Sabtu, 31 Juli 2010

6.800 Paket Regulator Disalurkan untuk wulayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan

6.800 Paket Regulator Disalurkan

CIREBON - Pemerintah telah menyalurkan 6.800 paket selang dan regulator yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Pendistribusian serta penjualan selang dan regulator ini dilakukan melalui agen resmi Pertamina.

Menurut Hendra Handoko, Sales Representative LPG Rayon VI Gas Domestik Region II PT Pertamina, jumlah itu masih sementara dan bisa bertambah, tergantung dari penjualannya. Salah satu penyebab ledakan elpiji adalah pemakaian selang dan regulator yang tidak memenuhi standar.

Meski bersifat penukaran, karena untuk mendapatkan selang dan regulator baru konsumen harus menukarkan selang dan regulator lama yang didapatkannya dari program konversi, konsumen harus membayar. Untuk selang, harganya Rp 15.000 dan regulator Rp 20.000. "Penjualan hanya dilakukan melalui agen-agen Pertamina. Di Wilayah III Cirebon ada 68 agen. Tiap agen sementara ini mendapat jatah 100 paket," ujar Hendra, Kamis (29/7).

Penjualan selang dan regulator resmi dari pemerintah ini dimulai pekan ini, tetapi di Kuningan sudah sejak dua minggu lalu. Pengawas Barang dan Jasa Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kuningan Erwin Irawan mengatakan, penjualannya memang sejak dua pekan lalu, tetapi belum berlanjut. Belum semua kecamatan bisa terjangkau paket itu karena penjualan awal di lakukan di kota Kuningan.

Sayang, penjualan ini belum tersosialisasi dengan baik sehingga masih banyak warga yang belum mengetahui bisa membeli selang dan regulator SNI dengan harga terjangkau.

Waspadai penipuan

Hendro menambahkan, masyarakat Cirebon harus waspada terhadap beragam bentuk penipuan atau penjualan produk yang mengatasnamakan Pertamina. Sebab, berdasarkan laporan konsumen, ada pihak ketiga yang menjual regulator dan selang seharga Rp 900.000. Penjualnya bahkan menawarkan jaminan asuransi dari Pertamina jika terjadi kecelakaan akibat ledakan elpiji.

Ada juga pihak ketiga yang mengaku menjual selang dan regulator Pertamina dari pintu ke pintu. Padahal, selang dan regulator pemerintah itu hanya dijual di 68 agen elpiji resmi Pertamina di wilayah Ciayumajakuning. "Pertamina tidak pernah menjual langsung door to door, apalagi memberi jaminan asuransi," ujar Hendro.

Berdasarkan penyisiran Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, beberapa waktu lalu, ditemukan banyak produk aksesori kompor gas yang tidak memenuhi standar. Demikian pula dengan tabung elpiji kemasan 3 kilogram yang rusak, berkarat, atau bocor. Sedikitnya ditemukan 1.200 tabung di wilayah Kuningan, sedangkan di Cirebon lebih banyak. Di Stasiun Pengisian Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) Trimulti Anugerah Abadi Jaya, misalnya, ada 1.674 tabung yang rusak selama sebulan terakhir.

Menurut Hendro, selama bulan Juli, dari empat (SPPBE) di Cirebon tercatat sekitar 5.000 tabung yang rusak dan akan ditarik. Konsumen tidak perlu khawatir karena setiap SPPBE memiliki cadangan 3.000-5.000 tabung. "Tabung yang rusak sementara diganti dengan cadangan tabung yang sudah dimiliki tiap SPPBE," katanya. (THT) ***

Source : Kompas, Jumat, 30 Juli 2010 | 19:15 WIB

Ledakan Gas : Rakyat Menginginkan Keamanan

Ledakan Gas

Rakyat Menginginkan Keamanan

Keluarga Turmudi kini takut berdekatan dengan kompor gas. Keluarga miskin yang tinggal di Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Cirebon, ini memilih memakai kompor minyak tanah.

Dari awal, Turmudi (55) memang mengaku tak bisa memakai kompor gas. "Bli isa nganggoe, Nok (Tidak bisa memakainya, Nak)," kata buruh tani dan pengangon bebek ini, Kamis (29/7) sore.

Kekhawatiran serupa dirasakan Sutirah (65), warga Dukuh Kapetakan. Ia malah tak memakai kompor gas sejak awal dibagikan, dua tahun lalu. Kompor itu masih tersimpan di lemarinya.

Sutirah, janda yang masih bekerja sebagai buruh tani, pun terpaksa menyisihkan Rp 8.000 per dua hari untuk membeli minyak tanah guna memasak nasi, singkong, atau menggoreng ikan asin. Harga Rp 8.000, bagi Sutirah, tidak murah. Sebab, dengan uang itu ia bisa membeli 1 kilogram beras kualitas premium. Harga beras eceran di Cirebon saat ini Rp 6.000-Rp 6.500 per kg. Adapun pendapatan Sutirah sekitar Rp 25.000 per hari. Itu pun jika ada garapan di sawah.

Proyek penggantian kompor berbahan bakar minyak dengan gas di Kota/Kabupaten Cirebon dan Indramayu diawali tahun 2008-2009. Secara bertahap tabung elpiji ukuran 3 kg mulai disebar. Tidak hanya warga yang mendapatkannya, tetapi juga pedagang kecil.

Menurut sejumlah pengguna, kompor gas lebih irit. Ny Ratna, pedagang gorengan di Jalan Cipto Cirebon, mengaku hanya mengeluarkan Rp 30.000 untuk bahan bakar setiap bulan. Ini jauh lebih irit dibandingkan dengan kompor minyak tanah yang bisa menghabiskan Rp 40.000 per bulan. Saat itu harga minyak tanah Rp 3.500 per liter.

Namun, irit ternyata tidak membuat hidup warga tenang. Berbagai peristiwa ledakan gas dari regulator tabung 3 kg membuat sebagian dari mereka beralih kembali ke kompor minyak tanah.

Rusak

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, pekan lalu, memeriksa sejumlah stasiun pengisian bahan bakar gas di Cirebon. Hasilnya, ditemukan 1.674 tabung rusak, sedangkan tabung tanpa Standar Nasional Indonesia 1.261 unit. Setidaknya, dari 10.000 tabung yang diedarkan, 3 persen rusak karena benturan dan sebagainya. Tabung-tabung itu akan ditarik dan diganti dengan yang baru.

Namun, penggantian tabung bukan jaminan rakyat bisa aman. Karena, selain tabung, regulator dan selang bisa menjadi faktor meledaknya tabung gas, dan hingga kini belum ada solusinya.

Sampai saat ini Sutirah atau Turmudi yang tak pernah diajari mengenal kompor, selang, dan regulator tabung yang baik memilih menggunakan kompor minyak tanah yang tak murah lagi. Mereka tak mau bertaruh nyawa menjadi percobaan regulasi pemerintah yang tak matang. (Siwi Yunita Cahyaningrum) ***

Source : Kompas, Jumat, 30 Juli 2010 | 19:16 WIB

Jumat, 30 Juli 2010

Soal Tabung Gas, JK Temui SBY


Ribuan tabung elpiji 3 kilogram rusak dan tidak layak dikumpulkan setelah dilakukan penarikan oleh Pertamina di gudang Stasiun Pengisian Bulk Elpiji Karangp loso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (29/7). Pertamina mengklaim sudah menarik satu juta tabung elpiji 3 kilogram yang rusak di seluruh Indonesia. Sekitar 15 juta tabung cadangan telah disiapkan Pertamina untuk menggantikan tabung yang ditarik. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)***

Soal Tabung Gas, JK Temui SBY

JAKARTA - Maraknya ledakan tabung gas kemasan 3 kilogram membuat mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jusuf Kalla, yang menyatakan dirinya penggagas program konversi minyak tanah dengan elpiji, merasa ikut bertanggung jawab secara moral dalam penanganan masalah terkait gas kemasan 3 kilogram itu.

Kalla menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan berbicara empat mata mulai pukul 10.00 di ruang pertemuan khusus di Lantai III Wisma Negara, Kompleks Istana, Jakarta, Kamis (29/7).

”Ya, selain membicarakan rencana dan program yang dijalankan Palang Merah Indonesia, saya menyampaikan penanganan tabung elpiji yang harus selalu terus diperbaiki,” kata Kalla, yang kini menjadi Ketua Umum PMI Pusat kepada Kompas.

Menurut Kalla, bersama Presiden, ia mendiskusikan upaya perbaikan pelaksanaan program konversi, mulai dari sosialisasi, produksi, kualitas tabung, selang dan regulator, sampai pengawasan di masyarakat.

”Saya juga menyampaikan usulan perbaikan. Tetapi, maaf, tidak bisa merincinya lebih jauh soal penanganan tabung gas tersebut. Usul itu sudah saya sampaikan ke Presiden. Biar dibahas oleh pemerintah,” ujarnya.

Kalla mengakui, kepada Presiden, ia menyampaikan pentingnya program konversi minyak tanah ke elpiji, yang dikemas dalam tabung 3 kilogram. Program ini terutama untuk mengurangi beban subsidi anggaran dan perbaikan lingkungan.

Dijelaskan, penggunaan elpiji dapat mengurangi pemakaian minyak tanah yang selama ini disubsidi oleh pemerintah. ”Program ini harus terus dilanjutkan karena bermanfaat. Bahwa ada ekses di masyarakat, tentu tugas pemerintah untuk terus meningkatkan sosialisasi, kualitas produksi, sampai pengawasan di masyarakat yang diperbaiki karena ini sudah menjadi program pemerintah,” paparnya.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa, seusai mendampingi Wakil Presiden Boediono bertemu Asosiasi Minyak Indonesia di Istana Wapres, menyatakan, ia menunggu laporan tentang penarikan 9 juta tabung gas kemasan 3 kg. ”Itu tanggung jawab Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Biar mereka yang menangani. Bagi rakyat adalah bagaimana penggunaan tabung gas 3 kg itu aman, aman, dan aman. Itu penting,” Hatta menegaskan.

Penarikan tabung

Sebelum sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Menko Kesra Agung Laksono menjelaskan, penarikan tabung gas yang tak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) sudah sekitar satu juta tabung. Namun, satu juta tabung itu ditarik secara ”alami”. ”Penarikan sedang berjalan. Bukan diambil sekaligus, secara alamiah saja,” ujarnya.

Penarikan secara ”alami” adalah penarikan yang dilakukan jika ditemukan warga yang membawa tabung tidak sesuai SNI atau tabung yang bermasalah di tempat pengisian gas. Tabung yang bermasalah bukan berarti bocor, melainkan katupnya rusak.

Menko Kesra tidak menegaskan, kapan tenggat penarikan tabung secara alami itu dirampungkan pemerintah. ”Ya secepatnya saja,” ujarnya. Sebelumnya, Agung mengatakan, jumlah tabung gas 3 kg yang tidak sesuai SNI diperkirakan sekitar sembilan juta tabung.

Namun, menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, tidak akan ada penarikan tabung sebanyak 9 juta unit.

”Usulan Kementerian Perindustrian adalah SPBE (stasiun pengisian bahan bakar elpiji) melakukan pengecekan pada saat pengisian elpiji kembali,” ujar Menperin.

Selain itu, Menperin mengusulkan kepada Menko Kesra selaku Tim Penanggulangan Tabung Gas 3 Kilogram untuk menyertakan Sucofindo, atau supervisor lain, agar setiap tabung yang akan didistribusikan diperiksa standar kualitasnya.

”Itu untuk menjaga kualitas produksi tabung meskipun sudah memiliki label SNI,” kata Hidayat.

Presiden harus ambil alih

Dari diskusi ”Konversi Energi” yang diprakarsai Megawati Institute, disimpulkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan mempercepat penanganan kasus ledakan elpiji di sejumlah tempat di Indonesia. Terus bertambahnya jumlah insiden ledakan elpiji merupakan bencana nasional, yang membutuhkan langkah-langkah darurat dari pemerintah dan sejumlah pihak terkait.

Salah satu langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah menarik 45,28 juta paket perdana konversi yang sudah didistribusikan kepada masyarakat.

Menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, selama ini pemerintah kurang responsif mengatasi masalah ledakan elpiji 3 kilogram. Pembahasan lintas sektor di bawah koordinasi Menko Kesra belum ditindaklanjuti dengan langkah konkret yang terintegrasi.

”Ini soal nyawa, tidak bisa dibuat main-main. Itu bisa dituntut secara class action,” ujarnya.

Sejak awal, menurut Agus, program konversi minyak tanah ke elpiji persiapannya tidak matang dan tanpa studi kelayakan secara budaya. Penerapan program ini hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi, yakni penghematan subsidi bahan bakar minyak. Dampak sosialnya tidak dipertimbangkan dengan matang.

Oleh karena itu, Agus ataupun anggota Komisi XI DPR, Kamaruddin Sjam, yang juga pembicara dalam diskusi, mendesak agar pemerintah segera menarik 45,28 juta paket perdana konversi yang sudah dibagikan ke masyarakat, bukan hanya sembilan juta tabung yang tak sesuai SNI.

Jika hanya 9 juta yang ditarik, dikhawatirkan masih banyak tabung dan aksesori lain yang tidak sesuai standar. Apalagi, mayoritas kasus ledakan elpiji justru karena kerusakan selang, regulator, dan katup.

Biaya penarikan dan penggantian 45,28 juta paket perdana konversi harus ditanggung pemerintah. Menurut Kamaruddin, dibandingkan dengan nilai penghematan subsidi dari program konversi dan keselamatan jiwa pengguna, biaya penggantian paket perdana itu relatif jauh kecil.

Sementara anggota Komisi VII DPR, Ismayatun, meminta agar penerapan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup dipercepat.

Hal ini dilakukan untuk memudahkan pendistribusian sekaligus pengawasan penggunaan elpiji 3 kg dan mencegah pengalihan konsumsi dari pengguna elpiji tabung 12 kg ke tabung 3 kg. Selain itu, juga mencegah kegiatan ilegal pengalihan isi elpiji tabung 3 kg ke tabung 12 kg serta pemakaian peralatan seperti tabung, kompor, dan aksesorinya yang tak sesuai SNI. (HAR/DAY/EVY/OSA)***

Sumber : Kompas, Jumat, 30 Juli 2010 | 02:33 WIB

Ada 8 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • faldy suhardhie

Jumat, 30 Juli 2010 | 12:12 WIB

Salut kepada bapak Yusuf Kalla, jiwa besarnya menuntunnya kembali bertemu SBY ....untuk satu tanggung jawab Moral...Yusuf Kalla pantas menjadi GURU BANGSA

Balas tanggapan

  • Agus Hermanto SPd

Jumat, 30 Juli 2010 | 11:17 WIB

Pak Kalla manusia Indonesia yg hebat, salut..

Balas tanggapan

  • holy rafika

Jumat, 30 Juli 2010 | 11:12 WIB

Penarikan "alami"...hahahaha. bilang aja males meriksa langsung? ;p

Balas tanggapan

  • Akhi sowak

Jumat, 30 Juli 2010 | 11:06 WIB

bravo buat jk....the real president

Balas tanggapan

  • Sulaiman Madi

Jumat, 30 Juli 2010 | 10:42 WIB

lebih cepat tidak meledak lebih baik

Balas tanggapan

Pengumuman Lelang/Tender Bank Indonesia















Source : Kompas, Kamis, 29 Juli 2010

Laporan Keuangan Pegadaian









Source : Kompas, Kamis, 29 Juli 2010

TEKNOLOGI PANGAN : Pembungkus yang Mengawetkan

TEKNOLOGI PANGAN

Pembungkus yang Mengawetkan

Oleh Nawa Tunggal

Pembungkus sekaligus berfungsi mengawetkan makanan olahan dari Institut Pertanian Bogor ini menginovasi sistem pengawetan konvensional. Bahan pengawet kimia ataupun nonkimia tak perlu lagi dilarutkan ke dalam makanan hingga bisa terakumulasi ke tubuh kita.

Inovasi ini muncul karena konsumen makin menghendaki makanan sehat tanpa zat aditif,” kata Endang Warsiki, dosen dan periset pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamis (29/7).

Selama tiga tahun terakhir ini, Endang mengembangkan riset itu bersama Titi Candra Sunarti (Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB) dan Rizal Damanik (Departemen Gizi Masyarakat IPB). Inovasi pembungkus yang sekaligus mengawetkan itu disebut sebagai Kemasan AM (Antimikroba).

”Kemasan AM pada prinsipnya menghambat pertumbuhan mikroba pada lapisan makanan paling luar,” kata Endang.

Pengamanan makanan pada lapisan luar dengan Kemasan AM punya alasan tersendiri. Endang membuktikannya dengan membelah butir bakso basi dan mengandung mikroba (kapang atau bakteri) yang bisa mengakibatkan sakit pencernaan. Bakso basi itu ternyata hanya pada lapisan permukaan. Di bagian dalam masih sempurna.

Agen antimikroba

Fungsi mengawetkan pada Kemasan AM tidak terlepas dari kinerja agen antimikroba. Endang mengambil zat aktif agen antimikroba dari bahan-bahan alami yang mudah didapat, antara lain kunyit, daun sirih, dan bawang putih. Ketiganya agen antimikroba yang telah teruji.

”Kunyit terbukti bisa membuat makanan olahan tahan lama. Kita biasa menemui masakan padang yang bisa tahan lama itu karena banyak mengandung kunyit,” kata Endang.

Selebihnya, daun sirih kerap dipakai untuk berkumur, membunuh kuman atau mikroba di dalam mulut. Bawang putih juga memiliki zat aktif yang menghambat pertumbuhan mikroba.

Agen-agen antimikroba itulah yang kemudian dilekatkan pada bahan pembungkus Kemasan AM. Kemasan AM menggunakan bahan pembungkus dari bubuk kitosan.

Kitosan merupakan bahan tepung yang dimurnikan dari cangkang udang atau rajungan dengan metode tersendiri. Kitosan inilah yang kemudian dibuat menjadi lembaran seperti lembaran plastik.

Cara membuat lembaran kitosan itu sederhana. Larutkan kitosan ke dalam air. Campurkan ke dalamnya asam asetat atau asam cuka kandungan 1 persen. Penghomogenan atau metode pencampuradukan larutan kitosan dengan asam asetat dilakukan selama 10 menit.

Setelah tercampur dengan baik, atau homogen, segera dipanaskan. Tidak dibutuhkan api besar untuk memanaskannya karena suhu yang diinginkan hanya 50 derajat celsius selama 60 menit atau satu jam.

Setelah pemanasan, campurkan larutan gliserol 0,5 persen. Gliserol memiliki bahan dasar minyak sawit sehingga aman dikonsumsi. Pada akhirnya, semua bahan yang digunakan memang aman untuk dikonsumsi.

Larutan kitosan, asam asetat, dan gliserol akhirnya sudah menjadi larutan film. Film itu lapisan tipis seperti plastik.

Dinginkan larutan tersebut selama 24 jam. Setelah itu, larutan kental siap dituangkan ke atas permukaan rata, misalnya kaca. Tujuannya untuk membentuk lembaran yang akan digunakan sebagai pembungkus makanan.

Setelah larutan dituangkan di atas permukaan kaca, segera keringkan. Pengeringannya lebih baik menggunakan oven dengan pengaturan suhu 40 derajat celsius selama beberapa menit hingga terlihat menjadi lembaran yang kering dan kuat. Jadilah Kemasan AM.

Zona bening

Lembaran yang kemudian disebut Kemasan AM ini diuji dan menghasilkan zona bening. Caranya, sepotong Kemasan AM diletakkan di atas cawan petri yang sudah ditebari inokulum bakteri.

Selama 48 jam dibiarkan. Kemudian terjadilah penyingkiran jasad renik tersebut.

”Zona bening dimaksudkan sebagai area Kemasan AM dan sekelilingnya yang bening atau tidak terdapat bakteri,” ujar Endang.

Uji coba memperoleh zona bening sekaligus menunjukkan Kemasan AM efektif menghalau atau menghambat mikroba. Jika produk makanan kemudian dibungkus dengan Kemasan AM, mikroba pun tak bisa menembus kemasan ini.

Bakso ikan kemudian digunakan untuk uji coba pengemasan dengan cara lain.

Caranya larutan berisi kitosan, asam asetat, gliserol, dan agen antimikroba (kunyit, daun sirih, atau bawang putih), tidak perlu dijadikan sebagai lembaran. Larutan tersebut cukup sebagai cairan kental yang akan berfungsi melapisi bakso ikan.

”Bakso ikan tinggal dicelupkan ke dalam larutan selama lima menit,” kata Endang.

Hasilnya kemudian dibandingkan dengan bakso ikan biasa. Menurut Endang, pada suhu refrigerator atau pendingin sampai 5 derajat celsius, bakso ikan biasa tidak bisa bertahan lebih dari 21 hari, sedangkan bakso ikan yang dilapisi larutan antimikroba itu bisa bertahan dan masih enak dikonsumsi lebih dari 21 hari.

”Jika diuji coba pada suhu ruang atau sekitar 27 derajat celsius, bakso ikan biasa hanya tahan sampai 1,5 hari, sedangkan bakso ikan dilapisi dengan larutan antimikroba dua kali lipat lebih tahan lama,” kata Endang.

Endang beserta rekan-rekannya belum berencana mematenkan metode pengawetan dengan Kemasan AM ini. Industri yang ingin mengaplikasikannya, menurut Endang, harus mengejar nilai keekonomisannya.

”Kalau menggunakan kitosan, masih belum bisa ekonomis. Jatuhnya akan mahal,” kata Endang.

Salah satu cara mencapai nilai keekonomisan dengan cara melekatkan larutan antimikroba ke dalam produk kemasan konvensional, seperti plastik atau kertas. Makanan olahan yang ingin dibungkus tidak perlu lagi ditambah zat pengawet.

Konsumen pun lebih tenang mengonsumsinya. Tidak ada lagi risiko mengakumulasikan bahan pengawet di dalam tubuh kita.***

Source : Kompas, Jumat, 30 Juli 2010 | 10:45 WIB

Budiman, Inovator Pita Volume Kayu-KOMPAS

Budiman, Inovator Pita Volume Kayu

Oleh Adhitya Ramadhan

Minimnya informasi, tingkat pengetahuan yang rendah, dan mendesaknya kebutuhan ekonomi sering kali menyebabkan petani hutan rakyat menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan tengkulak. Akibatnya, ketika menjual kayu, petani menghitungnya berdasarkan jumlah batang pohon yang akan dijual. Padahal, lazimnya di pasaran, penjualan kayu dihitung berdasarkan volume.

Konsekuensi lanjutan dari praktik seperti itu ialah petani rugi. Sebaliknya, si tengkulak dapat mengeruk untung besar dari cara jual-beli kayu seperti itu karena mereka akan menjual kayu tersebut berdasarkan volume. Akibatnya, ada potensi pendapatan yang tidak diterima oleh petani.

Di samping itu, dari sisi kelestarian hutan, praktik penjualan kayu berdasarkan batangan ini mengancam keberadaan hutan. Karena petani menjual kayu dalam bentuk log atau batangan, mereka cenderung menjual lebih banyak pohon daripada jika menjual berdasarkan volume.

Padahal, kayu sangat berharga dan bernilai tinggi. Semakin lama kayu berada di hutan, fungsi ekologisnya akan semakin lama berjalan.

Kondisi seperti itulah yang menggugah Budiman Achmad mencari jalan keluar yang tidak merugikan petani. ”Kalau hutan rakyat mau lestari, petani harus sejahtera. Kalau petani hutan rakyat sejahtera, ancaman gangguan terhadap hutan negara pun bisa ditekan. Sebenarnya, hanya dengan menjual kayu sedikit saja mereka sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Tidak perlu menjual kayu banyak-banyak,” tuturnya.

Budiman adalah Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis (BPKC).

Budiman tak hanya berwacana, tetapi dia juga menawarkan solusi konkret berupa sebuah pita pengukur volume kayu.

Sepintas, pita volume kayu hasil karya Budiman tidak jauh berbeda dengan pita meteran yang biasa dipakai penjahit pakaian. Pita volume kayu lebarnya sekitar 3 sentimeter. Di situ tertera dua deret angka. Deret pertama adalah angka yang menunjukkan panjang lingkar kayu dalam sentimeter yang ditulis dengan tinta merah. Sementara angka pada deret kedua ialah deretan angka penunjuk volume dalam meter kubik yang ditulis dengan tinta hijau.

Pengukur volume kayu

Selama ini, kata Budiman, petani biasanya menggunakan tabel volume untuk mengukur volume kayu. Cara ini dinilai merepotkan sebab petani harus mengukur terlebih dulu berapa lingkar batang pohon, kemudian menghitung diameter. Setelah itu, baru mencocokkannya dengan tabel volume kayu.

Beda halnya jika petani menggunakan pita volume. Cukup hanya mengukur lingkar pohon dengan cara melingkarkan pita volume, petani sudah mengetahui berapa meter kubik volume batang pohon itu. Selain itu, pita volume sangat praktis untuk dibawa-bawa dalam saku celana atau baju.

Namun, Budiman menegaskan, pita volume kayu ciptaannya hanya berlaku untuk pohon pinus di Tapanuli Utara. Pita ini tidak untuk dipakai pada komoditas lain dan daerah lain. ”Pita volume ini memang dibuat di Ciamis, tetapi rumus pembuatan pita ini saya bikin berdasarkan data lapangan di Tapanuli Utara, tempat saya bekerja sebelum dipindah ke Ciamis,” ujar pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 51 tahun lalu, itu.

Setiap daerah memiliki karakter tanah yang berbeda-beda. Demikian pula respons dan pertumbuhan tanaman terhadap tanah tersebut. Karena itu, kata Budiman, mengonversi panjang lingkar batang suatu jenis tanaman di satu daerah ke dalam ukuran volume memiliki penghitungan tertentu. Begitu juga kayu di daerah lain, ada rumus penghitungannya sendiri-sendiri.

Setelah sering dipamerkan dalam seminar dan gelar teknologi kehutanan di BPKC, banyak pihak yang meminta Budiman membuat pita volume kayu untuk komoditas lain, misalnya sengon. Akhirnya, BPKC pun meresponsnya dan kini sebuah tim sedang bekerja membuat pita volume untuk kayu sengon.

Forum Rimbawan

Bagi pria yang kini mengikuti program doktoral di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, pita volume kayu merupakan contoh karya nyata peneliti untuk petani. Hasil-hasil riset dari berbagai lembaga penelitian akan sia-sia jika tidak bisa diaplikasikan oleh masyarakat petani secara sederhana. Jika demikian adanya, peneliti dan karya-karyanya akan tetap menjadi menara gading yang sulit dijangkau oleh petani yang merupakan sebagian besar penduduk negeri ini.

Sebagai peneliti, Budiman tidak melulu berkutat dengan penelitian. Dia terlibat secara langsung membina sejumlah kelompok tani hutan. Dalam setiap pertemuan dengan para petani, ia selalu menyampaikan apa saja teknologi kehutanan yang terbaru, mulai dari cara menanam yang baik hingga fasilitasi pasar. Semua ia lakukan semata-mata agar petani lebih cerdas.

Kuatnya keinginan untuk mencerdaskan petani mendorong Budiman membuka saluran komunikasi dengan petani, baik melalui telepon, surat elektronik, maupun datang langsung ke kantor. Dia bersedia membantu petani mengatasi permasalahannya, kapan saja.

Budiman juga membina Forum Rimbawan Bina Wana Enterprise (semacam kelompok tani hutan) di wilayah Ciamis-Banjar, dengan jumlah tanaman mencapai 79.000 pohon.

Setiap berinteraksi dengan petani, Budiman selalu menerima keluhan petani yang sulit menaksir volume kayu. Akibat pengetahuan yang minim itu, petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan pembeli atau tengkulak ketika menjual kayunya.

Akhirnya setiap bertemu dengan petani, misalnya dalam gelar teknologi, sosialisasi, maupun penelitian di lapangan, Budiman menyampaikan bagaimana menghitung volume kayu yang benar kepada petani. Ketika terjun ke lapangan atau dalam gelar teknologi, ia selalu mendemonstrasikan cara menghitung volume kayu yang benar.

Untuk lebih memudahkan petani menghitung volume kayu, ia pun sedang menyiapkan pita pengukur volume kayu untuk kayu sengon di Jawa Barat. ”Nantinya pita volume kayu itu akan kami bagikan gratis kepada kelompok tani,” ujarnya.

Dia mengharapkan, ke depan peneliti semakin mampu melahirkan karya yang aplikatif untuk kepentingan petani. Pita volume kayu hasil proses kreatifnya semoga menjadi inspirasi bagi peneliti lain.

BUDIMAN

• Lahir: Nganjuk, 4 November 1959
• Pekerjaan: Pegawai Negeri Sipil
• Jabatan: Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan di Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
• Istri: Dian Dhiniyati (42)
• Anak: Hanifah Ramdaniah (11),Yasmin Sekar Arum (9), Kurnia Cahya Nisa (5)
• Pendidikan:
- S-1 Manajemen Hutan IPB, lulus 1985
- Magister School of Forestry, University of Canterbury, Selandia Baru, lulus 1995
- Program doktoral Kebijakan Kehutanan, UGM Yogyakarta, masuk 2009.

Source : Kompas, Jumat, 30 Juli 2010 | 04:25 WIB

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

* Ansari Marindal

Jumat, 30 Juli 2010 | 10:02 WIB

inovasi yang bermanfaat. saya mau tanya, pita ini untuk mengukur volume pada panjang atau tinggi kayu berapa? karena tidak disebutkan panjang kayu itu sendiri, cuma dengan panjang lingkar batang (warna merah). kalau tidak salah konsep yang sama diterapkan pada pita pengukur DBH.

Balas tanggapan

* adigunarso soerjo soerjo

Jumat, 30 Juli 2010 | 09:20 WIB

Selamat Mas Budiman , anda telah berprestasi membantu Para Petani Hutan di seluruh Indonesia. Kita Tunggu prestasi anda yang lain, tks.

Balas tanggapan


Kamis, 08 Juli 2010

Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2010


Source : Kompas, Senin, 5 Juli 2010

Selasa, 06 Juli 2010

Arah Ekonomi Merisaukan

Forum Sarasehan Ekonom Senior-Ekonom Muda Indonesia yang diselenggarakan harian umum Kompas di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin (5/7). Hadir pada acara tersebut Dr Firmanzah, Dr Prasetyantoko, Ir Hartarto Sastrosoenarto, Dr Tony A Prasetyantono, Sofjan Wanandi, Prof Dr Adrianus Mooy, Drs Rahmat Saleh, Prof Dr Ali Wardhana, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Prof Dr Soebroto, Prof Dr BS Muljana, Prof Dr JB Sumarlin, Prof Dr Suhadi Mangkusuwondo, dan Dr Djunaedi Hadisumarto. (KOMPAS/LASTI KURNIA)***

Arah Ekonomi Merisaukan

Perlu Pengawasan dalam Pelaksanaan Kebijakan

JAKARTA - Kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Program yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antarkementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat roh pembangunan untuk rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun melebar.

Demikian benang merah Forum Sarasehan Ekonom Senior- Ekonom Muda Indonesia yang berlangsung di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin (5/7). Sarasehan ini dipandu Prof Dr Soebroto setelah dibuka oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama.

Ekonom senior yang hadir adalah Adrianus Mooy, Ali Wardhana, BS Muljana, Djunaedi Hadisumarto, Hartarto Sastrosoenarto, JB Sumarlin, Rahmat Saleh, Suhadi Mangkusuwondo, dan ekonom muda Firmanzah (Universitas Indonesia), Prasetyantoko (Universitas Atma Jaya), dan Tony A Prasetyantono (Universitas Gadjah Mada), serta Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.

Pemerintahan masih harus menuntaskan pekerjaan rumah mereka dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dunia usaha masih menghadapi ekonomi biaya tinggi, infrastruktur yang belum memadai, keterbatasan pasokan energi, ekonomi biaya tinggi, dan kebijakan pusat-daerah yang tidak sejalan.

Beberapa hal ini sebenarnya bisa diatasi apabila segera diambil keputusan secara cepat dengan landasan yang tepat. Pelaksanaan program yang tidak solid dan penyelesaian persoalan yang berlarut-larut justru semakin memperbesar masalah.

Terungkap dalam sarasehan bahwa berbagai kebijakan yang tidak solid seperti konversi minyak tanah ke gas dengan sosialisasi buruk mulai menelan korban jiwa. Demikian juga kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai akibat pengurangan subsidi bahan bakar minyak tahun 2005, tetapi pemerintah malah menambah bantuan sosial bagi masyarakat.

Kehilangan panduan

Ditekankan juga, kebijakan ekonomi yang disusun dari penjabaran janji kampanye membuat Indonesia kehilangan panduan ekonomi jangka panjang. Program-program yang disusun berorientasi jangka pendek dengan hasil instan.

Seorang panelis mengungkapkan, pertumbuhan 4,5 persen saat krisis global tahun 2009 seharusnya menjadi momentum Indonesia mencapai pertumbuhan 8 persen tahun 2010. Namun, pemerintah hanya berani menargetkan 6 persen. Malaysia yang perekonomian terpuruk hingga minus kini malah tumbuh 4 persen.

Para panelis menyadari, situasi perekonomian sekarang sudah berubah dari masa Orde Baru. Padahal, soliditas kebijakan berpadu dengan keputusan yang tegas dan cepat bisa membuat anggota kabinet kompak menjalankan program pemerintah.

Menurut salah satu panelis, kondisi yang ada menunjukkan Indonesia tidak punya masalah perekonomian jangka pendek. Nilai tukar rupiah relatif stabil, cadangan devisa meningkat, dan ekspor-impor masih berimbang.

Akan tetapi, semua pertumbuhan ekonomi relatif berjalan tanpa fokus yang jelas. Perekonomian nasional kini lebih banyak bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam seperti pertambangan dan perkebunan, tanpa pengembangan industri nilai tambah.

Dampaknya, Indonesia mengekspor bahan baku ke negara lain yang terus mengembangkan industri mereka. Apabila hal ini terus terjadi, Indonesia akan memiliki perekonomian terjajah dalam 10 tahun mendatang karena hanya bergantung pada impor.

Amerika Serikat dan China punya cadangan energi dalam jumlah besar, tetapi melarang ekspor. Sementara Indonesia yang berada di urutan ke-16 dunia malah mengekspor sebagian besar energinya.

Keterbatasan energi membuat investor lama kesulitan mengembangkan kapasitas produksi. Investor baru pun berpikir ulang mewujudkan rencana investasi mereka.

Kondisi ini membuat pro poor, pro job, dan pro growth tinggal menjadi slogan dan upaya penciptaan lapangan kerja formal baru pun semakin sulit terlaksana.

Panelis lain menambahkan, anggaran (APBN) pemerintah telah tumbuh dari Rp 400 triliun menjadi Rp 1.200 triliun dalam 6 tahun. Namun, selama periode tersebut lapangan kerja formal justru menciut sehingga jutaan angkatan kerja lama dan baru harus masuk ke lapangan kerja informal.

Dari 113,83 juta angkatan kerja per Agustus 2009, hanya 29,11 juta orang yang bekerja di sektor formal. Karena itu, pemerintah dan perbankan harus segera memerhatikan sektor usaha kecil dan menengah.

Pengawasan

Kebijakan pemerintah saat ini tidak ada yang salah. Namun, masalahnya adalah pelaksanaan dari kebijakan itu.

Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang sukses meningkatkan produktivitas pertanian pangan masa Orde Baru bisa berjalan berkat pengawasan ketat. Seusai mengumumkan program Bimas, Menteri Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro setiap hari menelepon para menteri dan pejabat terkait untuk memastikan program terlaksana dengan baik.

Pemerintah pusat, walau telah membentuk koalisi, kini masih kewalahan mengawasi program di daerah. Anggota legislatif pun berperan melebihi eksekutif.

Anggota DPR tak lagi sebatas membahas program kerja pemerintah, tetapi turut terlibat membahas formulir A3 yang sudah sangat teknis rinci.

Situasi telah berbeda berkat demokrasi dan otonomi daerah. Namun, harus ada pemisahan jelas antara eksekutif dan legislatif agar tidak rancu dalam menjalankan fungsi masing-masing.

(HAM)***

Sumber : Kompas, Selasa, 6 Juli 2010 | 03:24 WIB

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template