Kamis, 27 Mei 2010

Ungkapan Cinta Tanah Air Lewat Rotan

Rusdi (35), salah satu dari sejumlah perajin, merampungkan produksi satuan yang tersisa di bekas gudang salah satu pabrik mebel rotan besar yang bangkrut, Khandidat Rotan, di Plumbon, Cirebon, Jawa Barat, Senin (24/5). (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

NASIONALISME

Ungkapan Cinta Tanah Air Lewat Rotan

Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Nasrullah Nara

Ruang tamu Ny Akib (45), pengusaha rotan setengah jadi di Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, lebih mirip ruang pamer rotan. Mulai dari kursi tamu, meja, hingga pembatas ruang semuanya berbahan utama rotan.

Nyonya Akib memang memilih tidak memakai kayu atau mebel plastik sebagai pengisi ruang tamunya. Baginya, rotan bukan sekadar mebel, melainkan simbol denyut nadi hidup keluarga, buruh pabrik, serta ratusan petani dan pemetik rotan di kampungnya.

”Dengan menggunakan satu saja kursi rotan berarti membuat asap dapur perajin, petani, dan pemetik rotan bisa mengepul,” katanya.

Semangat yang sama juga ditampakkan sebagian masyarakat di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sentra industri mebel rotan. Sejak tiga tahun lalu, Bupati Cirebon Dedi Supardi menganjurkan rumah warganya, pusat bisnis, dan kantor pelayanan publik menggunakan mebel rotan.

Anjuran Dedi bertujuan memasyarakatkan komitmen yang telanjur ditampakkan oleh semua kantor dan hotel berbintang di Cirebon, yang memang sangat lekat dengan furnitur dan interior ruang berbahan rotan. Lobi hotel secara tak langsung jadi ruang pamer mebel rotan tanpa kehilangan nilai estetika dan kenyamanannya.

Meski kecil, langkah yang dilakukan Ny Akib di Luwu Timur dan masyarakat di Cirebon itu bisa menyambung hidup perajin, petani, dan pemetik rotan di Tanah Air. Tidak seperti mebel bahan sintetis dan stainless yang hanya memberi rezeki bagi buruh pabrik, pedagang, dan pengusaha, mebel rotan mampu menggerakkan perekonomian lima kelompok masyarakat sekaligus: petani/pemetik rotan, pemroses, pedagang, perajin, dan pemilik pabrik rotan. Rotan pula yang selama ini menghidupi masyarakat dari hulu hingga hilir di Indonesia, dari pedalaman gunung dan lembah hingga pesisir pantai.

Kisah rotan sarat ironi. Mentereng di pasar global, tetapi kurang populer di negeri sendiri. Dibandingkan dengan bahan mebel lain, rotan memang perlu perlakuan khusus, ketelatenan, dan cita rasa seni. Namun, kelenturan, penyesuaian suhu, estetika, hingga persoalan lingkungan justru mengangkat derajat mebel itu di pasaran internasional.

Pada abad XIX, rotan bahkan jadi tren—selayaknya fashion— furnitur di luar negeri. Dalam arsip situs Radio Nederland Wereldomroep.nl bertajuk ”100 Tahun Koninklijke Instituut voor de Tropen” disebutkan, tren mebel rotan bermula saat pemerintah kolonial Belanda memamerkannya di Koninklijke Instituut voor de Tropen, Kerajaan Belanda, sebagai produk dari Indonesia.

Dalam laporan penelitian (2007) yang dibuat oleh tim dari Departemen Kehutanan dan International Tropical Timber Organization—sebuah organisasi di bawah naungan PBB—disebutkan, dari 600 jenis rotan di dunia, 350 di antaranya ada di Indonesia. Sebanyak 80 persen rotan yang beredar di dunia juga berasal dari Indonesia. Luas areal hutan rotan di Indonesia diperkirakan mencapai 13,3 juta hektar, dari 143 juta hektar total luas hutan Indonesia.

Budi Hoesan (40), pengusaha rotan generasi ketiga di Makassar, meyakini bahwa, selain rempah-rempah, hasil bumi yang merangsang minat bangsa-bangsa Eropa memperebutkan Nusantara ini adalah rotan. Kepopuleran rotan dari Indonesia sempat mencapai puncaknya 5-10 tahun silam.

Ramah lingkungan

Saat ini pun rotan diperkirakan tetap dapat tempat di hati warga dunia. Helmut Merkel, Redaktur Pelaksana MobelMakt dalam artikel ”On The Trail of Rattan” memastikan rotan akan tetap laku di pasaran karena ramah lingkungan. Berbeda dengan kayu, proses pengambilan batang rotan tidak mengorbankan pohon induk sehingga hutan tidak rusak dan tak menimbulkan pemanasan global.

Menebang pohon, bagi petani rotan seperti Mans (46) di Pendolo, Poso, Sulawesi Tengah, justru membuat tempat hidup rotan hilang. ”Rotan hidup melingkari pohon inang. Jadi, semakin tinggi pohon, rotan yang melilitnya akan makin panjang,” kata Mans, yang sudah tiga turunan menjadi pencari rotan.

Kearifan lokal membiasakan petani tidak membabat habis rotan saat memetiknya. Pangkal tumbuhan ini selalu disisakan. Harapannya, kelak, 3-5 tahun ke depan rotan akan tumbuh lagi dan bisa mereka petik kembali.

Sayangnya, pamor rotan Indonesia terus meredup. Di pasar dunia, mebel rotan Indonesia pun kalah bersaing harga dengan China. Sudah saatnya kini rotan dipakai di dalam negeri.

Seperti batik, rotan yang dikenal sebagai kekayaan hayati endemik Indonesia seharusnya tidak hanya terpakai di rumah Ny Akib, yang jauh terpencil di dekat hutan. Seyogianya juga terpajang sebagai furnitur, dekorasi, interior di setiap rumah di negeri ini atau, setidaknya, di setiap kantor pemerintah, hotel, dan bandara yang menjadi gerbang masuk Indonesia.

Menggunakan satu set mebel dan kerajinan rotan dalam satu rumah tangga saja berarti telah mengayun sejuta langkah besar bagi petani, pemetik, perajin rotan, sekaligus mengampanyekan pelestarian lingkungan. Lawan rotan sintetis yang berbahan plastik! (WER/REN/THT)***

Sumber : Kompas, Kamis, 27 Mei 2010 | 03:16 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

susi @ Kamis, 27 Mei 2010 | 06:46 WIB
ungkapan cinta tanah air China...diekspor bahan baku rotan di Indonesia.

Rotan Terkendala Infrastruktur

Kafiin (39) memindahkan sejumlah mebel rotan yang menumpuk di gudang milik pabrik rotan Latansa, Plumbon, Cirebon, Jawa Barat, yang dibatalkan pembeliannya oleh sebuah distributor rotan di Eropa, Senin (24/5). Akibat pembatalan tersebut, rotan ini menumpuk sejak tahun 2008, ditambah lagi dengan adanya persaingan harga rotan yang lebih murah di beberapa negara, seperti China dan Vietnam. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

Rotan Terkendala Infrastruktur

Menteri Perindustrian Berjanji Mencari Solusi

MAKASSAR - Gagasan membangun industri mebel rotan di daerah-daerah penghasil bahan baku rotan, seperti Sulawesi dan Kalimantan, patut diapresiasi. Namun, usaha itu terkendala minimnya tenaga terampil dan infrastruktur sehingga biaya produksi dan pemasaran meroket.

Demikian tanggapan sejumlah pengusaha rotan dan mebel rotan secara terpisah dari sejumlah daerah, Senin (24/5), terkait mati surinya hasil rotan dan industri rotan di Tanah Air. Mereka yang memberikan tanggapan adalah Sabar Nagarimba Liem (Direktur PT Gimex), Julius Hoesan (Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia/APRI), dan Hatta Sinatra (Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia/AMKRI).

Pernyataan mereka diperkuat komentar Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Kepala Bidang Industri dan Usaha Mikro Kecil Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Selatan Hasan Tolaohu, serta Kepala Bidang Produksi dan Peredaran Hasil Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Burhan Lakuy.

Janji menteri

Menteri Perindustrian MS Hidayat, Senin di Jakarta, mengakui, masalah kebijakan industri rotan sudah menjadi jeritan yang berkepanjangan. Pemerintah berjanji akan lebih serius menangani masalah ini.

”Saya mau undang Menteri Perdagangan untuk duduk bersama mencari solusi terbaik supaya pemerintah daerah yang dituntut memperoleh pendapatan daerah juga dapat merasakan hasil jerih payah petaninya,” tutur Hidayat.

Adapun Ketua Umum Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia Ambar Polah Tjahyono menambahkan, pemerintah harus memberi perhatian pada sektor hulu dan hilir industri rotan. Tidak cukup hanya menerbitkan keputusan Menteri Perdagangan tentang ekspor rotan.

Menurut Ambar, pesaing Indonesia sudah mengampanyekan plastik dengan motif mirip rotan sehingga menggilas produk rotan Indonesia. Industri rotan tergeser rotan plastik.

Menurut Ambar ”rotan plastik” telah memicu jatuhnya ekspor produk rotan dari 325 juta dollar Amerika Serikat (2005) menjadi hanya 100 juta dollar AS (2009).

”Minimnya penyerapan rotan mengindikasikan riset dan pengembangan industri rotan lemah. Untuk itu, dukungan pemerintah dalam mengampanyekan produk rotan juga sangat dibutuhkan, terutama dalam pemasaran,” papar Ambar.

Sabar Nagarimba Liem mengingatkan, gagasan membangun industri mebel rotan di Sulawesi dilontarkan Departemen Perindustrian tahun 2008 saat kementerian itu dipimpin oleh Fahmi Idris. Tujuannya, memberdayakan masyarakat di daerah penghasil bahan baku serta menambah nilai produk rotan di pasaran ekspor.

Namun, gagasan itu tak didukung penyediaan tenaga terampil di bidang kerajinan rotan. Akibatnya, investor harus mendidik sendiri atau mendatangkan perajin rotan dari Jawa dengan ongkos tinggi.

Pertimbangan itu mendorong pengusaha mebel rotan memilih mendirikan pabrik di Jawa, terutama di Cirebon, Jawa Barat.

Listrik dan infrastruktur

Persoalan mendasar lain adalah tidak memadainya suplai listrik dan infrastruktur. Di Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, misalnya, investor enggan masuk karena tidak ada jaminan pasokan listrik.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengatakan, suplai listrik untuk rumah tangga saja belum mencukupi, apalagi untuk industri. Karena itu, pihaknya terus mendesak agar pembangunan infrastruktur dan pasokan listrik dipercepat untuk mendukung industri di daerahnya. ”Konsumsi listrik hanya 45 persen dari kebutuhan rumah tangga, sedangkan untuk industri belum tersedia. Untuk kebutuhan sekarang masih kurang 52 megawatt,” kata Nur Alam sambil menegaskan, jika pemerintah serius ingin membangun industri mebel rotan di Sulawesi, seharusnya infrastruktur, sumber daya manusia, dan bahan pendukung dibangun dan diperbaiki.

Hatta Sinatra melihat, andai kata industri rotan bisa dibangun di Makassar atau Palu, tetap saja akan berbiaya tinggi sebab, dari sisi pengiriman barang, biaya pengapalan mebel dari Palu lebih mahal 750-1.000 dollar AS per kontainer dibandingkan dengan dari Jakarta. Sebab, pelabuhan di Palu tak laik disinggahi kapal kontainer tujuan luar negeri.

Meski sumber tanaman rotan ada di Sulawesi, rotan hanya mengisi 20 persen kebutuhan mebel. Komponen lain, seperti besi, sekrup, ampelas, dan cat, total nilainya mencapai 80 persen dari keseluruhan biaya.

Berdasarkan pantauan Kompas, di Sulawesi Tenggara—salah satu sentra penghasil bahan baku rotan—tidak ditemukan industri mebel rotan untuk kelas ekspor. Yang ada adalah industri setengah jadi dan itu pun kini gulung tikar.

Menurut data APRI Kabupaten Konawe, dari 33 usaha penggorengan (proses perebusan dengan minyak tanah), saat ini hanya tersisa enam.

Industri mebel rotan ekspor juga tak berkembang di Sulawesi Barat. Di Desa Keppe, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, produk kerajinan rotan hanya sebatas tikar. Menurut Nahar, Sekretaris Desa Keppe, industri mebel rotan pun hanya mengandalkan pasar lokal. Itu pun menunggu pesanan.

Situasi serupa terjadi di Sulsel akibat minimnya tenaga kerja terampil. ”Tak ada yang mau mengajari warga dan memang mereka lebih senang berkebun atau mencari rotan di hutan,” kata Hamsring (40), pengepul rotan di Luwu Timur.

Kondisi serupa terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Industri rotan hanya merambah pasar lokal, sebagaimana penjelasan Pelaksana Tugas Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel Gusti Yasin Iqbal. Permintaan dari luar negeri relatif kecil sebab umumnya berupa peralatan tradisional lampit atau tikar.

Di Papua, jenis rotannya mengandung kadar air tinggi sehingga kurang laku. ”Hutan pantai Sorong dan Kaimana sumbernya,” kata Kepala Bidang Produksi dan Peredaran Hasil Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Burhan Lakuy. (THT/REN/OSA/GRE/WER/NIT/NAR)

Sumber : Kompas, Selasa, 25 Mei 2010 | 03:00 WIB

Tata Niaga Rotan Bermuatan Politik

KRISIS INDUSTRI ROTAN

Tata Niaga Rotan Bermuatan Politik

MAKASSAR - Kebijakan tata niaga rotan yang berubah empat kali dalam 12 tahun terakhir ditengarai bertali-temali dengan kepentingan politik yang menyandera lembaga riset kementerian terkait. Akibatnya, investor merasakan tidak adanya kepastian usaha karena ketidakpastian hukum.

Pandangan itu diungkapkan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia Julius Hoesan dan Ketua Asosiasi Mebel Kerajinan Rotan Indonesia Hatta Sinatra secara terpisah, Selasa (25/5). Mereka mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang adil, konsisten, dan berumur panjang.

Menurut Julius, kebijakan pemerintah tentang tata niaga rotan sudah berganti sebanyak empat kali sejak tahun 1998. Biasanya bersiklus lima tahunan, mendekati dan pascapemilu.

Pada tahun 1998, menurut Julius, di bawah desakan perdagangan bebas dan reformasi, Presiden BJ Habibie membuka keran ekspor rotan seluas-luasnya, termasuk dalam bentuk asalan atau mentah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 440/MPP/KP/9/1998. Kebijakan ini memperbarui kebijakan sebelumnya, yakni pada tahun 1986, yang melarang ekspor rotan batangan.

Akan tetapi, pada tahun 2004 kebijakan itu direvisi lagi. Pada masa kampanye calon presiden menjelang Pemilu 2004, terbit lagi Surat Keputusan Nomor 355/MPP/Kep/5/2004 tertanggal 27 Mei yang isinya menghentikan seluruh ekspor rotan bulat ke luar negeri. ”Saat itu Megawati sebagai Presiden dan Rini Suwandi sebagai Menteri Perdagangan. Peraturan itu diumumkan di Cirebon, Jawa Barat,” kata Julius.

Kala itu, Cirebon yang merupakan pusat industri rotan menjadi kiblat politik. Data dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon menyebutkan, selama dua kali pemilihan umum, yakni tahun 1999 dan 2004, kedua daerah tersebut merupakan basis PDI Perjuangan dengan perolehan 30,57 persen suara.

Hatta Sinatra juga menilai kebijakan tata niaga yang muncul pada tahun 2005, yakni SK Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2005, berbau politik. Kebijakan itu dibuat saat Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden. Hal itu menguntungkan pengusaha ekspor rotan di wilayah Sulawesi yang merupakan basis Partai Golkar. Saat itu Jusuf Kalla merangkap sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Kini, muncul Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36/2009 yang malah dianggap tak menguntungkan pengusaha bahan baku rotan di Pulau Sulawesi dan pengusaha mebel di Pulau Jawa. Menurut Hatta dan Julius, dua kementerian yang berkaitan, yakni Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, pun tidak pernah seiring sejalan.

Terkait dengan hal itu, Boedi Hoesan (40), pemasok rotan dari Makassar ke Cirebon, berharap lembaga riset pada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian bekerja serius dan memberi masukan obyektif kepada menteri sehingga kebijakan menteri tidak ”tersandera” kepentingan politik.

Peraturan rumit

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kemarin, di Jakarta memberikan penjelasan tentang Permendag No 36/2009 yang rumit tersebut. Dalam penjelasan tertulisnya, ia mengatakan, Permendag No 36/2009 adalah untuk mengatur larangan ekspor rotan dalam bentuk asalan, baik taman/sega dan irit (TSI) maupun nontaman/sega dan irit (NTSI). Rotan hanya boleh diekspor oleh eksportir terdaftar rotan (ETR), dengan jenis rotan TSI yang telah melalui proses pencucian dan belerang (W/S) dan sistemnya kuota.

Ekspor jenis rotan NTSI dapat dilaksanakan setelah ETR melaksanakan wajib pasok terhadap kebutuhan bahan baku dalam negeri. Adapun rotan yang tak dapat digunakan di dalam negeri bisa diekspor setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan.

Sementara ETR, demikian Mari, hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan. Terhadap ekspor rotan, pemberitahuan ekspor barang disampaikan kepada Kantor Pabean di daerah penghasil rotan.

Mari menjelaskan, keluarnya Permendag No 36/2009 telah melalui pembahasan panjang. Berdasarkan pembahasan itu disepakati perubahan Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/6/2005 jadi Permendag Nomor 36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan.

”Dalam Permendag No 36/ 2009, pelaksanaan ekspor rotan lebih diperketat, bahkan ETR wajib memasok rotan bagi industri dalam negeri. Kebijakan ini dimaksudkan untuk keseimbangan antara kepentingan petani rotan dan industri barang jadi rotan di dalam negeri,” papar Mari. (MON/PPG/OSA/WER/REN/THT/NIT/NAR)***

Sumber : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 03:01 WIB

Industri Rotan Mati Suri

Industri Rotan Mati Suri

Stop Ekspor Bahan Baku ke Negara Pesaing

MAKASSAR - Hasil rotan dan industri rotan Indonesia, yang pernah menguasai pasar dunia pada era 1980-an, sejak lima tahun terakhir kian terpuruk, terutama akibat rusaknya tata niaga rotan di dalam negeri.

Sebagian besar pengusaha dan petani rotan, dari hulu ke hilir, bangkrut. Hal itu terjadi karena daya saing mebel Indonesia di pasar dunia lemah, seluruh produksi rotan mentah dan setengah jadi di pasaran dalam negeri tidak terserap, dan terutama karena terbit regulasi larangan ekspor rotan yang ”pukul rata” tanpa memilah spesifikasi rotan.

Berdasarkan pantauan Kompas dua pekan terakhir di daerah-daerah penghasil rotan di Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Selatan, penduduk tidak lagi menjadikan rotan sebagai komoditas yang menjanjikan. Rotan asalan hasil petikan di hutan dibiarkan terserak dan teronggok tidak berharga.

Sentra rotan di Sulawesi Barat, seperti Kecamatan Mambi di Kabupaten Mamasa atau Wonomulyo di Kabupaten Polewali Mandar, kini tak bersisa sama sekali. Gudang-gudang tempat penyimpanan rotan berubah menjadi tempat penyimpanan kakao. Pusat penggorengan atau industri pengolahan rotan setengah jadi, yang dulu mengolah rotan sampai 40 ton per hari, kini menjadi bangunan telantar.

Sebanyak 250.000 petani rotan di Sulawesi Tengah beralih profesi menjadi penambang emas atau petani kakao karena harga rotan sudah tidak menjanjikan. Dulu rotan jenis jermasin Rp 3.500 per kilogram, kini tidak laku. Jenis rotan batang dalam lima tahun terakhir tidak pernah naik dari Rp 1.500 per kilogram. Di Kota Palu, dari 30 pengusaha rotan setengah jadi, kini tinggal delapan yang aktif.

Di Poso, Sulawesi Tengah, rotan yang dulu diekspor untuk mebel kini hanya menumpuk tak berharga di halaman rumah penduduk. Rotan-rotan yang dihanyutkan dari hutan lewat sungai pun dibiarkan telantar berhari-hari di pinggir sungai.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, puluhan pengusaha rotan kesulitan memasarkan bahan mentah, apalagi setengah jadi. Akibatnya, rotan menumpuk. Gudang pengolah rotan Bines Raya di Banjarmasin, misalnya, kelebihan produksi 300 ton.

Keterpurukan usaha rotan di Sulawesi dan Kalimantan antara lain disebabkan komoditas tersebut tidak terserap pasar mebel dalam negeri. Adapun industri mebel rotan nasional yang (pernah) terpusat di Cirebon, Jawa Barat, dan selama ini menyerap pasar rotan, sudah lebih dulu bangkrut sekitar lima tahun lalu.

Berdasarkan data dari Asosiasi Mebeler Indonesia (Asmindo) Cirebon, sebelum tahun 2005, rata-rata ekspor mebel rotan dari Cirebon bisa mencapai 3.000 kontainer per bulan, sedangkan tahun 2009 maksimal cuma 1.000 kontainer per bulan. Saat musim paceklik hanya 600 kontainer dan ketika pembelian ramai, permintaan tertinggi hanya sekitar 1.200 kontainer.

Kebangkrutan industri mebel rotan selama ini dipicu persaingan dengan China dan Vietnam—anehnya—akibat seretnya bahan baku dalam negeri saat itu.

Menurut Sumartja, Ketua Asmindo Cirebon, posisi Indonesia sebagai negara yang mendominasi ekspor mebel rotan dunia tergeser oleh China karena kalah bersaing harga. Namun, karena tata niaga rotan Indonesia rusak, China kemudian menyerap rotan Indonesia dan dengan itu mendominasi pasar rotan dunia.

”Lima tahun lalu, China tidak bisa menguasai pasar mebel rotan karena mereka tidak memperoleh bahan baku. Namun, sejak keran ekspor rotan asalan atau setengah jadi dibuka ke luar negeri pada tahun 2005, industri mebel rotan di negara seperti China bangkit karena mendapat pasokan bahan baku,” kata Sumartja.

Kebangkrutan mebel rotan pun mengakibatkan terjadinya pengangguran di Cirebon. Sedikitnya 150.000 tenaga kerja tidak lagi terserap industri tersebut. Data terkini dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) menunjukkan, 43 persen atau 220 pabrik mebel rotan gulung tikar. Sekitar 40 persen di antaranya atau 208 pabrik terancam gulung tikar. Yang masih mampu bertahan hanya 17 persen atau 138 pabrik. ”Situasi bakal lebih gawat pada tahun 2010 ini,” kata Hatta Sinatra, Ketua Umum AMKRI.

Aturan tak membantu

Untuk membangkitkan industri dalam negeri, pemerintah merevisi Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2005 tentang Izin Ekspor Rotan Mentah dan Setengah Jadi menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2009 pada Agustus tahun lalu. Namun, kondisi industri rotan tak mengalami perbaikan, bahkan membuat industri di hulu terpuruk.

Dengan aturan baru, pengusaha rotan setengah jadi di hulu, seperti Sulawesi, wajib pasok ke industri dalam negeri di hilir, di antaranya Cirebon. Akan tetapi, kondisi hilir di Cirebon yang telanjur bangkrut sudah tidak mampu menampung banyak rotan yang disuplai dari hulu atau Sulawesi. Akibatnya, rotan yang diambil petani dan dikelola oleh pengusaha rotan setengah jadi tidak laku di pasar dalam negeri.

Dari data Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI), jumlah rotan yang terserap di pasar dalam negeri hanya 60.000 ton per tahun dari 690.000 ton potensi rotan per tahun.

Para pengusaha juga tidak bisa menjual sisa potensi rotan semuanya ke pasar luar negeri karena kuota ekspor yang diperbolehkan hanya 50 persen dari kuota pasok dalam negeri.

”Belum lagi dari sisi jenis atau spesies. Dari sekitar 300 jenis rotan di Sulawesi, hanya lima sampai delapan yang dipakai oleh industri mebel di Indonesia, di antaranya tohiti, lambang, batang, dan noko. Lantas sisanya diapakan?” kata Ketua APRI Sabar Nagarimba Liem.

Oleh karena itu, APRI meminta pemerintah menghapus pembatasan ekspor rotan agar rotan yang tidak digunakan industri dalam negeri bisa diserap di pasaran internasional. Pilihan lain adalah adanya jaminan serap semua rotan dalam negeri sehingga rotan kembali bisa menghidupi masyarakat hulu.

Stop ekspor ke pesaing

Namun, di sisi pengusaha mebel, menurut Hatta Sinatra, industri mebel dalam negeri sulit pulih apabila negara pesaing masih tetap diberi pasokan bahan baku.

Tata niaga rotan Nomor 36 Tahun 2009, menurut Hatta, juga harus dikaji ulang karena tidak bisa membangkitkan industri dalam negeri. ”Di sini industri mebel rotan menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Namun, hanya dengan kebijakan ekspor bahan baku, kami menjadi hancur,” katanya.

Untuk bisa bersaing dengan China, AMKRI juga mendesak pemerintah mengurangi berbagai biaya yang memberatkan, di antaranya biaya pengapalan keluar negeri.

Selama ini biaya tersebut lebih tinggi 35 persen dibandingkan dengan biaya di negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam .China bahkan tidak menarik biaya pengapalan sehingga harga barang ekspornya menjadi murah. Industri mebel pun harus didukung oleh pengembangan desain dan promosi luar negeri yang gencar.

Hatta mengingatkan, apabila Indonesia bisa menyaingi China dari segi harga dan bisa mengembangkan desainnya, pasar mebel rotan bisa kembali terangkat. Efeknya, pasar bahan baku dalam negeri pun bisa kembali pulih. (NIT/NAR/THT/WER/REN)***

Sumber : Kompas, Senin, 24 Mei 2010 | 03:07 WIB

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

tonton @ Rabu, 26 Mei 2010 | 21:26 WIB
mba siti anugrah...iya tidak terserap..kan order buyer sudah pindah semua ke china, vietnam dan filipina. pengrajin rotan furniture bisanya gigit jari sekarang

siti anugerah @ Rabu, 26 Mei 2010 | 02:00 WIB
Pak tonton dari berita justru kelebihan bahan baku yg tidak terserap industri dalam negeri.Ini teh mana yg bener atuh

islamet @ Rabu, 26 Mei 2010 | 01:18 WIB
Ketua APRI "Sabar Nagarimba Liem" mungkin saudaranya mari pangestu :) makanya dibebaskan ekspor rotan mentah....

tonton taufik @ Selasa, 25 Mei 2010 | 00:29 WIB
gresik, solo, surabaya, lampung byk juga sentra industri rotan jadi. lebih baik jual brg jadi drpd jual masih mentahan. rasanya say diajarkan itu sejak SD.

tonton @ Selasa, 25 Mei 2010 | 00:27 WIB
ada gresik, solo, surabaya, lampung masih banyak sentra industri rotan jadi. lebih baik jual barang jadi daripada cuma masih lurusan rotan saja.

Senin, 03 Mei 2010

Rp 22,8 Miliar untuk Pengembangan Ettawa

PETERNAKAN

Rp 22,8 Miliar untuk Pengembangan Ettawa

JAKARTA - Kementerian Pertanian akan memanfaatkan dana Rp 22,8 miliar untuk bantuan sosial paket pengembangan kambing Peranakan Ettawa atau PE. Dana itu dari Pos Anggaran 999.

Menteri Pertanian Suswono menyatakan, program pengembangan kambing PE sejalan dengan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melakukan kunjungan kerja ke Tulung Agung, Jawa Timur.

Dalam temu wicara dengan para peternak kambing PE, Presiden mendorong perlunya pengembangan ternak kambing PE. Kambing ini merupakan kambing hasil persilangan kambing Ettawa dari India dengan kambing kacang lokal.

”Kambing PE terbukti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak melalui pemenuhan pasar ekspor serta pemenuhan kebutuhan protein melalui konsumsi susu,” kata Suswono, Jumat (30/4) pekan lalu.

Terkait anggaran, sebagaimana dalam rapat Panitia Kerja Badan Anggaran DPR pada 28 April terungkap bahwa terdapat anggaran untuk Kemtan pada Pos Anggaran 999 sebesar Rp 22,8 miliar.

”Kami mohon persetujuan anggota dewan agar dana Rp 22,8 miliar dapat dimanfaatkan untuk bantuan sosial paket pengembangan kambing PE,” katanya.

Direktur Jenderal Peternakan Tjeppy D Sudjana menyatakan, anggaran Rp 22,8 miliar itu nantinya akan dimanfaatkan untuk membentuk 100 kelompok peternak kambing PE. Setiap kelompok akan mendapatkan bantuan 48 kambing PE betina dan 2 jantan. (MAS)***

Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 04:10 WIB

Presiden Markplus Inc Hermawan Kartajaya menegaskan bahwa lokalitas menjadi kunci keberhasilan dunia usaha

PEMASARAN

Lokalitas Dunia Usaha

SURABAYA - Presiden Markplus Inc Hermawan Kartajaya menegaskan bahwa lokalitas menjadi kunci keberhasilan dunia usaha agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan bertumpu pada lokalitas, dunia usaha tidak perlu khawatir menghadapi perdagangan bebas ASEAN dan China.

”Pengusaha tidak usah takut menghadapi perdagangan bebas, yang terpenting bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu harus dilakukan terlebih dulu,” tutur Hermawan di sela Markplus Festival 2010 di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (1/5).

Pada festival yang dihadiri 2.000 peserta dan menandai peringatan 20 tahun Markplus Inc, Hermawan memberikan kuliah umum bertajuk ”Redefining Marketing to the World”.

Hermawan mengatakan, pengusaha jangan terburu-buru menargetkan untuk menguasai pasar di luar Indonesia, baik negara-negara di kawasan ASEAN maupun di China. Kalau sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan efisien berbisnis, baru pengusaha bisa mempelajari karakter negara lain.

Pendiri Markplus ini mengingatkan, dunia usaha jangan membiarkan barang-barang impor merajai pasar di Indonesia.

”Memang, dari seluruh barang impor yang masuk ke Indonesia, produk asal China menguasai pasaran. Bagaimanapun sekarang jumlah produk dalam negeri masih unggul,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu, CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo menyerahkan buku Grow with Character yang ditulis Hermawan Kartajaya, Alexander Mulya, dan Bayu Asmara, sebagai tanda peluncuran buku tersebut. Grow with Character berisi tentang rahasia di balik kesuksesan Markplus selama 20 tahun berdirinya dalam membangun institusi yang solid. (BEE/LAM)***

Source : Kompas, Senin, 3 Mei 2010 | 04:08 WIB

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template