Senin, 15 Februari 2010

Kebijakan Fiskal Dapat Lebih Optimal

ANALISIS DANAREKSA

Kebijakan Fiskal Dapat Lebih Optimal

Oleh Purbaya Yudhi Sadewa

Seratus hari pertama pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II baru saja berlalu. Banyak kalangan yang menyangsikan hasil kerja seratus hari pertama kabinet baru ini. Apakah ada hal yang akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi kita lima tahun mendatang?

Sebagian kalangan mengatakan bahwa program seratus hari gagal total karena belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian. Misalnya, angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, pertumbuhan sektor industri yang masih terpuruk, dan pertumbuhan ekonomi yang secara keseluruhan dianggap masih belum memuaskan.

Akan tetapi, rasanya agak berlebihan bila kita mengharapkan semua masalah yang ada dapat diselesaikan dalam seratus hari. Memperbaiki perekonomian perlu perencanaan matang dan implementasi kebijakan yang baik. Jadi, perlu waktu untuk melihat dampak kebijakan tersebut pada perekonomian.

Salah satu tujuan dari program seratus hari yang sering disebutkan adalah untuk memberikan landasan strategis bagi pembangunan ekonomi lima tahun ke depan. Untuk masalah ini, rasanya kita tidak boleh mengabaikan pentingnya meningkatkan dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian.

Belanja pemerintah

Salah satu masalah yang amat mengganggu perekonomian kita dalam beberapa tahun terakhir ini adalah rendah dan lambatnya penyerapan APBN. Dengan kata lain, banyak program pembangunan yang sudah direncanakan tidak dapat direalisasikan, dan yang direalisasikan pun sering terlambat pelaksanaannya dan cenderung menumpuk menjelang akhir tahun.

Jadi, tidak mengherankan bila kita melihat pembangunan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, dan saluran irigasi) seolah-olah tidak bergerak dalam beberapa tahun ini. Keadaan ini tentu membuat daya dorong dari kebijakan fiskal pemerintah terhadap perekonomian menjadi tidak sekuat yang seharusnya.

Agak terganggunya implementasi anggaran terlihat, antara lain, dari jumlah uang di rekening pemerintah di BI yang terkadang naik terlalu tinggi. Biasanya jumlah uang di rekening pemerintah di BI (di mana sebagian besar uang pemerintah disimpan) mengalami kenaikan dari Januari sampai Maret dan bertahan pada level yang relatif tinggi pada bulan berikutnya. Baru kemudian pada tiga bulan terakhir setiap tahun (terutama bulan Desember) jumlah uang itu menurun secara signifikan.

Pola seperti ini terjadi karena pada awal tahun program pemerintah belum banyak dijalankan. Baru pada bulan April, biasanya program pembangunan mulai lebih banyak diimplementasikan (uang dibelanjakan), yang membuat jumlah uang pemerintah di BI tidak bertambah terlalu signifikan lagi. Dan menjelang akhir tahun biasanya realisasi program yang ada dikebut sehingga uang pemerintah pun menurun signifikan pada akhir tahun.

Namun, dalam dua tahun terakhir ini keadaannya lebih memburuk. Hal ini terlihat dari terlalu banyaknya uang yang ada di rekening pemerintah di BI. Tahun 2008, misalnya, sampai bulan November uang pemerintah masih bertahan di atas Rp 150 triliun (lihat grafik).

Pada tahun 2009 keadaan sedikit membaik. Namun, tetap saja jumlah uang pemerintah di BI sampai dengan November 2009 masih relatif terlalu tinggi, di atas Rp 100 triliun. Angka ini diperkirakan akan turun secara signifikan pada bulan Desember. Namun, tetap saja, menumpuknya uang pemerintah di BI hingga akhir tahun memberikan indikasi bahwa masih ada masalah dalam merealisasikan program-program pembangunan yang sudah direncanakan.

Bila keadaan ini tidak diperbaiki, sebaik apa pun program yang pembangunan yang dirancang tidak akan memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian. Akibatnya, akan sulit bagi kita untuk tumbuh dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat pada tahun-tahun mendatang.

Harapan perbaikan

Pemerintah tampaknya sudah menyadari akan pentingnya memperbaiki daya serap anggaran ini. Hal ini terlihat dari dimasukkannya perubahan terhadap Perpres Nomor 67 Tahun 2005 (tentang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur) dalam program seratus harinya.

Ada banyak hal yang diperbaiki dan diperjelas dalam revisi yang dilakukan guna mempercepat proses pembangunan infrastruktur. Salah satu di antaranya adalah mengenai proses pengadaan badan usaha. Dalam perpres yang lama, ketentuan mengenai hal ini sering menyebabkan proses pelelangan harus diulang lagi hingga berkali-kali. Keadaan ini sering memperlambat implementasi suatu proyek infrastruktur.

Semula bila penawaran masuk yang sah kurang dari tiga pihak, proses lelang diulang. Pada versi revisinya, bila penawar yang sah kurang dari tiga pihak, masih mungkin melanjutkan proses pengadaan badan usaha: bila penawaran sah hanya ada dua, maka satu sebagai calon pemenang dan satu cadangan; bila penawar sah hanya ada satu, diadakan lelang ulang atau negosiasi dengan persetujuan menteri.

Alternatif negosiasi ini mungkin rawan untuk disalahgunakan. Akan tetapi, pada era ketika pengawasan terhadap tindak pidana korupsi yang kian ketat ini, rasanya orang akan berpikir puluhan kali untuk menyalahgunakan alternatif negosiasi ini. Dengan perubahan peraturan ini, tampaknya terbuka peluang untuk terjadinya percepatan realisasi penyediaan infrastruktur.

Program lain yang tampaknya dapat memberikan dampak yang signifikan adalah perubahan terhadap Keppres No 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keppres ini juga sering disalahkan (oleh pelaku usaha dan kalangan pemerintahan) sebagai salah satu penyebab terhambatnya realisasi anggaran pemerintah.

Ada beberapa penyederhanaan yang dilakukan, antara lain dalam hal pemilihan penyedia jasa disediakan alternatif prosedur pemilihan yang lebih mudah seperti Lelang Sederhana (untuk pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya) dan Seleksi Sederhana (untuk pemilihan penyedia jasa konsultasi) bagi proyek dengan nilai sampai dengan Rp 200 juta. Pilihan Lelang Sederhana dan Seleksi Sederhana ditujukan untuk mempercepat pelaksanaan pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa dan jasa konsultasi.

Selain itu, ada beberapa hal menarik dari perubahan Keppres No 80/2003. Rancangan terakhir dari revisi keppres ini memberi indikasi adanya kecenderungan keberpihakan kepada UKM, industri, dan penyedia jasa dalam negeri (lihat tabel).

Keikutsertaan perusahaan asing hanya diperbolehkan untuk proyek di atas Rp 100 miliar untuk konstruksi, Rp 20 miliar untuk barang/jasa, dan di atas Rp 10 miliar untuk jasa konsultasi. Perubahan ini diperkirakan akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pemain dalam negeri yang bergerak dalam bisnis tersebut.

Pencadangan proyek bagi UKM juga mengalami perbaikan. Batas maksimal nilai penyediaan barang/jasa untuk UKM dinaikkan dari Rp 1 miliar ke Rp 2,5 miliar. Hanya proyek di atas Rp 2,5 miliar yang dapat ditangani oleh perusahaan besar.

Selain itu, pemakaian produk dalam negeri tampak lebih ditekankan. Dalam revisi Keppres No 80 disebutkan bahwa produk dalam negeri wajib digunakan jika terdapat penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai tingkat komponen dalam negeri minimal 40 persen. Mengingat besarnya belanja pemerintah, revisi keppres ini akan memberikan manfaat lumayan bagi sektor industri dalam negeri.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa salah satu masalah terbesar yang masih dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah relatif belum maksimalnya daya serap anggaran, yang membuat dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian menjadi kurang optimal. Namun, dalam program seratus harinya, kabinet yang baru sudah menyadari hal ini dan sudah membuat penyesuaian agar masalah ini tidak menjadi penghalang lagi.

Walaupun demikian, kita harus ingat bahwa problem Indonesia selama ini bukanlah terletak pada pembuatan peraturan saja. Problem kita yang utama adalah sulitnya mengimplementasikan peraturan dan program-program yang ada. Kabinet baru harus benar-benar memerhatikan masalah ini dan memonitor terus-menerus implementasi program-program pembangunan yang dirancangnya untuk lima tahun ke depan agar ekonomi kita dapat tumbuh dengan laju yang lebih cepat lagi.

Purbaya Yudhi Sadewa,

Chief Economist Danareksa Research Institute

Source : Kompas, Senin, 1 Februari 2010 | 04:43 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Nugroho SBM @ Senin, 1 Februari 2010 | 11:47 WIB
Setuju isi artikel bahwa yg penting bukan revisi Perpres Nomor 67 Tahun 2005 dan Keppres No 80/2003 tetapi implementasi revisi tsb untuk dorong serapan APBN

BEBERAPA PERUBAHAN PADA KEPPRES NO. 80/2003

Ketentuan Metode Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya:

Keppres No. 80/2003

Terdiri dari Pelelangan Umum, Pelelangan Terbatas, Pemilihan Langsung, dan Penunjukan Langsung.

Rancangan Final Revisi Keppres No. 80/2003

Terdiri dari : Pelelangan (umum dan sederhana), Penunjukan Langsung, Pengadaan Langsung, dan Sayembara atau Kontes.

Metode Pemilihan Penyedia Jasa/Konstruksi

Terdiri dari : Seleksi Umum, Seleksi Terbatas, Seleksi Langsung, dan Penunjukan Langsung.

Rancangan Final Revisi Keppres No. 80/2003

Terdiri dari : Seleksi (umum dan sederhana), Penunjukan Langsung, Pengadaan Langsung, dan Sayembara/Kontes.

Batas Nilai Pengadaan Langsung Keppres No. 80/2003 : Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Revisi Keppres No. 80/2003 : Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/jasa lainnya : sampai dengan Rp 100.000.000(seratus juta rupiah). Pengadaan Jasa Konsultasi sampai dengan Rp 50.000.000(lima puluh juta rupiah).

Keikutsertaan Perusahaan Asing dalam Pengadaan Barang/Jasa

Keppres No. 80/2003 : a. Untuk pekerjaan konstruksi di atas Rp 50 miliar. b. Untuk barang/jasa liannya di atas Rp 0 miliar. c. Untuk jasa konsultasi di atas Rp 5 miliar.

Revisi Keppres No. 80/2003 : Untuk pekerjaan konstruksi di atas Rp 100 miliar. b. Untuk barang/jasa lainnya di atas Rp 20 miliar. c. Untuk jasa konsultasi di atas Rp 10 miliar.

Pencadangan Untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Pengadaan barang/jasa sampai dengan Rp 1 miliar diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil, termasuk koperasi kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, termasuk koperasi.

Revisi Keppres No. 80/2003 : Pengadaan barang/jasa sampai dengan Rp 2,5 miliar diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil termasuk koperasi, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, termasuk koperasi.

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

Keppres No. 80/2003 : Belum diatur.

Revisi Keppres No. 80/2003 : Produk dalam negeri wajib digunakan jika terdapar penyedia barang/jasa yang menawarkan barang/jasa dengan nilai TKDN minimal 40 persen. *** (Sumber : Kompas, Senin, 1 Februari 2010)

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template