Senin, 15 Februari 2010

Kebijakan Fiskal Dapat Lebih Optimal

ANALISIS DANAREKSA

Kebijakan Fiskal Dapat Lebih Optimal

Oleh Purbaya Yudhi Sadewa

Seratus hari pertama pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II baru saja berlalu. Banyak kalangan yang menyangsikan hasil kerja seratus hari pertama kabinet baru ini. Apakah ada hal yang akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi kita lima tahun mendatang?

Sebagian kalangan mengatakan bahwa program seratus hari gagal total karena belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian. Misalnya, angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, pertumbuhan sektor industri yang masih terpuruk, dan pertumbuhan ekonomi yang secara keseluruhan dianggap masih belum memuaskan.

Akan tetapi, rasanya agak berlebihan bila kita mengharapkan semua masalah yang ada dapat diselesaikan dalam seratus hari. Memperbaiki perekonomian perlu perencanaan matang dan implementasi kebijakan yang baik. Jadi, perlu waktu untuk melihat dampak kebijakan tersebut pada perekonomian.

Salah satu tujuan dari program seratus hari yang sering disebutkan adalah untuk memberikan landasan strategis bagi pembangunan ekonomi lima tahun ke depan. Untuk masalah ini, rasanya kita tidak boleh mengabaikan pentingnya meningkatkan dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian.

Belanja pemerintah

Salah satu masalah yang amat mengganggu perekonomian kita dalam beberapa tahun terakhir ini adalah rendah dan lambatnya penyerapan APBN. Dengan kata lain, banyak program pembangunan yang sudah direncanakan tidak dapat direalisasikan, dan yang direalisasikan pun sering terlambat pelaksanaannya dan cenderung menumpuk menjelang akhir tahun.

Jadi, tidak mengherankan bila kita melihat pembangunan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, dan saluran irigasi) seolah-olah tidak bergerak dalam beberapa tahun ini. Keadaan ini tentu membuat daya dorong dari kebijakan fiskal pemerintah terhadap perekonomian menjadi tidak sekuat yang seharusnya.

Agak terganggunya implementasi anggaran terlihat, antara lain, dari jumlah uang di rekening pemerintah di BI yang terkadang naik terlalu tinggi. Biasanya jumlah uang di rekening pemerintah di BI (di mana sebagian besar uang pemerintah disimpan) mengalami kenaikan dari Januari sampai Maret dan bertahan pada level yang relatif tinggi pada bulan berikutnya. Baru kemudian pada tiga bulan terakhir setiap tahun (terutama bulan Desember) jumlah uang itu menurun secara signifikan.

Pola seperti ini terjadi karena pada awal tahun program pemerintah belum banyak dijalankan. Baru pada bulan April, biasanya program pembangunan mulai lebih banyak diimplementasikan (uang dibelanjakan), yang membuat jumlah uang pemerintah di BI tidak bertambah terlalu signifikan lagi. Dan menjelang akhir tahun biasanya realisasi program yang ada dikebut sehingga uang pemerintah pun menurun signifikan pada akhir tahun.

Namun, dalam dua tahun terakhir ini keadaannya lebih memburuk. Hal ini terlihat dari terlalu banyaknya uang yang ada di rekening pemerintah di BI. Tahun 2008, misalnya, sampai bulan November uang pemerintah masih bertahan di atas Rp 150 triliun (lihat grafik).

Pada tahun 2009 keadaan sedikit membaik. Namun, tetap saja jumlah uang pemerintah di BI sampai dengan November 2009 masih relatif terlalu tinggi, di atas Rp 100 triliun. Angka ini diperkirakan akan turun secara signifikan pada bulan Desember. Namun, tetap saja, menumpuknya uang pemerintah di BI hingga akhir tahun memberikan indikasi bahwa masih ada masalah dalam merealisasikan program-program pembangunan yang sudah direncanakan.

Bila keadaan ini tidak diperbaiki, sebaik apa pun program yang pembangunan yang dirancang tidak akan memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian. Akibatnya, akan sulit bagi kita untuk tumbuh dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat pada tahun-tahun mendatang.

Harapan perbaikan

Pemerintah tampaknya sudah menyadari akan pentingnya memperbaiki daya serap anggaran ini. Hal ini terlihat dari dimasukkannya perubahan terhadap Perpres Nomor 67 Tahun 2005 (tentang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur) dalam program seratus harinya.

Ada banyak hal yang diperbaiki dan diperjelas dalam revisi yang dilakukan guna mempercepat proses pembangunan infrastruktur. Salah satu di antaranya adalah mengenai proses pengadaan badan usaha. Dalam perpres yang lama, ketentuan mengenai hal ini sering menyebabkan proses pelelangan harus diulang lagi hingga berkali-kali. Keadaan ini sering memperlambat implementasi suatu proyek infrastruktur.

Semula bila penawaran masuk yang sah kurang dari tiga pihak, proses lelang diulang. Pada versi revisinya, bila penawar yang sah kurang dari tiga pihak, masih mungkin melanjutkan proses pengadaan badan usaha: bila penawaran sah hanya ada dua, maka satu sebagai calon pemenang dan satu cadangan; bila penawar sah hanya ada satu, diadakan lelang ulang atau negosiasi dengan persetujuan menteri.

Alternatif negosiasi ini mungkin rawan untuk disalahgunakan. Akan tetapi, pada era ketika pengawasan terhadap tindak pidana korupsi yang kian ketat ini, rasanya orang akan berpikir puluhan kali untuk menyalahgunakan alternatif negosiasi ini. Dengan perubahan peraturan ini, tampaknya terbuka peluang untuk terjadinya percepatan realisasi penyediaan infrastruktur.

Program lain yang tampaknya dapat memberikan dampak yang signifikan adalah perubahan terhadap Keppres No 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keppres ini juga sering disalahkan (oleh pelaku usaha dan kalangan pemerintahan) sebagai salah satu penyebab terhambatnya realisasi anggaran pemerintah.

Ada beberapa penyederhanaan yang dilakukan, antara lain dalam hal pemilihan penyedia jasa disediakan alternatif prosedur pemilihan yang lebih mudah seperti Lelang Sederhana (untuk pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya) dan Seleksi Sederhana (untuk pemilihan penyedia jasa konsultasi) bagi proyek dengan nilai sampai dengan Rp 200 juta. Pilihan Lelang Sederhana dan Seleksi Sederhana ditujukan untuk mempercepat pelaksanaan pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa dan jasa konsultasi.

Selain itu, ada beberapa hal menarik dari perubahan Keppres No 80/2003. Rancangan terakhir dari revisi keppres ini memberi indikasi adanya kecenderungan keberpihakan kepada UKM, industri, dan penyedia jasa dalam negeri (lihat tabel).

Keikutsertaan perusahaan asing hanya diperbolehkan untuk proyek di atas Rp 100 miliar untuk konstruksi, Rp 20 miliar untuk barang/jasa, dan di atas Rp 10 miliar untuk jasa konsultasi. Perubahan ini diperkirakan akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pemain dalam negeri yang bergerak dalam bisnis tersebut.

Pencadangan proyek bagi UKM juga mengalami perbaikan. Batas maksimal nilai penyediaan barang/jasa untuk UKM dinaikkan dari Rp 1 miliar ke Rp 2,5 miliar. Hanya proyek di atas Rp 2,5 miliar yang dapat ditangani oleh perusahaan besar.

Selain itu, pemakaian produk dalam negeri tampak lebih ditekankan. Dalam revisi Keppres No 80 disebutkan bahwa produk dalam negeri wajib digunakan jika terdapat penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai tingkat komponen dalam negeri minimal 40 persen. Mengingat besarnya belanja pemerintah, revisi keppres ini akan memberikan manfaat lumayan bagi sektor industri dalam negeri.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa salah satu masalah terbesar yang masih dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah relatif belum maksimalnya daya serap anggaran, yang membuat dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian menjadi kurang optimal. Namun, dalam program seratus harinya, kabinet yang baru sudah menyadari hal ini dan sudah membuat penyesuaian agar masalah ini tidak menjadi penghalang lagi.

Walaupun demikian, kita harus ingat bahwa problem Indonesia selama ini bukanlah terletak pada pembuatan peraturan saja. Problem kita yang utama adalah sulitnya mengimplementasikan peraturan dan program-program yang ada. Kabinet baru harus benar-benar memerhatikan masalah ini dan memonitor terus-menerus implementasi program-program pembangunan yang dirancangnya untuk lima tahun ke depan agar ekonomi kita dapat tumbuh dengan laju yang lebih cepat lagi.

Purbaya Yudhi Sadewa,

Chief Economist Danareksa Research Institute

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:43 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Nugroho SBM @ Senin, 1 Februari 2010 | 11:47 WIB
Setuju isi artikel bahwa yg penting bukan revisi Perpres Nomor 67 Tahun 2005 dan Keppres No 80/2003 tetapi implementasi revisi tsb untuk dorong serapan APBN

BEBERAPA PERUBAHAN PADA KEPPRES NO. 80/2003

Ketentuan Metode Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya:

Keppres No. 80/2003

Terdiri dari Pelelangan Umum, Pelelangan Terbatas, Pemilihan Langsung, dan Penunjukan Langsung.

Rancangan Final Revisi Keppres No. 80/2003

Terdiri dari : Pelelangan (umum dan sederhana), Penunjukan Langsung, Pengadaan Langsung, dan Sayembara atau Kontes.

Metode Pemilihan Penyedia Jasa/Konstruksi

Terdiri dari : Seleksi Umum, Seleksi Terbatas, Seleksi Langsung, dan Penunjukan Langsung.

Rancangan Final Revisi Keppres No. 80/2003

Terdiri dari : Seleksi (umum dan sederhana), Penunjukan Langsung, Pengadaan Langsung, dan Sayembara/Kontes.

Batas Nilai Pengadaan Langsung Keppres No. 80/2003 : Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Revisi Keppres No. 80/2003 : Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/jasa lainnya : sampai dengan Rp 100.000.000(seratus juta rupiah). Pengadaan Jasa Konsultasi sampai dengan Rp 50.000.000(lima puluh juta rupiah).

Keikutsertaan Perusahaan Asing dalam Pengadaan Barang/Jasa

Keppres No. 80/2003 : a. Untuk pekerjaan konstruksi di atas Rp 50 miliar. b. Untuk barang/jasa liannya di atas Rp 0 miliar. c. Untuk jasa konsultasi di atas Rp 5 miliar.

Revisi Keppres No. 80/2003 : Untuk pekerjaan konstruksi di atas Rp 100 miliar. b. Untuk barang/jasa lainnya di atas Rp 20 miliar. c. Untuk jasa konsultasi di atas Rp 10 miliar.

Pencadangan Untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Pengadaan barang/jasa sampai dengan Rp 1 miliar diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil, termasuk koperasi kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, termasuk koperasi.

Revisi Keppres No. 80/2003 : Pengadaan barang/jasa sampai dengan Rp 2,5 miliar diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil termasuk koperasi, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, termasuk koperasi.

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

Keppres No. 80/2003 : Belum diatur.

Revisi Keppres No. 80/2003 : Produk dalam negeri wajib digunakan jika terdapar penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai TKDN minimal 40 persen. *** (Sumber : Kompas, Senin, 1 Februari 2010)

Barang Rp 5 Miliar Wajib Produk Dalam Negeri

Barang Rp 5 Miliar Wajib Produk Dalam Negeri

JAKARTA, Bisnis Reang - Pengadaan barang dan jasa pemerintah wajib menggunakan produk dalam negeri jika nilai proyek pengadaannya mencapai Rp 5 miliar ke atas. Sebelumnya, pengadaan barang ini tidak pernah diatur seperti itu. Langkah ini diharapkan mampu mendorong industri dalam negeri dalam memasok produk berkualitas di pasar domestik.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, pekan lalu, saat memaparkan poin-poin penting pada Rancangan Final Revisi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang menjadi cikal bakal undang-undang pengadaan barang dan jasa. Rancangan undang-undang itu kini sudah di tangan DPR dan menunggu pembahasan dengan pemerintah.

Dalam penjelasan capaian program 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono di sektor ekonomi terungkap bahwa pemerintah memberikan insentif berupa preferensi harga kepada peserta tender pengadaan barang yang menggunakan produk dalam negeri paling besar.

Preferensi harga diberikan jika kandungan produk lokalnya ada pada kisaran 25-40 persen. Preferensi harga diberikan dalam bentuk pemenangan tender kepada pengusaha tertentu meskipun nilai pengadaan barangnya lebih tinggi 10 persen dari peserta tender lainnya.

Sebagai gambaran, jika seorang pengusaha A menyampaikan nilai pengadaan barangnya sebesar Rp 5,005 miliar, panitia lelang tetap akan memenangkan pengusaha tersebut meskipun ada peserta tender lain yang menyampaikan nilai pengadaan barang lebih rendah dari Rp 5,005 miliar.

”Aturan pengadaan barangnya menjadi lebih memberikan kepastian, lebih transparan, bisa dipertanggungjawabkan, dan lebih mudah. Hanya saja penggunaan produk dalam negeri menjadi prioritas. Dulu memang disebutkan pengaturannya sekarang lebih ditegaskan,” ujar Hatta.

Aturan penggunaan produk dalam negeri ini akan signifikan terasa oleh industri domestik karena nilai pengadaan barang pemerintah sekitar Rp 350 triliun per tahun. Itu artinya Rp 87,5 triliun hingga Rp 140 triliun akan mengalir pada industri penghasil produk lokal.

Penunjukan langsung

Pemerintah juga merancang peningkatan batas atas pengadaan barang yang dilakukan secara langsung atau penunjukan langsung tanpa melalui tender. Sebelumnya, penunjukan langsung hanya bisa dilakukan pada pengadaan barang bernilai di bawah Rp 50 juta, sekarang dinaikkan menjadi maksimal Rp 100 juta, khusus untuk konstruksi. Adapun untuk pengadaan jasa konsultasi ditetapkan maksimal Rp 50 juta. Sebelumnya hal ini tidak pernah diatur.

”Namun, pengadaan secara langsung ini tidak bisa dilakukan begitu saja, tetapi harus mengikuti berbagai ketentuan. Misalnya barang-barang yang memang diproduksi di dalam negeri. Lalu yang kita perlukan itu memang untuk kebutuhan darurat,” ungkap Hatta.

Secara terpisah, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengungkapkan adanya pengaturan khusus terhadap pengadaan barang dan jasa pada industri kreatif. Perlakuan khusus ini dinyatakan dengan adanya jenis tender baru untuk industri kreatif, inovatif, dan berunsur budaya, yakni melalui sayembara atau kontes.

”Aturan ini khusus untuk mendorong industri kreatif di dalam negeri,” ujar Armida.

Selama ini metode pemilihan penyedia barang dan jasa hanya ditetapkan empat macam, yakni pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, dan penunjukan langsung.

Dalam revisi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 ini ditetapkan ada dua tambahan metode, yakni adanya pelelangan sederhana dan pemilihan melalui sayembara atau kontes.

Batas pengadaan barang dengan pelelangan sederhana adalah maksimal Rp 200 juta. Ini berlaku baik untuk pengadaan barang dan jasa konstruksi maupun penentuan jasa konsultan. Pelelangan sederhana ditetapkan untuk mempercepat pelaksanaan pemilihan penyedia barang atau jasa. (OIN)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:45 WIB

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

syandyh @ Senin, 1 Februari 2010 | 14:56 WIB
Hmmmmm.....sudah terbayang praktek yang bakal marak dimana mana. Korupsi, kolusi, sogok menyogok merajalela. Barang tak bermutu lolos seleksi karena nyogok.

Jeje @ Senin, 1 Februari 2010 | 14:08 WIB
Dalam negeri sih dalam negeri tapi jgn nanti jadi akhirnya monopoli sebagian perusahaan dalm negeri aja

mpoe @ Senin, 1 Februari 2010 | 11:05 WIB
stju kep 80 di revisi ato diganti aja karna sudah terlalu bnyk revisin
ya, semangatnya untuk genjot produk dalam negeri ok bgt, tapi jgn bkn pluang KKN & korupsi

Pasokan Pupuk Berlimpah

Pasokan Pupuk Berlimpah

JAKARTA, Bisnis Reang - Revitalisasi pabrik pupuk membutuhkan dukungan investasi sekitar Rp 47,1 triliun, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan revitalisasi pabrik gula yang membutuhkan Rp 24,3 triliun. Langkah ini sangat dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani.

”Saat ini pasokan pupuk sangat berlimpah, tetapi pabrik pupuk sudah banyak yang berusia tua sehingga menimbulkan kekhawatiran pada kami di sektor pertanian pada pasokan pupuk di jangka menengah (lima tahun) dan panjang. Pabrik yang tua juga menimbulkan ongkos produksi tinggi yang nantinya bisa mendorong harga menjadi mahal bagi petani,” ujar Wakil Menteri Pertanian sekaligus Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Menteri Koordinator Perekonomian, Bayu Krisnamuthi, dari Bogor, Minggu (31/1).

Menurut dia, pabrik pupuk di Indonesia sudah banyak yang berusia di atas 20 tahun, bahkan ada yang mendekati 30 tahun. Kondisi ini menyebabkan keandalan pabrik tersebut sangat rentan terhadap pemberhentian tiba-tiba akibat kendala teknis.

”Implikasinya adalah daya saing pabrik tersebut semakin rendah terhadap pabrik-pabrik baru karena inefisiensi dan tingginya ongkos produksi. Bagi petani, ini merupakan ancaman serius karena kenaikan ongkos produksi biasanya akan mendorong kenaikan harga jual,” ujar Bayu.

Penyusunan Rencana Aksi Revitalisasi Pabrik Pupuk ini merupakan salah satu program 100 hari yang harus tuntas 1 Februari 2010. Jika revitalisasi ini tercapai, pemerintah berharap kapasitas produksi pupuk urea meningkat dari 8,05 juta ton menjadi 10,4 juta ton, dengan investasi senilai Rp 45,2 triliun. Program ini juga diharapkan menambah kapasitas produksi pupuk NPK sebesar satu juta ton dengan nilai investasi Rp 1,9 triliun.

Tidak ada dukungan dana

Secara terpisah, Ketua Kelompok Kerja Pupuk Nasional Edy Putra Irawadi menuturkan tidak ada dukungan dana dari pemerintah terkait revitalisasi pabrik pupuk, baik dalam bentuk penyertaan modal negara maupun subsidi bunga, seperti yang diberikan dalam revitalisasi industri tekstil.

Revitalisasi pabrik pupuk diarahkan pada penggantian lima pabrik pupuk yang sudah berusia tua dan boros.

”Revitalisasi ini sudah dicanangkan sejak pemerintahan lalu. Namun, pasokan gas yang dikuasai asing membuat gas yang diproduksi hanya diambil untuk dipasok ke negara lain atau dijual ke pasar internasional. Kalaupun tiba-tiba ada pasokan, itu hanya karena pembeli asingnya tidak jadi membeli akibat krisis global sehingga harga gasnya sama seperti gas impor,” ungkap Edy.

Nama pabrik pupuk baru yang akan dibangun adalah Kaltim 5 sebagai pengganti pabrik Kaltim 1. Pabrik ini membutuhkan pasokan gas sebanyak 123 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd), tetapi baru bisa dipasok oleh Badan Pengatur Hilir Migas (BP Migas) sebanyak 80 mmscfd saja. Akibatnya, kapasitas pabrik baru ini diperkecil.

”Total investasinya 800 juta dollar AS, yang ditutup dari modal Pupuk Kaltim sendiri 30 persen dan 70 persen dari perbankan. Dengan cara ini, akan ada penghematan sekitar 70 juta dollar AS,” papar Edy.

Bayu menegaskan, revitalisasi pabrik pupuk bisa dijadikan momentum untuk memaksimalkan pasokan pupuk pada seluruh kebutuhan di setiap daerah yang berbeda-beda.

Arah penggunaan pupuk ke depan lebih mengarah pada bertambahnya penggunaan pupuk majemuk dan organik.

Pupuk majemuk diperlukan karena kandungan zat pada pupuk di setiap daerah tidak sama sehingga pasokan pupuk untuk padi di Karawang, Jawa Barat, misalnya, tidak akan sama dengan padi di Papua.

”Kandungan NP dan K di Karawang akan berbeda dengan Papua. Kami berharap revitalisasi pabrik pupuk ini dapat memenuhi kebutuhan ini,” ujar Bayu.

Sektor pertanian juga membutuhkan lebih banyak pupuk organik sehingga revitalisasi pabrik pupuk sebaiknya juga diarahkan pada pembangunan pabrik-pabrik baru yang menghasilkan pupuk organik.

Saat ini baru beberapa produsen pupuk yang menanamkan modalnya pada pabrik pupuk organik, yakni Pupuk Sriwijaya dan Pupuk Kaltim.

”Namun, pembangunan pabrik pupuk organik masih sebatas unit-unit produksi baru sehingga produksinya masih sangat terbatas. Padahal, trennya adalah pengembangan pupuk organik yang lebih banyak ketimbang urea,” ujar Bayu. (OIN/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:44 WIB

Desa Tanjung Batu sentra Kerajinan Perak

Kerajinan Perak Ogan Ilir

Perajin memproduksi perhiasan perak di bengkel kerajinan skala rumah tangga di sentra kerajinan perak Desa Tanjung Batu, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (11/2). Ada ratusan perajin di tempat itu dan produk hasil kerajinan mereka dipasarkan ke Palembang, Prabumulih, Lubuk Linggau, Jambi, dan Bengkulu. (Kompas/Riza Fathoni)***

RUU Pembebasan Lahan Akhir 2010

RUU Pembebasan Lahan Akhir 2010

JAKARTA, Bisnis Reang - Sejumlah ketentuan terkait pembebasan lahan harus menunggu disahkannya Rancangan Undang-Undang Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum. RUU itu dimotori Badan Pertanahan Nasional dan dijadwalkan disahkan akhir tahun 2010.

”Tanah itu hak mendasar. Oleh karena itu, pemerintah memandang lebih baik pencabutan atau pengalihan haknya menggunakan undang-undang yang baru, bukan sekadar revisi atas sebuah peraturan presiden,” kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak, Minggu (31/1), di Jakarta.

Ketika memaparkan program 100 hari Kementerian PU, 12 November 2009, Menteri PU Djoko Kirmanto sebenarnya menjanjikan revisi atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Revisi perpres itu sedianya dijadwalkan selesai akhir Januari 2010 seiring selesainya program 100 hari Kementerian PU. Dengan demikian, ketentuan itu seharusnya dapat langsung diterapkan untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan.

Seminggu lalu terungkap investor jalan tol, PT Jasa Marga, Tbk, butuh waktu lebih dari dua tahun untuk membebaskan lahan seluas ”hanya” 6 hektar. PT Jasa Marga dapat membangun fasilitas pendukung tol kapan saja, tetapi pemerintah daerah lamban dalam membebaskan lahan.

Sudah diserahkan

Hermanto mengatakan, usulan dari Kementerian PU untuk dimuat dalam RUU sudah diserahkan kepada BPN. Intinya tetap saja, Kementerian PU mengusulkan insentif bagi camat atau lurah sebagai pejabat pembuat akta tanah.

Para pemimpin daerah itu selama ini menjadi ujung tombak pembebasan lahan tol. Keterlibatan pemerintah daerah juga akan diatur agar anggota Panitia Pengadaan Tanah diisi oleh pejabat yang dapat bekerja secara penuh, tak harus pejabat setingkat sekretaris daerah.

Usulan revisi lain berupa dipangkasnya jangka waktu musyawarah dari 120 hari menjadi 60 hari. Konsinyasi juga diusulkan diterapkan setelah 51 persen lahan terbebaskan, sebelumnya setelah 75 persen lahan bebas.

”Kami juga akan mengatur tegas dalam revisi itu bahwa jalan tol dapat dibangun langsung setelah konsinyasi,” ujar Hermanto. (RYO/Kompas)***

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:44 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

anas pemerhati bangsa @ Senin, 1 Februari 2010 | 06:16 WIB
i really expect negara ini tak bermental inlander yang nurutkan hawa nafsu seperti company zaman duloe. Tegakkan keadilan masyarakat kecil......bangkit negaraku

Warga Protes PLN Tebangi Pohonnya

PLN Tebangi Puluhan Pohon

Sebelas Tiang Listrik Didirikan Tanpa Izin Pemilik

SLEMAN, Bisnis Reang - Lebih dari 80 batang pohon sengon milik warga Dusun Balong, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, ditebangi petugas Perusahaan Listrik Negara tanpa izin pemilik lahan. Penebangan itu dimaksudkan PLN untuk mengamankan jaringan kabel listrik yang melintas di lahan tersebut.

Pemilik lahan, Slamet (70), mengaku rugi Rp 20 juta karena pohon- pohon tersebut merupakan pohon produksi. "Saya merasa sakit sekali. Bukan hanya soal materinya, tetapi rasanya itu seperti dijajah saja. Kok bisa-bisanya main tebang sembarangan tanpa ada omongan apa pun dengan pemiliknya," katanya saat ditemui di rumahnya, Minggu (14/2).

Hal itu terjadi 31 Januari lalu, dan Slamet baru mengetahui tumbangnya pohon-pohon sengon yang ditanam dan dirawat susah payah selama tiga tahun itu dua hari kemudian saat memeriksa lahan yang berjarak sekitar 3 km dari rumahnya. Dari keterangan beberapa warga yang diperoleh Slamet, penebangan dilakukan dua petugas PLN yang mengendarai mobil bak terbuka PLN. Merapi Golf

Apa yang didapati di lahannya membuat Slamet geram. Menurut ceritanya, pendirian sebelas tiang listrik di atas lahannya tahun 1996 juga dilakukan PLN tanpa seizinnya. "Tidak ada kompensasi apa pun juga sampai saat ini. Lha kok sekarang main tebang seenaknya saja," katanya.

Slamet menambahkan, 11 tiang listrik itu merupakan jaringan tambahan untuk memasok listrik ke Merapi Golf yang berbatasan dengan lahannya.

Kegusaran Slamet bertambah karena sebenarnya pohon-pohon sengon itu tidak menyentuh kawat listrik yang tingginya sekitar 6 meter dan otomatis tidak berpotensi mengganggu. Anehnya, terdapat pohon lain yang dahannya justru menyentuh kawat listrik, tetapi dibiarkan tak ditebas.

Upaya Slamet meminta pertanggungjawaban PLN tidak membuahkan hasil. "Sudah dua kali saya meminta bertemu yang difasilitasi pihak Merapi Golf. Namun, tidak satu pun dari PLN mau datang," katanya.

Dikonfirmasi secara terpisah, Manajer Unit Pelayanan dan Jaringan PLN Kalasan Darmono yang membawahi wilayah Cangkringan mengatakan sebaliknya. Penebangan itu dilakukan akibat pohon-pohon tersebut dinilai mengganggu jaringan kawat listrik sehingga sempat menyebabkan aliran listrik terganggu.

"Waktu itu sempat terjadi pemadaman akibat gangguan itu sehingga kami menurunkan tim teknis untuk memangkasi pohon-pohon di situ. Kalau tidak dilakukan, pasokan listrik bagi banyak warga akan terganggu," katanya.

Terkait izin penebangan itu, Darmono mengatakan, secara prosedural, harusnya itu sudah dilakukan. "Bahkan, biasanya warga sekitar akan membantu petugas kami dalam memangkasi pohon-pohon yang mengganggu. Nanti coba saya cek lagi dengan tim teknis," ujarnya.

Soal ganti rugi atas pohon yang ditebangi, Darmono mengatakan, PLN tak memiliki kebijakan untuk hal tersebut. Terkait permintaan bertemu dari Slamet untuk menyelesaikan masalah tersebut, Darmono mengaku tidak pernah menerima permintaan itu. (ENG’Kompas)

Source : Kompas, Senin, 15 Februari 2010 | 15:00 WIB

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template