Kamis, 27 Mei 2010

Industri Rotan Mati Suri

Industri Rotan Mati Suri

Stop Ekspor Bahan Baku ke Negara Pesaing

MAKASSAR - Hasil rotan dan industri rotan Indonesia, yang pernah menguasai pasar dunia pada era 1980-an, sejak lima tahun terakhir kian terpuruk, terutama akibat rusaknya tata niaga rotan di dalam negeri.

Sebagian besar pengusaha dan petani rotan, dari hulu ke hilir, bangkrut. Hal itu terjadi karena daya saing mebel Indonesia di pasar dunia lemah, seluruh produksi rotan mentah dan setengah jadi di pasaran dalam negeri tidak terserap, dan terutama karena terbit regulasi larangan ekspor rotan yang ”pukul rata” tanpa memilah spesifikasi rotan.

Berdasarkan pantauan Kompas dua pekan terakhir di daerah-daerah penghasil rotan di Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Selatan, penduduk tidak lagi menjadikan rotan sebagai komoditas yang menjanjikan. Rotan asalan hasil petikan di hutan dibiarkan terserak dan teronggok tidak berharga.

Sentra rotan di Sulawesi Barat, seperti Kecamatan Mambi di Kabupaten Mamasa atau Wonomulyo di Kabupaten Polewali Mandar, kini tak bersisa sama sekali. Gudang-gudang tempat penyimpanan rotan berubah menjadi tempat penyimpanan kakao. Pusat penggorengan atau industri pengolahan rotan setengah jadi, yang dulu mengolah rotan sampai 40 ton per hari, kini menjadi bangunan telantar.

Sebanyak 250.000 petani rotan di Sulawesi Tengah beralih profesi menjadi penambang emas atau petani kakao karena harga rotan sudah tidak menjanjikan. Dulu rotan jenis jermasin Rp 3.500 per kilogram, kini tidak laku. Jenis rotan batang dalam lima tahun terakhir tidak pernah naik dari Rp 1.500 per kilogram. Di Kota Palu, dari 30 pengusaha rotan setengah jadi, kini tinggal delapan yang aktif.

Di Poso, Sulawesi Tengah, rotan yang dulu diekspor untuk mebel kini hanya menumpuk tak berharga di halaman rumah penduduk. Rotan-rotan yang dihanyutkan dari hutan lewat sungai pun dibiarkan telantar berhari-hari di pinggir sungai.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, puluhan pengusaha rotan kesulitan memasarkan bahan mentah, apalagi setengah jadi. Akibatnya, rotan menumpuk. Gudang pengolah rotan Bines Raya di Banjarmasin, misalnya, kelebihan produksi 300 ton.

Keterpurukan usaha rotan di Sulawesi dan Kalimantan antara lain disebabkan komoditas tersebut tidak terserap pasar mebel dalam negeri. Adapun industri mebel rotan nasional yang (pernah) terpusat di Cirebon, Jawa Barat, dan selama ini menyerap pasar rotan, sudah lebih dulu bangkrut sekitar lima tahun lalu.

Berdasarkan data dari Asosiasi Mebeler Indonesia (Asmindo) Cirebon, sebelum tahun 2005, rata-rata ekspor mebel rotan dari Cirebon bisa mencapai 3.000 kontainer per bulan, sedangkan tahun 2009 maksimal cuma 1.000 kontainer per bulan. Saat musim paceklik hanya 600 kontainer dan ketika pembelian ramai, permintaan tertinggi hanya sekitar 1.200 kontainer.

Kebangkrutan industri mebel rotan selama ini dipicu persaingan dengan China dan Vietnam—anehnya—akibat seretnya bahan baku dalam negeri saat itu.

Menurut Sumartja, Ketua Asmindo Cirebon, posisi Indonesia sebagai negara yang mendominasi ekspor mebel rotan dunia tergeser oleh China karena kalah bersaing harga. Namun, karena tata niaga rotan Indonesia rusak, China kemudian menyerap rotan Indonesia dan dengan itu mendominasi pasar rotan dunia.

”Lima tahun lalu, China tidak bisa menguasai pasar mebel rotan karena mereka tidak memperoleh bahan baku. Namun, sejak keran ekspor rotan asalan atau setengah jadi dibuka ke luar negeri pada tahun 2005, industri mebel rotan di negara seperti China bangkit karena mendapat pasokan bahan baku,” kata Sumartja.

Kebangkrutan mebel rotan pun mengakibatkan terjadinya pengangguran di Cirebon. Sedikitnya 150.000 tenaga kerja tidak lagi terserap industri tersebut. Data terkini dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) menunjukkan, 43 persen atau 220 pabrik mebel rotan gulung tikar. Sekitar 40 persen di antaranya atau 208 pabrik terancam gulung tikar. Yang masih mampu bertahan hanya 17 persen atau 138 pabrik. ”Situasi bakal lebih gawat pada tahun 2010 ini,” kata Hatta Sinatra, Ketua Umum AMKRI.

Aturan tak membantu

Untuk membangkitkan industri dalam negeri, pemerintah merevisi Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2005 tentang Izin Ekspor Rotan Mentah dan Setengah Jadi menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2009 pada Agustus tahun lalu. Namun, kondisi industri rotan tak mengalami perbaikan, bahkan membuat industri di hulu terpuruk.

Dengan aturan baru, pengusaha rotan setengah jadi di hulu, seperti Sulawesi, wajib pasok ke industri dalam negeri di hilir, di antaranya Cirebon. Akan tetapi, kondisi hilir di Cirebon yang telanjur bangkrut sudah tidak mampu menampung banyak rotan yang disuplai dari hulu atau Sulawesi. Akibatnya, rotan yang diambil petani dan dikelola oleh pengusaha rotan setengah jadi tidak laku di pasar dalam negeri.

Dari data Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI), jumlah rotan yang terserap di pasar dalam negeri hanya 60.000 ton per tahun dari 690.000 ton potensi rotan per tahun.

Para pengusaha juga tidak bisa menjual sisa potensi rotan semuanya ke pasar luar negeri karena kuota ekspor yang diperbolehkan hanya 50 persen dari kuota pasok dalam negeri.

”Belum lagi dari sisi jenis atau spesies. Dari sekitar 300 jenis rotan di Sulawesi, hanya lima sampai delapan yang dipakai oleh industri mebel di Indonesia, di antaranya tohiti, lambang, batang, dan noko. Lantas sisanya diapakan?” kata Ketua APRI Sabar Nagarimba Liem.

Oleh karena itu, APRI meminta pemerintah menghapus pembatasan ekspor rotan agar rotan yang tidak digunakan industri dalam negeri bisa diserap di pasaran internasional. Pilihan lain adalah adanya jaminan serap semua rotan dalam negeri sehingga rotan kembali bisa menghidupi masyarakat hulu.

Stop ekspor ke pesaing

Namun, di sisi pengusaha mebel, menurut Hatta Sinatra, industri mebel dalam negeri sulit pulih apabila negara pesaing masih tetap diberi pasokan bahan baku.

Tata niaga rotan Nomor 36 Tahun 2009, menurut Hatta, juga harus dikaji ulang karena tidak bisa membangkitkan industri dalam negeri. ”Di sini industri mebel rotan menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Namun, hanya dengan kebijakan ekspor bahan baku, kami menjadi hancur,” katanya.

Untuk bisa bersaing dengan China, AMKRI juga mendesak pemerintah mengurangi berbagai biaya yang memberatkan, di antaranya biaya pengapalan keluar negeri.

Selama ini biaya tersebut lebih tinggi 35 persen dibandingkan dengan biaya di negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam .China bahkan tidak menarik biaya pengapalan sehingga harga barang ekspornya menjadi murah. Industri mebel pun harus didukung oleh pengembangan desain dan promosi luar negeri yang gencar.

Hatta mengingatkan, apabila Indonesia bisa menyaingi China dari segi harga dan bisa mengembangkan desainnya, pasar mebel rotan bisa kembali terangkat. Efeknya, pasar bahan baku dalam negeri pun bisa kembali pulih. (NIT/NAR/THT/WER/REN)***

Sumber : Kompas, Senin, 24 Mei 2010 | 03:07 WIB

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

tonton @ Rabu, 26 Mei 2010 | 21:26 WIB
mba siti anugrah...iya tidak terserap..kan order buyer sudah pindah semua ke china, vietnam dan filipina. pengrajin rotan furniture bisanya gigit jari sekarang

siti anugerah @ Rabu, 26 Mei 2010 | 02:00 WIB
Pak tonton dari berita justru kelebihan bahan baku yg tidak terserap industri dalam negeri.Ini teh mana yg bener atuh

islamet @ Rabu, 26 Mei 2010 | 01:18 WIB
Ketua APRI "Sabar Nagarimba Liem" mungkin saudaranya mari pangestu :) makanya dibebaskan ekspor rotan mentah....

tonton taufik @ Selasa, 25 Mei 2010 | 00:29 WIB
gresik, solo, surabaya, lampung byk juga sentra industri rotan jadi. lebih baik jual brg jadi drpd jual masih mentahan. rasanya say diajarkan itu sejak SD.

tonton @ Selasa, 25 Mei 2010 | 00:27 WIB
ada gresik, solo, surabaya, lampung masih banyak sentra industri rotan jadi. lebih baik jual barang jadi daripada cuma masih lurusan rotan saja.

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template