab suatu negara jatuh miskin.

Selama tiga hari, 20-22 Desember 2010, berlangsung Pertemuan Tingkat Tinggi PBB di New York mengenai MDGs. Pada akhir acara akan diluncurkan resolusi sebagai penguatan Deklarasi Milenium yang diratifikasi negara-negara pada 2000.

Di negara-negara berkembang, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menambah beban pada persoalan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Masalah jumlah penduduk yang tinggi juga memperluas kerusakan lingkungan dan menambah parah dampak dari perubahan iklim.

Ezeh menunjuk pada persoalan yang dihadapi Afrika. Meski proporsi penduduk miskin turun, angka absolut penduduk miskin tetap tinggi karena pertumbuhan penduduk amat pesat.

”Jika populasi bertumbuh 3 persen per tahun, itu berarti jumlah penduduk menjadi dua kali lipat setiap 23-24 tahun,” ujarnya. ”Hal itu berarti, Anda memiliki dua kali lebih banyak anak-anak yang butuh pendidikan. Nyaris tak mungkin bagi negara untuk melipatduakan jumlah sekolah dan guru dalam jangka waktu itu,” ungkap Ezeh.

Saat ini pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,49 persen dengan jumlah penduduk—hasil Sensus Penduduk 2010—237,6 juta jiwa. Negara Afrika dengan persoalan kependudukan tersebut antara lain Kenya yang tahun 2009 jumlah penduduknya 38,6 juta setelah bertambah sekitar 10 juta dihitung sejak tahun 1999.

Sementara itu, pertemuan di New York akan diwarnai kenyataan bahwa pencapaian target dari delapan sasaran MDGs akan beragam. Beberapa berhasil, beberapa lagi tidak dalam tujuan utama mengurangi kemiskinan dan kelaparan dunia.

”Pada pertemuan ini akan ditegaskan arah dan hasil, sukses dan kegagalan, dari keseluruhan sasaran MDGs,” ungkap Olav Kjorven, seorang pejabat senior pada badan pembangunan PBB, UNDP.

”Dengan sisa lima tahun lagi, ini momen kebenaran bagi komunitas internasional,” ujar Kjorven kepada BBC.

Kualitas hidup meningkat

Pemerintah meyakini penurunan angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan hal itu ketika dimintai tanggapan seusai rapat di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (20/9).

”Sebetulnya kita bisa melihat dari ukuran apa pun kemiskinan di Indonesia menurun, artinya ada perbaikan kualitas kehidupan,” ujar Hatta.

Pendapatan sebesar 1 dollar AS per hari, menurut dia, tak menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Penurunan kemiskinan juga tecermin dengan ukuran-ukuran yang digunakan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

”Bukan hanya diukur dengan pendapatan 1 dollar AS per hari. Ada perlindungan sosial yang diberikan pemerintah berupa subsidi, kesehatan gratis, pendidikan gratis. Kalau itu diterjemahkan pada daya beli, pendapatannya relatif lebih dari 1 dollar karena dia mendapat akses pendidikan dan kesehatan yang dijamin negara,” ujar Hatta.

Meski begitu, Hatta mengakui, di wilayah Indonesia timur, pertumbuhan ekonomi yang berada di atas rata-rata nasional belum mencerminkan perbaikan kualitas hidup. Hal ini dikarenakan rata-rata IPM di kawasan Indonesia timur yang masih di bawah rata-rata nasional.

”Artinya, pendidikan, kesehatan, dan akses infrastruktur dasar belum memadai. Akses pada air bersih, listrik, dan sarana transportasi antara lain merupakan kebutuhan dasar untuk meningkatkan kualitas hidup,” ujar Hatta. (AFP/BBC/DAY/ISW)***

Source : Kompas, Selasa, 21 September 2010 | 03:58 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • agung baskoro

Selasa, 21 September 2010 | 12:11 WIB

Akhinya ada juga artikl yang membahas kependudukan. memang harus lebih banyak lagi membahas hal ini demi mencapai populasi yang ideal dan optimal. bila tidak percuma mau melakukan usaha apapun ya gak bakal berhasil sebab muncul terus masalah baru lebih cepat dibandingkan solusinya.

Balas tanggapan

Ekspektasi Harga Beras Naik Dorong Spekulasi

Ekspektasi Harga Beras Naik Dorong Spekulasi

JAKARTA - Aksi spekulasi para pedagang yang menahan stok antara lain disebabkan ekspektasi mereka terhadap harga beras yang masih akan terus naik. Akibatnya, harga beras medium yang banyak dikonsumsi masyarakat tetap tinggi sekalipun stok beras dilaporkan cukup banyak.

Harga beras medium rata-rata saat ini di Cirebon pada sebulan terakhir adalah Rp 6.200 hingga Rp 6.400 per kilogram. Naik sekitar Rp 1.000 per kilogram pada sebulan terakhir. Hasil survei Kementerian Perdagangan bersama dinas perdagangan di seluruh provinsi mencatat, harga beras medium rata-rata bulan Juli Rp 6.500 per kilogram dan pada Agustus Rp 6.662 per kilogram.

Guru Besar Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin di Jakarta, Jumat (27/8), mengatakan, aksi spekulasi oleh pedagang beras dipengaruhi beberapa hal. Pertama, pedagang memiliki ekspektasi atas pendapatan tinggi saat ini. Kedua, mereka mengantisipasi harga beras masih akan naik lagi dengan menjaga stok. Ketiga, hal itu karena informasi produksi yang tidak lengkap.

Kondisi seperti ini membuat pasar tidak stabil dan harga akan terus berfluktuasi. Kekhawatiran terbesar dipengaruhi stabilitas pasokan beras.

Pemerintah yakin, produksi beras akan bertambah seiring meningkatnya luas tanam yang diperkirakan mencapai 13,35 juta hektar per September 2010. Produksi padi diperkirakan mencapai 67,15 juta ton gabah kering giling atau naik 3,08 persen.

Harga gabah tinggi

Ekspektasi harga beras yang tinggi sedikitnya terlihat dari harga gabah yang tetap tinggi di Karawang, Jawa Barat, Jumat. Harga gabah kering panen (GKP) bertahan pada kisaran Rp 3.500 hingga Rp 3.700 per kilogram.

Petani mengakui bahwa harga GKP tetap tinggi sekalipun areal panen meluas sebulan terakhir. Harga yang tinggi rupanya didorong turunnya produktivitas padi akibat serangan hama penyakit dan tingginya permintaan menjelang Lebaran.

Cholil (42), petani di Desa Sukasari, Kecamatan Purwasari, Jumat, menyebutkan, tengkulak berani membeli GKP berendemen di atas 55 persen dengan harga Rp 3.700 per kilogram. Sebagian hasil panen hanya laku Rp 3.300 per kilogram karena rendemen 51-52 persen akibat banyaknya bulir hampa.

”Serangan wereng batang coklat dan kondisi cuaca membuat proses pengisian malai tidak optimal. Banyak bulir hampa. Dari 2.000 meter persegi sawah, hasil panen turun dari 1 ton jadi 0,25 ton GKP,” kata Cholil.

Abu (35), petani di Desa Parakan, Kecamatan Tirtamulya, menambahkan, tengkulak berani membeli dengan harga tinggi karena hasil panen petani umumnya menurun musim ini. Meski jauh lebih tinggi ketimbang harga pembelian pemerintah, yaitu Rp 2.640 per kilogram GKP, tengkulak tetap mau membeli.

Panen padi musim tanam kedua (gadu) di Karawang terus meluas sebulan terakhir. Kini panen telah mencapai wilayah golongan air (irigasi) II-III di Karawang bagian tengah dan utara. Dinas Pertanian Karawang memperkirakan luas panen musim ini mencapai 23.000 hektar atau sekitar 25 persen dari luas lahan.

Akan tetapi, produktivitas cenderung turun, yakni dari 7,32 ton GKP per hektar pada musim rendeng lalu menjadi 7,04 ton GKP per hektar musim ini. Penurunan produktivitas terutama dipengaruhi serangan wereng batang coklat. Hingga pertengahan Juli lalu, luas serangan mencapai 3.308 hektar, dengan kondisi ringan 2.779 hektar, kondisi sedang 354 hektar, berat seluas 103 hektar, dan puso di 72 hektar.

Di Kabupaten Purwakarta, meluasnya areal panen dan meningkatnya pasokan dari penggilingan-penggilingan padi menekan harga beras di pasar lokal. Meski demikian, harga masih tetap bertahan tinggi.

Aziz Jaelani (54), pedagang beras di Pasar Rebo, menyebutkan, harga beras rata-rata turun Rp 500 per kilogram pada dua pekan ini, yakni kualitas super Rp 7.000, medium Rp 6.500, dan kualitas III Rp 6.000 per kilogram.

Dinas Pertanian Purwakarta mencatat, per akhir Juli 2010, luas area panen mencapai 32.013 ha atau 87,5 persen dari target panen. Adapun produksi mencapai 183.008 ton GKG atau 84 persen dari target tahun ini 217.729 ton GKG. (ham/mkn)***

Source : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 05:31 WIB

Gunakan SDA untuk Mengatasi Kemiskinan

KUALITAS HIDUP

Gunakan SDA untuk Mengatasi Kemiskinan

JAKARTA - Pemerintah harus berkomitmen dan konsisten menggunakan sumber daya alam untuk pemberantasan kemiskinan yang masih sangat memprihatinkan. Komitmen itu sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yakni intinya tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Demikian diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mencontohkan kebijakan yang berpihak pada pemberantasan kemiskinan dengan sumber daya alam, antara lain mengutamakan pemenuhan kebutuhan domestik gas dan energi lainnya sebelum mengekspor.

Hal senada diungkapkan Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad. Keduanya dimintai pendapat tentang kondisi kemiskinan di Indonesia.

Menurut Kalla, ”Sumber daya alam itu kalau ada sisanya, baru diekspor. Semua kontrak yang habis masa berlakunya atau kontrak yang baru dimulai harus begitu bunyi dan spiritnya. Jadi, komitmen mengelola national resources kita itu jelas.”

Dengan mengutamakan kepentingan untuk kebutuhan domestik, menurut dia, berarti sumber daya alam itu digunakan oleh industri dalam negeri untuk berproduksi dan menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja adalah salah satu upaya nyata mengatasi persoalan kemiskinan.

”Tidak seperti sekarang, gas kita lebih banyak diekspor ketimbang untuk kebutuhan domestik. Padahal, industri kita dan PLN kekurangan gas,” katanya.

Gas yang murah juga sangat dibutuhkan PLN untuk bahan bakar pembangkit energi listrik. Karena murah dan efisien, PLN bisa meningkatkan efisiensinya dan mengurangi kebutuhan subsidi. Selanjutnya, PLN bisa menambah kapasitas dengan dana yang sama dari pemerintah.

Salah satu contoh konkret kebijakan pemerintah yang langsung berpihak dan menyentuh kebutuhan riil rakyat ialah pengalihan pemakaian minyak tanah ke elpiji—terlepas dari segala kekurangan karena kurang tepat pengelolaannya. ”Masyarakat bisa menghemat pengeluaran sekitar Rp 30.000 per bulan, lingkungan juga bersih,” katanya.

”Pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi sekitar Rp 40 triliun per tahun. Dana itu bisa dialihkan untuk membangun puskesmas, biaya pendidikan, dan sebagainya, yang semuanya kembali untuk peningkatan kesejahteraan rakyat,” ucapnya.

Senada dengan Kalla, Chalid mengungkapkan, ”Saat ini pemerintah justru mengutamakan ekspor sumber daya alam untuk memenuhi permintaan negara- negara maju, sementara kita sendiri kekurangan dan harus membeli dari pasar dunia yang harganya lebih mahal. Kebijakan semacam ini jelas semakin memiskinkan rakyat.”

Menurut Chalid, memberantas kemiskinan tak bisa dilepaskan dari sistem supply-demand global. Negara berkembang sekarang dipaksa mengeksploitasi sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju. Di sisi lain, kebijakan yang berpihak pada ekspor sumber daya pada akhirnya justru memiskinkan rakyat. (DIS/ISW)***

Source : Kompas, Selasa, 21 September 2010 | 02:53 WIB

Senin, 20 September 2010

Kepercayaan Konsumen Perlu Dijaga

ANALISIS DANAREKSA

Kepercayaan Konsumen Perlu Dijaga

Oleh Asti Suwarni

Di tengah-tengah berita membaiknya perekonomian global, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keadaan ekonomi di Indonesia ternyata menurun dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Kepercayaan Konsumen yang terus menurun sejak bulan Juni 2010.

Pada Agustus 2010, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) bahkan mencapai level terendah sejak Januari 2009.

Penurunan tersebut perlu diwaspadai karena, selain menggambarkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keadaan ekonomi di Indonesia, IKK juga mencerminkan daya beli konsumen Indonesia. Jadi, IKK yang menurun juga menunjukkan daya beli konsumen yang menurun.

Fakta ini sangat penting mengingat belanja konsumen memberi kontribusi lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) kita.

Jika IKK terus menurun (yang berarti daya beli konsumen Indonesia juga terus menurun), bisa jadi pertumbuhan ekonomi kita akan terganggu.

Sebaliknya, jika IKK semakin kuat (yang berarti daya beli konsumen juga semakin kuat), pertumbuhan PDB kita juga akan semakin membaik.

Daya beli konsumen yang masih kuat ini pula yang turut membantu menyelamatkan perekonomian Indonesia pada masa krisis global beberapa waktu lalu.

Di tengah berita banyaknya negara yang mengalami pertumbuhan negatif saat krisis global yang terjadi beberapa waktu lalu, Indonesia ternyata berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi positif.

Aktivitas perekonomian yang masih kuat tersebut didukung oleh pengambilan kebijakan yang tepat pada saat itu sehingga suku bunga dan inflasi di Indonesia relatif terkendali.

Selain itu, aktivitas perekonomian Indonesia yang masih kuat tersebut ternyata didukung pula oleh daya beli masyarakatnya yang masih kuat, seperti ditunjukkan oleh IKK yang relatif cukup tinggi pada saat itu.

Pada Januari 2007, IKK Indonesia berada pada level 84,8 dan pada Februari 2009 IKK masih berada di level 82,9.

Memang, pada Juni 2008, IKK Indonesia sempat mencapai level terendah setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Mei 2008. Meski demikian, pada Juli 2008, IKK Indonesia kembali menunjukkan tren naik.

Berbeda dengan Amerika ataupun Jepang, misalnya, IKK Amerika sudah menunjukkan tren menurun sejak pertengahan tahun 2007.

Dari level yang berada di atas 100 (yang menunjukkan bahwa konsumen masih merasa optimistis) pada Juli 2007, IKK menurun terus hingga berada di level 25 pada Februari 2009.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Amerika merasa sangat pesimistis untuk membelanjakan uangnya saat itu.

Begitu pula dengan IKK di Jepang juga mengalami penurunan. Pada Januari 2007, IKK Jepang masih berada di level 48,4.

Namun, setelah itu, IKK Jepang menunjukkan tren menurun sehingga berada di level 27 pada Januari 2009. Jadi, mirip dengan Amerika, konsumen di Jepang enggan untuk membelanjakan uangnya saat itu.

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika belanja konsumen di kedua negara tersebut tidak banyak membantu meningkatkan aktivitas perekonomian di negara mereka saat itu (walaupun pemerintah di kedua negara tersebut telah memberikan bantuan paket stimulus untuk membantu pemulihan ekonomi di negara mereka).

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi di kedua negara ini sempat negatif saat krisis global beberapa waktu lalu.

Seiring dengan pemulihan ekonomi global, IKK Amerika dan Jepang menunjukkan tren naik. Begitu pula dengan IKK Indonesia yang juga menunjukkan tren naik dan sempat mencapai level 93,8 pada Agustus tahun lalu.

Namun, setelah itu, IKK Indonesia mulai menunjukkan tren menurun. Penurunan IKK yang berkelanjutan (yang juga berarti penurunan daya beli konsumen) dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa mendatang karena belanja konsumen memberi kontribusi lebih dari 60 persen terhadap PDB.

Oleh karena itu, kepercayaan konsumen perlu dijaga agar tidak terus menurun. Untuk itu, perlu diketahui apa penyebab utama menurunnya IKK dalam beberapa bulan terakhir.

Harga pangan tinggi

Menurut survei yang dilakukan Danareksa Research Institute terhadap 1.700 rumah tangga Indonesia untuk mendapatkan gambaran persepsi rumah tangga terhadap kondisi perekonomian, pendapatan rumah tangga, dan ketersediaan lapangan kerja, ada tiga masalah utama yang dikhawatirkan masyarakat selama beberapa tahun terakhir.

Masalah tersebut adalah tingginya harga bahan makanan, tingginya harga dan kelangkaan BBM, dan ketersediaan lapangan kerja. Masalah yang dihadapi konsumen ini tentu saja akan berpengaruh pada pergerakan IKK.

Mereka menyatakan bahwa masalah tersebut telah memberikan dampak negatif terhadap kondisi perekonomian di daerah mereka dalam tiga bulan terakhir.

Dari ketiga masalah tersebut, masalah yang paling menonjol adalah kekhawatiran terhadap tingginya harga bahan makanan. Kekhawatiran masyarakat ini berkorelasi negatif dengan IKK sebesar -0,83.

Artinya, jika persentase konsumen yang khawatir terhadap tingginya harga pangan naik, IKK cenderung menurun.

Sebaliknya, apabila persentase konsumen yang khawatir terhadap tingginya harga pangan turun, IKK cenderung meningkat.

Pada waktu kenaikan harga BBM pada Mei 2008, lebih dari 80 persen konsumen yang disurvei menyatakan kekhawatiran mereka terhadap harga bahan pangan.

Hal ini tentu saja berpengaruh negatif terhadap pergerakan IKK. Pada Juni 2008, IKK sempat mencapai level terendahnya sepanjang sejarah survei, yaitu pada level 81,7.

Meskipun demikian, dengan pengambilan kebijakan yang tepat pada saat itu (sehingga suku bunga dan inflasi relatif terkendali), kekhawatiran masyarakat terhadap kenaikan harga bahan pangan semakin berkurang.

Pada Agustus 2009, kurang dari 50 persen konsumen yang disurvei saat itu merasa khawatir terhadap harga pangan.

Akan tetapi, persentase konsumen yang merasa khawatir terhadap harga pangan kembali naik dalam beberapa bulan terakhir ini.

Bahkan, pada Agustus 2010, sebanyak 77,2 persen konsumen yang disurvei menyatakan kekhawatiran mereka terhadap tingginya harga pangan.

Kekhawatiran ini memang beralasan. Harga bahan pangan memang mengalami kenaikan dalam beberapa bulan terakhir.

Salah satu pemicu kenaikan harga komoditas pertanian tersebut adalah terjadinya gangguan cuaca di beberapa wilayah Indonesia sehingga membuat panen terganggu.

Selain itu, kenaikan ini juga disebabkan oleh faktor musiman, yaitu Ramadhan dan Idul Fitri pada bulan Agustus dan September, yang biasanya memicu kenaikan harga pangan secara signifikan.

Akibatnya, inflasi makanan mengalami kenaikan. Pada bulan Juni, inflasi bulanan makanan mencapai 1,94 persen dan bulan Juli naik lebih tinggi lagi menjadi 2,89 persen.

Keadaan ini membuat inflasi bulanan umum (keseluruhan) naik sebesar 0,97 persen pada bulan Juni dan naik sebesar 1,57 persen pada bulan Juli.

Untungnya, pemerintah cukup tanggap dalam mengendalikan harga pangan. Pada Agustus 2010, inflasi bulanan makanan sudah turun mencapai 0,56 persen sehingga inflasi bulanan umum mencapai 0,76 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka pada bulan-bulan sebelumnya.

Pengendalian harga pangan ini perlu terus dipertahankan sehingga kepercayaan konsumen dapat meningkat kembali. Dengan demikian, masyarakat dapat membantu meningkatkan aktivitas perekonomian (mengingat belanja konsumen memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDB kita).

Asti Suwarni,

Economist Danareksa Research Institute

Source : Kompas, Senin, 20 September 2010 | 02:57 WIB

Rakyat Indonesia Masih Miskin

Rakyat Indonesia Masih Miskin

JAKARTA - Meski target pengurangan kemiskinan ekstrem dan kelaparan sebagai salah satu sasaran Tujuan Pembangunan Milenium tercapai, pada kenyataannya rakyat Indonesia masih miskin. Pendapatan 1 dollar AS (kurang dari Rp 9.000) per hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Utusan khusus Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), Nila Djuwita Moeloek, mengemukakan hal tersebut seusai acara Parliamentary Stand Up For MDGs di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Jumat (17/9) pekan lalu.

Tanggal 20-22 September 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi untuk mengecek kemajuan MDGs. Sekitar 150 kepala negara akan hadir. Delegasi Indonesia dipimpin Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Semua negara harus melaporkan tingkat pencapaian sasaran-sasaran MDGs.

Nila selanjutnya mengatakan, untuk pengurangan angka kemiskinan, Indonesia masih tetap pada jalurnya. Namun, dengan ukuran kemiskinan, yakni pendapatan di bawah 1 dollar AS per hari per orang tentu dipertanyakan kualitas hidup yang dijalani masyarakat dengan pendapatan tepat di ambang batas itu, ataupun sedikit di atasnya yang menurut ukuran itu tidak tergolong miskin.

Proyek global MDGs terdiri atas 8 sasaran yang mencakup pengurangan kemiskinan ekstrem dan kelaparan, peningkatan angka partisipasi pendidikan primer, meningkatkan kesehatan ibu, mengurangi kematian anak, penyebaran HIV/AIDS, kesetaraan jender, memastikan lingkungan yang berkelanjutan, dan meningkatkan kemitraan global.

Saat ini Indonesia memilih menetapkan ambang batas kemiskinan pada pendapatan 1 dollar AS per hari per orang. Angka yang dicapai Indonesia menunjukkan perbaikan.

Tahun 1990, sekitar 20,6 persen penduduk pendapatannya di atas 1 dollar AS per hari. Tahun 2010, dari hasil sensus penduduk, menurut analis Kampanye dan Advokasi MDGs PBB di Indonesia, Wilson TP Siahaan, angka itu menjadi sekitar 13,33 persen jumlah penduduk, atau ada 31,02 juta penduduk miskin, dari data BPS per Maret 2010.

Menurut Nila, target-target yang dianggap telah on track sekalipun masih harus dilihat secara lebih detail. Di bidang pendidikan, misalnya, angka partisipasi murni (APM) untuk pendidikan dasar telah naik menjadi 95,14 persen pada tahun 2008 dibandingkan angka partisipasi murni tahun 1993 yang mencapai 91,23 persen.

Tak jauh beda dari pandangan Nila, Wilson melihat pencapaian MDGs Indonesia bagaikan potret bercampur. Di satu sisi, beberapa sasaran, seperti pengurangan kemiskinan, telah on track. Namun, kinerja dalam pengentasan rakyat miskin tetap jadi masalah. Selama periode 1990-2010, kemiskinan hanya turun 1 persen.

Berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 persen (27,2 juta orang miskin) dan pada tahun 2009 kemiskinan 14,15 persen (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 ada sekitar 31,7 juta orang miskin.

”Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 persen. Hanya saja, penurunan tidak cukup kencang dalam waktu 11 tahun,” ujarnya.

Masalah keadilan

MDGs yang dikemas dengan bungkus globalisasi, menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, sebagai proyek internasional dan komitmen bersama guna mengurangi kemiskinan, MDGs seakan terlepas dari masalah ketidakadilan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Palupi mengungkapkan, hal paling mendasar untuk melihat MDGs ialah dengan perspektif hak asasi manusia. Menurut dia, kapabilitas orang miskin harus ditingkatkan melalui pendidikan, peningkatan kesehatan, dan penyediaan kesempatan bekerja. Dengan demikian akan muncul kemandirian menghidupi diri sendiri dan keluarganya.

Ia mencontohkan, sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati 40 persen penduduk (golongan menengah) dan 20 persen (golongan terkaya). Sisanya yang 40 persen (penduduk termiskin) semakin tersingkir. Porsi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin menurun dari 20,92 persen pada tahun 2000 menjadi 19,2 persen tahun 2006.

Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah dan target MDGs yang bertentangan. Di satu sisi, sasaran MDGs ialah menjamin kelestarian lingkungan dan pengentasan rakyat miskin. Namun, pemerintah justru melakukan perusakan sistematis terhadap lingkungan.

Pemerataan

Persoalan MDGs tidak bisa dipandang sebatas angka secara nasional, tetapi harus dilihat bagaimana pemerataan pencapaiannya di seluruh bagian Indonesia. Hal itu dikemukakan Divisi Monitoring Kebijakan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.

Ade berpendapat, di Indonesia bagian timur yang lebih tertinggal dibandingkan dengan bagian Indonesia lain, masalahnya akan sangat kompleks ditambah dengan kondisi geografis yang menjadi tantangan tersendiri.

Perlu pemetaan daerah yang kaya dan minus sehingga kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sasaran.

”Selain itu, bias kebijakan juga harus dihindari. Permasalahan sebenarnya ada di daerah, tetapi penyelesaiannya menggunakan asumsi kota,” ujarnya. Menurut dia, penyelesaian masalah tidak bisa instan dan top down. ”Warga perlu terlibat dalam pembuatan kebijakan sehingga kebijakan dapat menjawab masalah-masalah mereka,” kata Ade.

Secara umum, menurut Wilson, Indonesia jelas lebih baik daripada negara-negara di Afrika dan India karena populasinya lebih sedikit. Di samping itu, Indonesia mempunyai potensi besar dalam hal pendanaan, institusi, dan sumber daya manusia. Persoalannya ialah memastikan di tingkat bawah akan efektivitas program dan kekonkretannya. Menurut Wilson, MDGs merupakan alat untuk melihat akuntabilitas pemimpin kepada masyarakat dalam perbaikan kesejahteraan.

Sementara Nila menegaskan, arah pemerintah selama ini sudah benar karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki semangat pro-poor, pro-growth, pro-job. Rencana pemerintah untuk mencapai semua sasaran MDGs tergambar pula dalam rencana pembangunan berjangka yang telah disusun. (INE/ELN/WHY)***

Source : Kompas, Senin, 20 September 2010 | 04:08 WIB

Ada 19 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Bambang Budhianto

Senin, 20 September 2010 | 14:55 WIB

Tanpa memperdebatkan ukuran kemiskinan US$1/hari, maka bila memakai ukuran tsb sebenarnya secara statistik Indonesia sudah mempunyai kemajuan. Tahun 1990, dengan jumlah penduduk 179,4 jt jumlah orang miskin 27,2 jt (15,1%). Tahun 2009, jumlah penduduk 231 jt, jumlah org miskin tercatat 32,5 jt (14,15%). Artinya, selama 19 tahun, dengan penambahan penduduk sebesar 51,6 jt, hanya ada tambahan orang miskin 5,3 jt atau hanya 10,27%. Bukan kah ini menunjukkan ada upaya yang dilakukan untuk dapat mengurangi laju tingkat kemiskinan. Bisa kah membayangkan bila pemerintah tidak bekerja, berapa tingkat kemiskinan yang ada? Mari kita bersama-sama bekerja lebih keras untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia.

Balas tanggapan

  • purwanto prawiro

Senin, 20 September 2010 | 13:29 WIB

iya ya, knp org miskin diukur dari pendapatan 1 dolar AS/hr. kalo semua org miskin di ngr kt pendapatanya sdh 1 dolar/hr berarti ga ada org miskin lg ya, pdhl skrg bnyak ber pendapatan lebih dr 1 dolar/hr tp hdpnya tetap susah, gmn tuh

Balas tanggapan

  • bachtiar moerad

Senin, 20 September 2010 | 13:06 WIB

Permudah investasi, hukum gantung birokrat di pusat dan daerah yang kerjanya hanya menjadi pengemis berdasi, menghambat investasi. Perilaku menghambat investasi sama besar dosanya dengan yang korupsi ! sama, tidak salah lagi!

Balas tanggapan

  • bachtiar moerad

Senin, 20 September 2010 | 13:04 WIB

Kesalahan prinsipil dalam pengelolaan APBN kita.adalah bhw kementerian2 produksi (a/l perindustrian dan pertanian) berlomba-lomba menyedot APBN. Hal tersebut akan mubazir . . . karena pertumbuhan hanya mungkin didongkrak oleh investasi, sekali lagi investasi! APBN ber-trilyun2 utk kementerian2 hanya pemborosan saja, habis utk proyek2 yang semu dan lagi-2 untuk belanja pegawai. Sebagai pembayar pajak saya sungguh sangat keberatan dengan sistim pembangunan ala proyek2 ber-triyun2 dari kementerian2 !

Balas tanggapan

  • Thanon Dewangga

Senin, 20 September 2010 | 12:06 WIB

pemerintah rasanya sudah bekerja keras untuk memberantas kemiskinan. perlu waktu untuk itu karena kemiskinan yang kita alami sekarang warisan dari pemerintahan yang lalu. program2 pemerintah sekarang sudah pro poor, kita perlu dukung bersama-sama

Balas tanggapan

Disiapkan, Resolusi untuk Perkuat MDG

PERTEMUAN TINGKAT TINGGI PBB

Disiapkan, Resolusi untuk Perkuat MDG

JAKARTA - Pertemuan tingkat tinggi PBB akan diadakan menyusul Sidang Umum PBB ke-65 yang berlangsung pekan lalu. Untuk itu, PBB menyiapkan resolusi yang berisi beberapa butir tambahan pada Deklarasi Milenium yang ditandatangani tahun 2000.

Pertemuan tingkat tinggi PBB yang membahas Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) ini berlangsung 20-22 September 2010. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Sementara Wakil Presiden Boediono akan berangkat hari ini ke New York, AS.

Untuk pertemuan tingkat tinggi tersebut, PBB menyiapkan laporan MDG tahun 2010 yang diberi tajuk ”We Can End Poverty 2015, Millenium Development Goals”.

Dalam laporan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada kata pengantar menegaskan bahwa semua pihak harus ”menjaga janji” (keeping the promise).

”Deklarasi Milenium tahun 2000 merupakan pencapaian tertinggi kerja sama internasional yang menginspirasi usaha pembangunan yang telah meningkatkan kehidupan dari ratusan juta manusia di muka bumi,” tulis Ban Ki-moon.

”Sepuluh tahun kemudian, para pemimpin negara akan berkumpul kembali di Kantor PBB di New York untuk melihat perkembangannya, melihat tantangan dan kekosongan yang muncul, serta menyepakati strategi dan aksi konkret agar sasaran MDGs bisa tercapai pada 2015,” ungkap Ban Ki-moon.

Dia menegaskan, sasaran-sasaran pada MDGs mewakili kebutuhan manusia dan hak dasar yang harus dinikmati semua orang di seluruh dunia.

”Laporan ini menunjukkan seberapa besar kemajuan yang dicapai. Yang paling penting adalah laporan ini menunjukkan bahwa sasaran bisa dicapai saat strategi pembangunan nasional, kebijakan, dan program-programnya didukung oleh dunia internasional,” tulisnya.

Pada saat yang sama, menurut dia, jelas bahwa pencapaian kehidupan kaum miskin ternyata sedemikian lambat, yang tidak bisa diterima, dan pencapaian sasaran yang didapat dengan susah payah telah digembosi oleh persoalan krisis iklim, krisis makanan, dan krisis ekonomi.

Urusan semua orang

Dunia memiliki sumber daya dan pengetahuan untuk memastikan bahwa negara-negara paling miskin pun dan negara-negara lain yang mengalami serangan penyakit, isolasi geografis, dan atau konflik sipil, dapat diberdayakan untuk bisa mencapai sasaran MDGs.

Mencapai sasaran itu merupakan kepedulian dan urusan semua orang. Tertinggal sedikit saja akan melipatgandakan bahaya dari dunia ini—mulai dari instabilitas, serangan penyakit secara epidemis, hingga kemunduran kualitas lingkungan.

Mencapai sasaran dari target MDGs akan menempatkan kita pada jalur cepat menuju dunia yang lebih stabil, lebih adil, dan lebih aman. Miliaran manusia memandang pada komunitas internasional untuk menyadari akan hebatnya visi yang termuat dalam Deklarasi Milenium. ”Mari kita memegang janji kita,” tulis Ban Ki-moon di akhir kata pengantarnya.

Dihadiri artis

Pertemuan tingkat tinggi PBB tersebut, selain dihadiri para pemimpin negara, kalangan bisnis, dan masyarakat sipil, juga akan dihadiri sejumlah duta muhibah PBB dan utusan perdamaian yang kencang menentang kondisi kemiskinan sekarang dan akan melakukan seruan untuk bertindak, salah satunya dari Indonesia, yaitu Anggun (penyanyi, FAO). Yang lain adalah Ronaldo (Brasil, pemain sepak bola dunia, UNDP), Zinédine Zidane (Perancis, pemain sepak bola dunia, UNDP), Ricky Martin (Puerto Rico, penyanyi, UNICEF), Maria Sharapova (Rusia, petenis, UNDP), Mia Farrow (AS, artis, UNICEFs), dan Carl Lewis (AS, atlet lari, FAO). Utusan perdamaian yang hadir adalah Paulo Coelho (Brasil, sastrawan) dan Midori Goto (Jepang, pemain biola). (UN/ISW)***

Source : Kompas, Senin, 20 September 2010 | 03:19 WIB

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template