Minggu, 29 Agustus 2010

Semerbak Aksesori dan Cendera Mata Cendana

PROFIL USAHA

Semerbak Aksesori dan Cendera Mata Cendana

Dominggus He. (KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA)***

Oleh Kornelis Kewa Ama

Bengkel reyot di Jalan Bakti Karang, Kelurahan Oebobo, Kupang, tidak pernah sepi dari ingar-bingar mesin. Di tempat ini, Dominggus He, tunanetra pemilik bengkel, bersama karyawannya mengolah keterampilan memanfaatkan kayu cendana untuk berbagai aksesori dan cendera mata.

Di belakang bengkel terdapat rumah He. Rumah tua terbuat dari lantai kasar, dinding semipermanen. Di ruang tamu terpajang hasil karya He yang disimpan di dalam lemari kaca bening.

”Semua kerajinan tangan ini terbuat dari kayu cendana. Ada tasbih, rosario, salib, kipas tangan, serbuk cendana pengharum ruangan, minyak cendana, hiasan miniatur patung manusia, penjepit rambut dari cendana, dan potongan cendana ukuran sedang,” kata Dominggus He di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (10/7).

Stok terbanyak adalah tasbih dan rosario. Menjelang Lebaran dan musim haji, pesanan tasbih dari Surabaya, Makassar, dan Kalimantan sampai 20.000 utas. Rosario sekitar 25.000 utas, biasanya dikirim ke gereja-gereja dan paroki pada bulan rosario (Mei, Oktober), dan sebagian dikirim ke Timor Leste.

Masyarakat mengetahui usaha ini dari berbagai pameran yang diikuti He, seperti di Surabaya, Jakarta, Pontianak, Makassar, dan Manado. Pameran keterampilan tradisional berbahan baku lokal itu diikuti He sejak tahun 2004.

Sebelumnya, (tahun 1980-1990) pria berijazah sekolah pendidikan guru (1979) ini berprofesi sebagai guru honor pada Sekolah Luar Biasa Yayasan Kasih di Kupang. Dalam jenjang itu, enam kali ia melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, tetapi selalu ditolak. Alasannya adalah He seorang tunanetra.

”Saya sakit hati. Seorang panitia mengatakan, saya cacat sehingga tidak bisa menuntun anak cacat. Ia bahkan mengatakan, bagaimana mungkin orang buta menuntun orang buta,” ujar pria kelahiran tahun 1957 tersebut.

He pun memutuskan keluar dari guru honor. Tidak mungkin seumur hidup hanya berstatus guru honor. Menjadi PNS saja sudah susah, apalagi guru honor.

Berkat dukungan istri, Ariance, yang dinikahinya tahun 1989, He memutuskan berhenti mengajar. Keduanya membangun usaha sendiri. Ariance menjual gorengan di samping rumah. He membuka usaha mebel kursi dan meja. Namun, usaha ini kurang beruntung. He beralih ke pengadaan aksesori bernilai religius dan cendera mata.

”Usaha ini cukup sukses. Tahun 1993-1997 saya mempekerjakan 50 orang, para pengangguran di Kota Kupang. Mereka digaji antara Rp 300.000 dan Rp 500.000 per orang, tergantung dari keterampilan dan masa kerja,” kata He.

Saat itu He sempat memberi pinjaman senilai Rp 50 juta dengan bunga Rp 1.000 per hari kepada 100 ibu rumah tangga, yang berjualan sayur dan buah-buahan di pasar. Lima bulan pertama pengembalian pinjaman lancar. Tetapi, memasuki bulan keenam dan seterusnya pengembalian pinjaman macet.

Waktu itu lagi terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Omzet usaha He menurun drastis. Bahan baku cendana sulit diperoleh. Kalaupun ada, harganya sampai Rp 30.000 per kilogram. Sebelumnya hanya Rp 2.000-Rp 5.000 per kilogram.

Potongan cendana

Potongan cendana diperoleh dari pabrik minyak cendana di kawasan Bakunase, Kupang, yang sudah berhenti beroperasi tahun 1999. Kini bahan baku cendana diperoleh dari masyarakat atau pelanggan yang ada di Soe, Kefamenanu, dan Atambua, kota lain di Pulau Timor, NTT. Kini harga kayu cendana Rp 5.000-Rp 15.000 per kg, tergantung dari kualitas. Dalam satu bulan, ia membutuhkan sekitar 2.000 kg kayu cendana.

Sekarang He mempekerjakan tujuh orang dengan upah berkisar Rp 850.000 hingga Rp 1 juta per bulan, di atas standar UMR NTT, Rp 800.000 per bulan. Ia mengaku sulit membina lulusan SMP/SMA di NTT menjadi wirausaha. Ada karyawan yang sering bolos, lambat menerima instruksi, malas, dan sering berbohong.

Meski tidak melihat, ia tahu tingkah laku dan hasil karya mereka. Karyawan yang baik bekerja dengan disiplin tinggi, tekun, sabar, jujur, dan hasil karyanya pun dapat dipertanggungjawabkan.

”Kalau rosario, tasbih, kipas tangan, atau hasil kerajinan lain masih kasar, bengkok, tidak mulus, dan tidak lengkap, langsung saya tanyakan siapa yang mengerjakan. Dia saya peringatkan tiga kali. Jika tak ada perubahan, saya pecat,” katanya.

Berkat kedisiplinan He itu, empat anak didiknya sudah membangun usaha sendiri di Rote Ndao, Atambua, dan Kupang. Mereka memanfaatkan sumber daya alam lokal seperti di Rote Ndao dengan kekhasan topi tiilangga dan alat musik sasando.

Keterbatasan modal usaha membuat He bersama anak didiknya kurang optimal mengembangkan usaha mereka.

Keterampilan dimiliki He diperoleh melalui berbagai usaha dan mengikuti kursus manajemen usaha, gugus kendali mutu, kemandirian usaha, menjadi usahawan yang sukses, serta cara menghadapi krisis dan persaingan yang tidak sehat.

”Kualitas barang harus dijaga karena kita tidak sekadar menjual barang tetapi membangun kepercayaan dengan konsumen. Ketika barang kita kualitasnya jelek, mereka tolak selamanya,” tuturnya.

He dua kali mendapat penghargaan dari Gubernur NTT, yaitu pada HUT NTT dan HUT RI, sebagai pengusaha dengan karya mutu terbaik dan tunanetra tersukses. Dia juga pernah diundang khusus ke Istana Presiden di Jakarta pada tahun 2007 sebagai pengusaha dengan kualitas terbaik dari NTT.

Ia sering memberi pengarahan kepada rekan tunanetra di Kupang dan di sejumlah kabupaten di NTT. ”Menjadi buta tidak berarti kita berhenti bekerja, lalu bergantung pada orang lain. Tuhan itu adil. Dia masih memberi kita kelebihan di bidang lain,” katanya.

Terinspirasi He, puluhan tunanetra di Kupang berhasil mengembangkan bakat mereka, seperti membuat album lagu daerah/rohani, pemijat, dan penghasil kerajinan tangan seperti sapu dan menjahit.***

Source : Kompas, Sabtu, 28 Agustus 2010 | 02:56 WIB

Minggu, 08 Agustus 2010

Kerajinan Akar Keladi Air Populer di Malaysia

PROFIL USAHA

Kerajinan Akar Keladi Air Populer di Malaysia

Rahmidar (40), perajin akar keladi air. (KOMPAS/A HANDOKO)***

Oleh Agustinus Handoko

Keladi air adalah tanaman liar yang tumbuh merambat di hutan-hutan Kalimantan Barat, terutama di rawa-rawa. Sejak lama akarnya hanya digunakan oleh penduduk untuk mengikat kayu-kayu. Kerajinan ini sekarang sudah dikenal hingga ke Kuching, Negara Bagian Serawak, Malaysia.

Di tangan Ny Rahmidar (40), akar keladi air itu tidak saja bisa mendatangkan rupiah, tetapi juga memberdayakan para pengangguran, terutama dari kalangan ibu rumah tangga.

Dari kerja kerasnya, Rahmidar berhasil memopulerkan kerajinan akar keladi air, bahkan hingga ke Kuching. Perkenalan dia dengan akar keladi air terjadi setelah menjadi pengungsi kerusuhan sosial di Kabupaten Sambas sekitar Mei tahun 1999.

”Bisa dibilang saya tak sengaja menekuni kerajinan akar keladi air ini. Waktu itu saya kebingungan karena tidak memiliki pekerjaan lalu belajar membuat kerajinan,” jelas Rahmidar.

Sebelum kerusuhan sosial di Sambas, Rahmidar berdagang di Pemangkat, Sambas. Pascakerusuhan sosial yang dipicu oleh sentimen etnis, Rahmidar dan suaminya sempat mengungsi selama tiga hari ke tempat penampungan.

Karena konflik terus berlanjut, Rahmidar memilih pulang ke rumah ibunya di Tanjung Hulu, Pontianak Timur, Kalbar. Di sana Rahmidar belajar membuat kerajinan dari akar keladi air pada kerabatnya.

”Awalnya saya membuat anyaman untuk tempat telur dan dijual Rp 200 per buah ke pasar-pasar di Pontianak. Kalau sekarang, barang itu harganya Rp 1.500,” ujar Rahmidar.

Beberapa bulan menekuni anyaman untuk barang-barang kecil, Rahmidar lalu mulai membuat anyaman agak besar, seperti topi, tas, dan tempat buah. ”Saya masih menitipkan ke beberapa toko di pasar-pasar tradisional sebelum akhirnya mendapat bantuan permodalan,” tuturnya.

Bantuan permodalan

Berbekal kemampuannya menganyam akar keladi air, Rahmidar mengikuti pelatihan usaha kecil yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalbar pada awal tahun 2000.

Dari pelatihan itu, Rahmidar juga mendapatkan bantuan permodalan dari PT Pupuk Kaltim sebesar Rp 6 juta. ”Bunga pinjaman permodalan itu hanya sekitar 6 persen per tahun dan bisa dicicil hingga dua tahun. Bantuan modal lunak itu saya pakai untuk membeli bahan baku dan membuat tempat usaha sederhana,” tuturnya.

Sebelum mendapat bantuan modal, Rahmidar menganyam akar keladi air di rumah orangtuanya. Sebagian bantuan modal itu lalu digunakan untuk membangun tempat usaha sekaligus rumah tinggal dengan dinding papan.

Bantuan permodalan itu ternyata mampu mengatrol usaha kerajinan yang digeluti Rahmidar. Pesanan yang terus berdatangan membuat Rahmidar harus merekrut tiga karyawan.

Kerajinan yang dibuat juga makin bervariasi, seperti kap lampu, tempat hidangan berbentuk bebek, kipas, tempat buah, hantaran untuk perkawinan, dan tempat bingkisan.

Kerajinan akar keladi air juga makin populer karena Rahmidar sering diajak ikut pameran di beberapa kota. Pesanan juga datang dari Kuching, Negara Bagian Serawak, Malaysia.

Karena tuntutan usaha, Rahmidar akhirnya menerima tawaran bantuan permodalan dari Bank Kalbar sebesar Rp 50 juta dengan masa pengembalian dua tahun. Pinjaman dengan bunga 12 persen per tahun itu juga berhasil meningkatkan volume usaha kerajinan akar keladi air.

Pada tahun 2002, Rahmidar tercatat memiliki 50 karyawan di tempat usaha di Villa Ria Indah, Tanjung Hulu, Pontianak Timur. ”Waktu itu, keuntungan setiap bulan mencapai Rp 20 juta,” kata Rahmidar.

Mengembangkan usaha

Sambil mengembangkan usahanya, Rahmidar memelopori Kelompok Usaha Bersama (KUB) Plamboyan. KUB Plamboyan beranggotakan ibu-ibu rumah tangga yang ingin belajar menganyam akar keladi air. Di KUB Plamboyan, Rahmidar mentransfer keahliannya menganyam akar keladi air sekaligus mengajarkan manajemen usaha.

Untuk mengajarkan keahlian menganyam secara turun-temurun, Rahmidar meminta semua karyawan dan anggota KUB Plamboyan untuk menganyam di rumah.

Tujuannya, agar anak-anak perempuan bisa ikut belajar. ”Usaha saya berhasil. Sekarang, para penganyam umumnya merupakan generasi kedua setelah orangtua mereka. Ini menjadi pencapaian yang luar biasa karena mereka tak perlu lagi takut akan menjadi pengangguran,” tutur Rahmidar.

Sejak tahun 2005, popularitas kerajinan anyaman keladi air mulai surut karena terjadi gelombang krisis keuangan. Namun, Rahmidar tidak terlalu khawatir karena usahanya tetap jalan walaupun keuntungannya berkurang.

”Saya juga tak terlalu khawatir karena anggota KUB Plamboyan bisa mandiri. Karyawan saya walaupun jumlahnya berkurang menjadi 20 orang, semuanya tetap bisa mendapat pemasukan rutin setiap bulan,” tutur Rahmidar.

Kerajinan akar keladi air milik Rahmidar dibanderol paling mahal Rp 80.000 untuk tas dan kerajinan sejenis yang agak besar. Untuk tempat buah dan hantaran perkawinan atau kerajinan sejenis yang tidak terlalu besar, harganya hanya Rp 30.000 per buah. Sementara untuk kerajinan seperti kipas hanya Rp 15.000 per buah.

Kendati volume usaha turun, akar keladi air tetap diminati konsumen. Konsumen umumnya menyukai kerajinan akar keladi air karena bentuk akarnya kecil sehingga bisa dibuat untuk kerajinan yang membutuhkan detail. Akar keladi air juga kuat dan lentur.

Akar keladi air umumnya diperoleh dari penampung yang mendapatkan dari penduduk yang masuk ke dalam hutan. Akar keladi air yang didapat dari hutan dikupas kulitnya, lalu dijemur. Bagian dalam akar keladi air inilah yang menjadi bahan dasar kerajinan. Dari ketekunannya, Rahmidar berhasil membuka usaha baru di bidang material bangunan. Rumahnya yang dulu sederhana sekarang sudah jadi rumah permanen.***

Source : Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010 | 03:59 WIB

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template