Selasa, 22 Februari 2011

Target Kemenpera 2011 Salurkan Kredit 210.000 Unit Rumah

Target Kemenpera 2011

Salurkan Kredit 210.000 Unit Rumah

Selasa, 22 Februari 2011| 18:05 WIB

Dok Kemenpera

Hari Habitat Dunia menargetkan pembangunan kota yang lebih baik dengan permukiman yang lebih baik pula

TERKAIT:

JAKARTA, Bisnis Reang Online - Kementerian Perumahan Rakyat memprediksi bisa menyalurkan kredit untuk 16.000 unit rumah dengan nilai Rp 500 miliar dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga akhir tahun nanti. Meski begitu, angka tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan total dana yang disiapkan untuk FLPP sebesar Rp 2,6 triliun pada tahun ini.

"

Sebenarnya untuk tahun 2010 ini target yang ingin dicapai sebanyak 90.000 unit rumah. Namun, target ini belum bisa tercapai karena penyaluran kreditnya baru dimulai 1 Oktober lalu.

-- Sri Hartoyo

"

Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat Sri Hartoyo mengatakan, per 13 Desember lalu, total kredit yang telah disalurkan sudah mencapai 12.000 unit rumah. "Dan angka itu dipastikan akan bertambah terus,"ujarnya.

Sri mengaku, sebenarnya untuk tahun 2010 ini target yang ingin dicapai sebanyak 90.000 unit rumah. Namun, target ini belum bisa tercapai karena penyaluran kreditnya baru dimulai 1 Oktober lalu. Selain itu, pola subsidi KPR yang lama malalui subsidi selisih bunga dan uang muka juga masih berlaku.

Nah, dia memastikan, untuk tahun depan penyaluran KPR hanya menggunakan program FLPP saja. Terkait hal itu, sosialisasi mengenai program ini akan terus dilakukan. Tak heran, tahun depan, Kementerian Perumahan Rakyat menargetkan penyaluran FLPP untuk 210 ribu unit rumah. Dana yang disiapkan untuk tahun depan itu sebesar Rp 3,5 triliun. "Angka itu sudah ditambah dengan carry over tahun ini Rp 2,1 triliun," ujarnya.

Dari dua bank yang sudah melalukan kontrak kerja sama, sejauh ini, baru Bank Tabungan Negara (BTN) yang sudah menyalurkan kredit FLPP. "Total dana yang kita tempatkan di BTN 1,6 triliun," ujarnya. Sedangkan bank lainnya, Bank Negara Indonesia (BNI), belum menyampaikan rencana penyerapan untuk triwulan pertama (Oktober-Desember). "BNI belum ada progresnya," ujarnya.

Ke depan, pihaknya akan menggandeng lebih banyak bank untuk penyaluran FLPP ini. "Kita undang seluruh bank umum untuk berpartisipasi," ujarnya. Ada pun persyaratan bagi bank yang ingin terlibat adalah bank yang sehat menurut BI dan mempunyai jaringan yang cukup ke daerah.

Catatan saja, FLPP merupakan subsidi pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpengahasilan rendah dan menengah. Subsidi ini disalurkan pemerintah melalui bank dengan bunga di kisaran 8 persen. (Petrus Dabu/KONTAN)***

Sumber : Kompas.com, Kamis, 23 Desember 2010

Sabtu, 19 Februari 2011

H. Bustanil Arifin SH




Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

FOKUS : Menjadi Tionghoa Tua Sebelum Kaya

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

FOKUS

Menjadi Tionghoa Tua Sebelum Kaya

Sejak 2.000 tahun lalu, China sudah memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, sekitar 60 juta orang, mewakili kira-kira seperempat populasi dunia. Kota-kota China juga sudah memiliki jumlah penduduk terpadat. Chang’an (sekarang Xi’an di Provinsi Shaanxi) merupakan kota terbesar di dunia, mengikuti Babilon dan Alexandria.

Ketika Marco Polo mengunjungi daratan China, Hangzhou, sekitar dua jam ke arah barat Shanghai, adalah kota terbesar di dunia dengan penduduk 300.000 orang pada pertengahan abad ke-13. Selama lebih dari 5.000 tahun penduduk China tumbuh pesat dengan kecepatan yang tinggi pada pertengahan abad ke-17 semasa Dinasti Qing.

Pada masa orang-orang Manchu berkuasa itu, penduduk menjadi dua kali lipat. Dimulai dengan 175 juta orang pada sekitar tahun 1750, menjadi 350 juta hanya dalam waktu 60 tahun. Pertambahan penduduk berlangsung terus sampai berkuasanya Partai Komunis China yang juga menyebabkan 36 juta orang kehilangan nyawa selama kampanye politik antara tahun 1959-1962.

Ketika Mao Zedong mengandalkan penduduknya yang disebut ”gelombang manusia” yang mencapai 900 juta orang pada akhir Revolusi Kebudayaan 1974 (pada 1961 jumlah penduduk RRC 660 juta orang), rata-rata satu perempuan China melahirkan enam anak.

Biaya masyarakat

Daratan China sekarang dihuni sekitar 1,4 miliar orang Tionghoa yang hidup di daratan, pertumbuhan ekonomi mencapai dua digit selama tiga dekade berturut-turut, dan menjadi persoalan dunia karena menyerap berbagai produk dunia dalam skala masif.

Ketika keterbukaan dan reformasi dijalankan tahun 1978, program keluarga berencana diterapkan Pemerintah China dengan kebijakan satu anak. Hasilnya, laju pertumbuhan penduduk bisa diredam sehingga menunda sampai 400 juta kelahiran pada tahun 1979-2010.

Bersamaan dengan semakin sejahteranya rakyat Tionghoa, persoalan satu anak yang disebut ”kaisar kecil” menimbulkan masalah lahirnya generasi manja. Mereka mengonsumsi berbagai hal, merengek minta hamburger McDonald’s atau sayap ayam di KFC, atau merajuk guna memperoleh barang konsumsi lain.

Selama satu dekade terakhir ada kebijakan shehui fuyang fei (biaya memelihara masyarakat) yang memungkinkan keluarga Tionghoa memiliki anak kedua di luar kebijakan keluarga berencana. Seorang bermarga ma di Changsha, Provinsi Hunan, menjelaskan, biaya ini mencapai 125.000 yuan (sekitar Rp 180 juta) dan umumnya dibayar dengan mengumpulkan uang dari sanak saudara atau danwei (unit kerja) mereka.

Kelas menengah dan orang kaya baru di China memiliki cara lain. Salah satunya membawa istri mereka yang hamil anak kedua melahirkan di Hongkong. Biayanya sedikit lebih mahal, tetapi memiliki keuntungan lain: anak yang dilahirkan bisa memiliki status warga Hongkong.

Ekonosentris

Persoalan generasi ”kaisar kecil” dalam masyarakat Tionghoa di RRC sekarang menimbulkan apa yang dikenal dengan si er yi jiating (keluarga 4-2-1), mengacu pada perlindungan generasi manja ini melalui kedua orangtua serta empat kakek dan nenek mereka.

Keluarga 4-2-1 ini secara ekonomis menimbulkan persoalan ketika generasi manja mulai beranjak dewasa dan mulai membangun keluarga sendiri, menyebabkan orangtua atau kakek-nenek tidak memiliki tumpuan ketika tunjangan mereka tidak cukup untuk meneruskan hidup.

Biaya hidup di Beijing, Shanghai, dan Qingdao sekarang sama mahalnya dengan kota lain di dunia seperti Hongkong, Tokyo, atau New York. Kombinasi penghasilan generasi manja—baik pria maupun wanita—dipastikan tidak cukup memadai untuk menopang diri atau keluarga masing-masing.

Soal kependudukan dan generasi manja mulai menjadi masalah pembangunan ekonomi. Tahun 2005, sekitar 130 juta orang atau 10 persen total penduduk Tionghoa berusia di atas 60 tahun. Pada tahun 2050, sekitar 500 juta orang atau satu dari tiga orang Tionghoa berusia di atas 60 tahun dan 100 juta di antaranya berusia 80 tahun

Menjadi Tionghoa di daratan China menghadirkan orang yang terlalu tua sebelum menjadi kaya karena dampak pembangunan ekonomi. Kita akan melihat generasi manja yang terintegrasi melalui kemajuan teknologi komunikasi dan infrastruktur transportasi yang mampu memindahkan mereka ke mana-mana.

China sedang berubah. Sangat cepat. Populasi penduduk China yang tumbuh sekarang memang tidak hanya menjadi target penguasa Beijing dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan dasar politik modernnya. Populasi Tionghoa akan tetap menjadi sentra raison d’etre bagi penguasa Beijing karena kehidupan politiknya akan tetap terkonsentrasi pada ekonosentris yang dijalani selama ini. (rlp)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

Lebih Baik Belajar ke China

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

PERENCANAAN PEMERINTAH

Lebih Baik Belajar ke China

Sebenarnya, anggota DPR RI lebih bagus berkunjung ke China. Pemerintah daerah di negara ini cocok dijadikan contoh cara pemerintah menjalankan perencanaan.

China melakukan perencanaan matang, dikaji di tengah jalan, dan dimodifikasi jika perlu. Prosedur seperti ini mirip yang dilakukan Singapura. Pemerintahnya menjalankan negara seperti menjalankan strategi bisnis meski nihil kemerdekaan warga.

Mungkin semua itu terpengaruh nasihat mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew kepada Deng Xiaoping beberapa tahun lalu agar China jangan mengekspor komunisme ke Asia Tenggara. Lee juga menyarankan China membangun perekonomian.

Di luar itu, Deng menunjukkan ketertarikan pada keberhasilan perusahaan Coca-Cola, Boeing, dan sejumlah korporasi AS saat bertemu Jimmy Carter yang saat itu memimpin AS.

Tidak heran setiap rencana pasti dijalankan, apalagi jika terkait pembangunan ekonomi. Begitu pelabuhan, jalan, kereta api, atau infrastruktur lain sudah direncanakan, pembangunan dilaksanakan sepenuhnya.

Tampilan fisik di China pun bisa berubah drastis hanya dalam hitungan enam bulan. ”Bisa-bisa saat bangun tidur di depan rumah sudah ada jalan layang berdiri,” kata Sicilia Samaria Mandang, penasihat di perusahaan Montpelier. China bekerja 24 jam, musim dingin atau musim panas, sepanjang tahun.

”Pada setiap rencana pembangunan lima tahunan, kami selalu melakukan evaluasi di tengah jalan,” kata Prof Dr Yan Jianmiao, Dekan Jurusan Ekonomi Internasional di Universitas Zhejiang, Hangzhou. Yan juga ikut terlibat dalam perencanaan ekonomi lima tahunan.

Perencanaan bukan sekadar kertas berisi tulisan indah dengan grafik menawan tetapi kosong isinya, melainkan berdasarkan pengamatan lapangan serius soal apa saja tentang masyarakat, kebutuhan dan perkembangannya. Maklum, sebagai partai tunggal, Partai Komunis China tak boleh terlena dengan kekuasaan yang bisa memabukkan. Perencanaan juga didasarkan pada survei lapangan yang diterbitkan tahunan dalam bentuk cetak biru oleh Akademi Ilmu-ilmu Sosial China.

Apa faktor yang mendorong jalannya pelaksanaan perencanaan itu? Prof Dr Hora Tjitra dari Universitas Zhejiang, Hangzhou, mengatakan, hal itu berhubungan dengan kenaikan pangkat yang antara lain diukur dari kemampuan daerah mendatangkan investasi. Ukurannya jelas sehingga memudahkan penilaian apakah seseorang bekerja atau tidak.

Pemerintah China juga gencar mengirim pegawainya belajar ke AS dan Eropa untuk menambah visi dan pengetahuan aparat.

Hal ini mengingatkan pada ucapan Deng Xiaoping. ”Begitu para mahasiswa kita yang bersekolah di seberang kembali, kita akan melihat transformasi dahsyat China.”

Ya, Tuan Deng. Dahsyat betul.

Jadi, untuk apa DPR harus berkunjung ke negara lain. Dalamilah cara China membuat perencanaan dan melaksanakannya. (mon)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • aloys susilarto

Jumat, 18 Februari 2011 | 13:15 WIB

Hidupkan kembali GBHN dgn REPELITA minmal5 Pelita. Tdk bisa lagi diserahkan pada maunya pemerintahan yg berjalan. Sejarah telah membuktikan.

Balas tanggapan

  • Wahyudi Ho

Jumat, 18 Februari 2011 | 12:24 WIB

bila ingin berhasil seperti china,maka hal yg harus dilakukan adalah menghapus pilkada,cukup pilpres saja, sebab dgn pilkada pembangunan jadi tdk sinkron, masing2 kepala daerah bertindak seenak nya sendiri,tanpa bisa diatur oleh pusat,semua semaunya sendiri,presiden pun tdk berdaya,kalau di china semua keputusan terpusat satu komando,dan juga penting mereformasi mental para pegawai serta serius memberantas korupsi. bila itu dilakukan dgn sungguh2,maka 20tahun lagi,indonesia bisa melewati bahkan amerika serikat,saya yakin itu

Balas tanggapan

Konfusianisme Bergerak Cepat

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

MIMPI TIONGHOA

Konfusianisme Bergerak Cepat

Konfusianisme Bergerak Cepat.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)***

Oleh Rene L Pattiradjawane

Ada satu ungkapan China menarik menggambarkan negara raksasa yang menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia memasuki dekade kedua abad ke-21. Ungkapan ini berbunyi, ”Pi zhi bu cun, mao jiang yan fu?” Ketika kulit sudah tidak ada, bagaimana rambut bisa menempel dirinya sendiri?

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi China memang menghilangkan jati diri China sebagai negara sosialis, apa pun namanya. China kini negara kapitalis raksasa yang mengubah nasib dari negara sama rasa sama rata menjadi negara konsumtif yang menelan apa saja secara masif.

Ketika China menjadi kekuatan ekonomi kedua dunia setelah AS, mengalahkan Jepang dan Jerman, masyarakat dunia tercengang. China memiliki produk domestik bruto (PDB) 5,88 triliun dollar AS, lebih besar daripada Jepang dengan PDB 5,47 triliun dollar berdasarkan angka Januari 2011 (The Wall Street Journal, 15/2).

Memerhatikan China selama lebih dari 20 tahun, sekarang terasa ada yang hilang. Kita tidak lagi melihat kehadiran Partai Komunis China (PKC) dengan berbagai slogan, spanduk, papan reklame di seantero negeri. Dari Shanghai, kota terbesar di pesisir timur daratan China, sampai ke Provinsi Shandong, lalu ke pedalaman di kota Changsha, Provinsi Hunan, yang muncul adalah ketionghoaan ketimbang kekomunisan yang menjadi impian pendiri RRC.

Komunisme, atau sering didengungkan sebagai sosialisme berkarakteristik China, kehilangan rohnya dan hanya terasa sebagai kekuatan politik di ibu kota Beijing. Kaki tangan partai di daerah yang sebelumnya merasuk ke berbagai perusahaan milik negara atau menjadi bagian unit kerja berbagai perusahaan patungan tidak lagi memiliki pengaruh dalam jalannya modernisasi China.

Beberapa perubahan

Ketika perekonomian China mencapai tahapan lebih maju daripada ketika dicanangkan Modernisasi Empat (Sige Xiandaihua), terjadi perubahan penting dalam melihat beberapa persoalan modernisasi. Rakyat kebanyakan, terutama buruh pabrik di perusahaan manufaktur seantero China, mulai melihat perubahan yang lebih menuntut tidak hanya upah minimum, tetapi juga kualitas hidup.

Mencari uang, mengikuti diktum Deng Xiaoping ”menjadi kaya adalah mulia”, tidak lagi menjadi prioritas. Banyak buruh pabrik enggan meneruskan pekerjaan mereka di pesisir timur yang menjanjikan kemakmuran. Mereka memilih tinggal di pedalaman di bagian barat, seperti Provinsi Sichuan, Hubei, Shaanxi, dan Hunan, mencari pekerjaan yang tidak harus meninggalkan kampung halaman.

PKC yang sebelumnya menjadi inspirator dan penggerak utama pertumbuhan seperti kehilangan pegangan menghadapi rakyatnya yang semakin kaya dan makmur. Tanpa disadari, pegangan slogan sosialisme berkarakteristik China hilang ditelan kemakmuran. Saat bersamaan, muncul persoalan baru, terutama berkaitan dengan pangan, perumahan, energi, dan pertumbuhan penduduk yang melahirkan homogenisasi.

Homogenisasi budaya masyarakat Tionghoa modern menjadi kunci keberhasilan ketika sosialisme berkarakteristik China gagal memobilisasi berbagai aksi dalam masyarakat China. PKC seratus tahun lalu dengan mudah mengirim kader menginfiltrasi ke desa dan kota, menghasut dan menghimpun rakyat melawan kelompok Nasionalisme di bawah pimpinan Partai Nasionalis China, Kuomintang.

Sekarang, kehadiran jaringan digital kecepatan tinggi menghubungkan kota dan desa melalui komunikasi modern, seperti internet dan telepon seluler, memungkinkan gagasan berseliweran ke berbagai pelosok. Kereta api kecepatan 340 kilometer per jam menjadi bagian penting penghubung desa dan kota, termasuk jalan bebas hambatan yang menghubungkan 31 provinsi di China.

Filosofi umum

Kemajuan dan homogenisasi masyarakat Tionghoa itu menjelaskan kehadiran patung perunggu Konghucu setinggi 9,5 meter di luar Gedung Museum Nasional di Lapangan Tiananmen, Beijing, hal yang belum pernah terjadi dalam 100 tahun gerakan komunisme China. Konghucu mendapat tempat terhormat, ikon mimpi menjadi Tionghoa.

Konfusianisme menjadi pegangan penting dalam mengelola kebajikan individual, landasan penting membentuk peradaban Tionghoa modern.

Salah satu buku Konghucu, Daxue (Pembelajaran Akbar), menekankan kewu (menangani persoalan), zhizhi (mencapai pengetahuan), xiushen (memelihara kebajikan), qijia (menjaga keluarga), zhiguo (memerintah negara), dan pingtianxia (mendamaikan dunia di bahwa langit). Inti kebajikan dalam ajaran Konghucu diharapkan mampu menjadi pedoman PKC menjaga pertumbuhan China.

Penyejajaran sosialisme berkarakteristik China dengan Konfusianisme menjadi pembenaran membangun filosofi publik di tengah lingkaran komunitarian tanpa harus kehilangan nilai fundamental masyarakat Tionghoa yang berbasis kekeluargaan.

Di tengah derasnya globalisasi dan kemajuan teknologi, China sebagai Negara Tengah tidak punya pilihan kecuali melanggengkan bisnis dan perdagangan global yang menekankan kejujuran, penetrasi, dan akuntabilitas yang dipercaya mitra bisnis dan pelanggan. Tanpa ini, keberhasilan dalam 30 tahun tidak memiliki arti.

Ketika sosialisme berkarakteristik China tidak lagi mampu memberi jawaban dan landasan filosofi umum yang kuat, seperti terjadi di Korea Selatan, Singapura, atau Taiwan, kapital pada era globalisasi akan mudah ke luar dari daratan China. Mimpi Tionghoa pun akan kandas bersama hilangnya kepercayaan transaksi bisnis. Filosofi umum ini sekarang bertumpu pada Konfusianisme.***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

Gebrakan yang Tak Kunjung Berhenti

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

GLOBALISASI

Gebrakan yang Tak Kunjung Berhenti

”Tetaplah berkepala dingin dan peliharalah sikap bersahaja. Jangan pernah ada di depan atau meraih posisi terdepan, tetapi berniatlah selalu untuk melakukan sesuatu yang besar”.

Kutipan kalimat mendiang pemimpin China, Deng Xiaoping, ini juga mendasari gaya Presiden Hu Jintao dalam setiap forum internasional, selalu tenang, tak tampil menggebu-gebu.

”Saya suka sekali gaya Presiden China sekarang ini, tenang dan kalem,” kata Iskandar Tanuwidjaya, seorang pemimpin perusahaan asal Indonesia di Shanghai.

Sejak Hu Jintao memimpin China tahun 2002, China telah melompati Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat dalam kategori eksportir terbesar di dunia. Tinggal menunggu waktu bagi China untuk menyalip AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Sentra produksi

Bukan hanya sebagai pemilik perekonomian terbesar di dunia, China sekarang tengah berkembang menjadi sentra produksi utama di dunia. Repelita ke-12 (2011-1015) menyebutkan, China akan mendalami industri strategis yang paling dibutuhkan, termasuk industri hemat energi, generasi baru teknologi informasi, bioteknologi, industri manufaktur berkualitas tinggi, energi baru, material baru, dan tujuh industri baru lainnya.

”Sekarang saja kita sudah harus mencari suku cadang alat-alat mesin ke China,” kata James Pinem, Manajer Peralatan dan Pembelian Bahan Baku Tonasa II, unit dari Semen Gresik, saat bertemu dengan Kompas di Beijing. ”Negara ini visioner dan akan menjadi basis produksi suku cadang dunia dalam waktu dekat,” lanjutnya.

Infrastruktur jalan, pelabuhan, dan lokasi bagi sentra-sentra industri sudah disiapkan. Meski belum terpakai secara maksimal—jalan-jalan bebas hambatan di China tergolong sepi—semua itu dibangun untuk mengantisipasi rencana investor global yang memilih China sebagai basis produksi.

”Investor global nyatanya memang terus berdatangan,” kata Steven Chiu, Kepala Operasional Climate Action di Beijing.

China tak mau sekadar menjadi basis produksi sepatu, baju, dan aksesori. Negara ini menjadikan dirinya sebagai basis produksi berbagai bahan baku penting dalam berbagai sektor industri.

”China memerlukan pertumbuhan berkesinambungan untuk menjamin seluruh rakyatnya terangkat secara sosial ekonomi. Ini penting untuk menjaga warga agar tidak tertinggal dari derap pembangunan dan tidak menjadi gangguan di masa depan secara sosial politik,” kata Stephen Joske dari The Economist Intelligence Unit.

Penduduk China yang memasuki angkatan kerja berjumlah 1 miliar jiwa pada tahun 2010. Sejauh ini, yang terserap baru 780 juta orang. Wajar saja jika Pemerintah China merencanakan langkah besar untuk menyerap tenaga kerja, terutama yang ada di wilayah barat negeri ini. (mon)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

China Bangun Barat Daya

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

PEMBANGUNAN DAERAH

China Bangun Barat Daya

Menelusuri pola pembangunan di China, kita akan melihat pola yang sebenarnya telah dijalankan Indonesia. Sadar akan pembangunan yang timpang akibat kemajuan dahsyat di wilayah timur, Pemerintah China mengembangkan wilayah barat.

Falsafahnya adalah memeratakan kemajuan wilayah, mengurangi tekanan penduduk wilayah barat yang padat dan berdampak negatif pada tingginya harga properti. Falsafah lain adalah memeratakan pendapatan wilayah karena China sadar akan bahaya segregasi wilayah. Meski bukan sekadar masalah ketimpangan pendapatan, masalah Tibet adalah salah satu contohnya.

Pemerintah China bermaksud menjadikan wilayah barat sebagai pusat perekat bagi wilayah sekitarnya. Untuk itu, China pun mengucurkan dana bantuan bagi pembangunan kawasan Asia Tengah. Suatu hal yang dinilai pengamat geopolitik sebagai upaya merebut pengaruh di kawasan itu.

Dengan mengembangkan kegiatan ekonomi lintas negara, teoretis wilayah China Barat juga akan berkembang secara ekonomi. Salah satu wilayah yang dikembangkan adalah wilayah barat daya, atau Provinsi Yunnan, dengan Kunming sebagai ibu kotanya.

”Presiden (Hu Jintao) mencanangkan pengembangan wilayah, termasuk saat berkunjung ke Kunming,” kata Lu Tianyun, mantan Bupati Jinning, yang kini menjabat Direktur Kantor Urusan Asing dan China Perantauan, Pemerintahan Rakyat Kunming.

Skenarionya, Yunnan—yang memiliki sumber daya alam berbasis pertanian yang relatif bebas polusi, pertambangan, dan bahan pembuat pupuk—akan menjadi perekat bagi wilayah sekitar yang berbatasan langsung dengan Myanmar, Vietnam, dan Laos. Lokasi Yunnan juga menguntungkan karena tak jauh dari India dan Thailand walau tak berbatasan langsung.

Kucuran dana pemerintah pusat pun berwujud dalam bentuk jalur transportasi jalan darat hingga ke berbagai perbatasan, termasuk ke sejumlah provinsi lain di China, selain jalan kereta api dan lapangan terbang terbesar keempat di China. Mobilitas penduduk dan arus barang dibuat lancar seiring dengan pembangunan wilayah. Kunming sebagai ibu kota juga segera memiliki jaringan kereta api bawah tanah.

Yunnan, yang memiliki panorama alam unik dengan hutan batu yang indah dan lokasinya di kawasan pegunungan, berhasil menarik pelancong Hongkong, Korea Selatan, Jepang, dan Thailand selain China sendiri.

Sebagai salah satu pusat riset kesehatan di China, provinsi ini juga sukses menarik mahasiswa asing, termasuk dari India. Di Yunnan pernah ditemukan tulang belulang manusia dari era Zaman Batu, menandai wilayah ini sebagai salah satu wilayah yang dihuni manusia di zaman purbakala.

Dengan Indonesia, pemerintahan Yunnan juga ingin mendekatkan diri. Adakah yang bisa kita petik dari rencana itu? (mon)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

Temukan Jalan Sendiri

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

POLA PEMBANGUNAN

Temukan Jalan Sendiri

Melihat kemajuan dahsyat ekonomi China, muncul sebuah pertanyaan. Haruskah Indonesia meniru China?

”Jangan. Tak perlu meniru. Lakukan saja program pembangunan sesuai dengan latar belakang dan keadaan di Indonesia sendiri,” kata Prof Dr Zha Daojiang dari Universitas Peking.

Menurut Zha, ketika memulai reformasi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik China cukup genting sehingga satu-satunya jalan keluar adalah gencar membangun. Maklum, banyak rakyat yang menganggur, sementara bahan makanan yang tersedia sangat terbatas.

Lantas diciptakan program pembangunan dengan istilah growth at all cost, pertumbuhan dengan biaya seberapa pun. Istilah ini kembali disebutkan dalam repelita ke-12 China. Tetapi, fokusnya berubah, dari growth at all cost ke pembangunan lebih berkualitas, lebih seimbang, dan menghasilkan pembangunan yang melanggengkan keharmonisan warga.

Serupa dengan Zha, Jacques Borremans, General Manager SMEBOR International di Beijing, juga berpendapat, ”Tak perlu meniru pola pembangunan China.” Hal yang sama disuarakan Jan van der Ven, eksekutif asal Eropa yang sudah puluhan tahun tinggal di Beijing.

Saran untuk tidak meniru China itu bukan berarti bahwa Indonesia sudah maju dan tak perlu lebih berkembang, melainkan Indonesia harus melihat konteks situasi yang ada di China. Asas ”pertumbuhan dengan biaya seberapa pun” diterapkan karena pada awalnya China tidak memiliki banyak sumber daya dan tidak memiliki jiwa kewirausahaan. Semangat bisnis telah lama terbenam oleh sistem perencanaan terpusat, yang mengharamkan keberadaan para kapitalis di masa lalu.

Karena itu, Pemerintah China pada awalnya mendatangkan pebisnis asing dengan segala fasilitas dan kemudahan. Selain untuk membangkitkan perekonomian, tujuan yang lain adalah menumbuhkan kembali jiwa-jiwa bisnis mereka.

Namun, konsekuensi dari pola pembangunan seperti itu tidak murah. Yang paling jelas adalah tingginya tingkat kesenjangan pendapatan. Buruh dibungkam, upah mereka juga tak memadai. Ini semua dilakukan demi terus merangsang kedatangan investor asing.

Kini, Pemerintah China mulai berubah. Mereka mengingatkan investor asing, ke depan akan ada peningkatan biaya buruh. Maklum, Pemerintah China sudah mulai menekankan aspek pemberian jaminan sosial tenaga kerja.

Selama ”pertumbuhan dengan biaya apa pun” dijalankan, rakyat China memang banyak berkorban. Sejak pembangunan dimulai tahun 1978, tidak sedikit warga yang terpaksa atau dipaksa kehilangan lahan dan rumah- rumah mereka demi pembangunan itu. Sebaliknya, sekarang ketika China telah maju, si pemilik lahan atau rumah yang tergusur harus diberi kompensasi yang menguntungkan.

”Sekarang banyak warga di China yang memilih lahan dan rumahnya digusur karena pasti menguntungkan,” kata Pikri Ilham K, General Manager Garuda Wilayah Shanghai dan Kawasan Timur China.

”Karyawan saya baru saja mendapatkan rumah baru yang jauh lebih bagus dan lebih luas, dan sudah berani mengundang saya datang ke rumahnya. Sebelumnya, mereka malu mengundang saya,” ujarnya.

Tidak sehat

Alasan lain mengapa Indonesia disarankan tidak meniru China adalah ekses negatif yang tak kalah gentingnya. Kualitas udara di China tergolong tidak sehat lagi. Pernah ada berita besar dan mendunia soal produksi makanan di China yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan selain kasus anak-anak yang mendadak sakit karena keracunan, karyawan pabrik yang terpapar bahan-bahan berbahaya dan bekerja di lingkungan kerja tidak sehat, serta kasus bahan makanan dari sektor pertanian yang terkena limbah beracun dari pabrik-pabrik kimia sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

Pemerintah China sadar akan hal ini. Tidak heran jika repelita ke-12 China semakin menekankan produksi yang ramah lingkungan, udara bersih, dan sungai yang bebas dari polusi akibat limbah perusahaan.

Apabila ”meniru China” bukanlah cara yang dianjurkan, lantas apa yang disarankan? Semua kalangan yang dihubungi Kompas mendorong Indonesia untuk memiliki pemerintahan dengan program-program pembangunan yang jelas serta bisa memanfaatkan kekayaan alamnya demi kemakmuran warga sendiri.

Yang tak kalah penting, kata mereka, harus ada perhatian terhadap pembangunan infrastruktur yang sangat ketinggalan. Jangan biarkan

rakyat Indonesia terbiasa berjam-jam tersendat di jalanan yang macet. Kemacetan jalan raya mungkin bisa menjadi indikator kemacetan ekonomi. (MON)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • Wahyudi Ho

Jumat, 18 Februari 2011 | 12:33 WIB

kita selalu bingung mencari jalan untuk maju,padahal rumusan untuk itu sudah ada yaitu UUD 1945,jalankan saja itu,pasti rakyat makmur,jgn seperti sekarang kita seperti tamu di negara sendiri,menjadi kacung di negara sendiri,memanggil TUAN kepada orang asing,wahai para pemimpin berpikir lah untuk maju kedepan jgn hanya beretorika tdk karuan,pikirkan bangsa lima puluh tahun kedepan,jgn hanya memikirkan bagaimana menang kembali 5thn mendatang.

Balas tanggapan

Menjadi Plus Satu dari China

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

PERSAINGAN

Menjadi Plus Satu dari China

Penumpang kereta api supercepat melintasi daerah industri yang padat di luar kota Shanghai, China. Kemajuan ekonomi China ditandai dengan tumbuhnya daerah industri yang tampak hampir di seluruh pelosok China. (KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)***

Ini penuturan seorang eksekutif perusahaan multinasional. Perusahaannya berencana membangun pabrik baru untuk memasok pasar Asia Tenggara. Mendengar rencana itu, Pemerintah Indonesia sangat antusias menjadikan Indonesia sebagai lokasi pabrik.

Adalah satu pejabat meminta eksekutif tersebut membuka wawasan para birokrat tentang pentingnya aspek keunggulan kompetitif dalam menangkap peluang investasi semacam itu. ”Perusahaan multinasional tentu bukan hanya melihat potensi pasar domestik, tetapi juga potensi pasar regional, bahkan internasional. Dalam konteks inilah, aspek keunggulan kompetitif berinvestasi di Indonesia menjadi kata kunci. Sayangnya, tidak semua birokrat memahami hal ini,” papar eksekutif tersebut.

Sebagai contoh, dalam hal insentif fiskal, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN. Singapura dan Malaysia berani memberikan keringanan pajak sampai 100 persen untuk industri pionir, sementara Indonesia maksimal 30 persen.

Indonesia juga kurang kompetitif dari segi kualitas infrastruktur yang menjadi syarat dasar untuk lebih unggul. Menurut USAID (2008), biaya angkut peti kemas di pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok, 130 dollar AS untuk peti kemas ukuran 40 kaki, sementara di Filipina 85 dollar AS, Malaysia 70 dollar AS, dan Thailand 43 dollar AS. Biaya angkutan di darat juga lebih mahal, yaitu 34 sen dollar AS per kilometer, sementara rata-rata Asia adalah 22 sen dollar AS (The Asia Foundation, 2010).

China + 1

Peneliti industri dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Haryo Aswicahyono, mengemukakan, daya pikat China sebagai pilihan utama investasi masih sangat kuat. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menjadi pendamping utama China dalam menarik investasi asing. ”Setiap negara yang berinvestasi di China menerapkan prinsip China plus 1. Mereka selalu punya satu negara alternatif investasi di kawasan tersebut untuk mengurangi risiko. Selama ini Indonesia tidak menjadi plus 1 itu,” papar Haryo.

Ia menilai, kinerja ekonomi Indonesia tidak terlalu buruk. Dari sisi tren investasi asing, terlihat terus meningkat, bahkan ketika negara lain di Asia, seperti Thailand, India, dan Taiwan, menurun.

Mengacu pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi 2010 mencapai Rp 208,5 triliun, terdiri dari investasi PMA Rp 60,5 triliun dan PMDN Rp 148 triliun, meningkat 54,2 persen dari 2009. Realisasi investasi tahun 2010 juga lebih tinggi 30 persen dari target pemerintah yang mematok angka Rp 160,1 triliun. Tahun 2011 pemerintah menargetkan investasi akan naik lagi menjadi Rp 240 triliun.

Menurut Haryo, dua hal utama yang perlu diperbaiki pemerintah dalam waktu dekat adalah pengendalian inflasi dan perbaikan infrastruktur. ”Terkait infrastruktur, pemerintah perlu memerhatikan soal logistik karena ciri khas ekonomi kawasan adalah jaringan produksi global. Supaya bisa lancar, pergerakan barang harus cepat,” katanya.

Meskipun ada beberapa perbaikan dilakukan pemerintah melalui program National Single Window, ia menggarisbawahi, Indonesia tetap perlu membandingkan kondisi Indonesia dengan negara di kawasan.

Deputi BKPM Bidang Pengawasan Investasi Azhar Lubis sepakat pentingnya mempercepat pembangunan infrastruktur, antara lain peningkatan kapasitas pelabuhan, sarana angkutan menuju pelabuhan (termasuk kereta api Cikarang-Tanjung Priok), percepatan pembangunan pembangkit listrik untuk mengamankan pasokan energi bagi industri baru ataupun industri yang berekspansi, dan kepastian gas untuk industri.

Menurut Azhar, rencana tersebut sudah direspons, antara lain dengan mengharuskan BUMN terkait infrastruktur membuat program lebih fokus, sebagaimana rapat para menteri dan 66 perwakilan direksi BUMN di Istana Bogor, 11 Februari 2011. Selain itu, pemerintah juga mempercepat proyek infrastruktur kerja sama pemerintah swasta.

Pengamat ekonomi Faisal Basri dalam diskusi ekonomi Kompas akhir 2010 mengatakan, Indonesia sebenarnya masih cukup dipertimbangkan oleh perusahaan multinasional sebagai target investasi. Dari laporan investasi yang dikeluarkan UNCTAD tahun lalu, Indonesia ada di urutan ke-9 negara yang paling diingat perusahaan multinasional.

Di sisi lain, survei kemudahan melakukan bisnis Bank Dunia tahun 2010 menempatkan Indonesia pada urutan ke-115 dari 183 negara, sementara Thailand posisi ke-16, Malaysia posisi ke-23, dan Vietnam di urutan ke-88.

Faisal mengatakan, persepsi adanya perbaikan daya saing Indonesia lebih disebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi Eropa. Sementara masalah mendasar seperti perbaikan infrastruktur dan penguatan institusi belum banyak perubahan. (DOTy Damayanti)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

Jumat, 18 Februari 2011

Bank Asing Minati UKM

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

Bank Asing Minati UKM

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sofyan Basir (tengah) bersama direksi BRI lainnya berkunjung ke Redaksi Kompas, Jakarta, Kamis (17/2). BRI merupakan penyalur kredit usaha rakyat terbesar di Indonesia (96,16 persen). (KOMPAS/JOHNNY TG)***

JAKARTA, BISNIS REANG ONLINE - Usaha kecil dan menengah menjadi magnet baru bagi kredit perbankan, termasuk bank-bank nasional yang sebagian besar sahamnya dikuasai asing. Kondisi ini membuat kalangan UKM memiliki pilihan kredit. Persaingan kredit antarbank akan semakin ketat.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional Farid Rahman berpendapat, ”kue” kredit UKM sangat besar. Bank dapat bermain di ceruk masing-masing karena selalu ada pasar yang tersedia.

”Karena persaingan lebih ketat, pelayanan perbankan kini harus lebih baik,” ujar Farid di Jakarta, Kamis (17/2).

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Wanita Pengusaha, Wanita Pekerja, Gender, dan Urusan Sosial Nina Tursinah, bank yang dikuasai asing kini mau turun ke lapangan menangkap potensi nasabah kredit UKM yang ada.

Menurut Nina, bank asing yang mengincar UKM mempertimbangkan bisnis dalam jangka panjang. Sementara perbankan nasional dalam mendekati UKM selalu mempersoalkan biaya tinggi. Padahal, semestinya ada mekanisme yang bisa dibangun untuk memperkecil biaya.

Apindo bekerja sama dengan bank umum menjembatani kredit ke UKM binaan Apindo dengan suku bunga 9,5 persen. Menurut Nina, ada usaha binaan Apindo yang membutuhkan modal maksimal Rp 20 juta. Namun, ada yang hingga Rp 500 juta.

51,26 juta UKM

Ada 51,26 juta UKM di Indonesia tahun 2010. Kontribusi UKM terhadap PDB mencapai Rp 2.609 triliun atau hampir seperempat dari total PDB nasional. Peran UKM terhadap ekspor nonmigas Rp 142,8 triliun.

PT Bank DBS Indonesia yang dikuasai DBS Singapura mengakui mengincar kredit UKM. Komisaris Bank DBS Indonesia Bernard Tan menyebutkan, DBS akan memacu pertumbuhan kredit UKM, selaras dengan harapan Bank Indonesia.

Presiden Direktur DBS Indonesia Hendra Gunawan menambahkan, penetrasi bank asing dalam kredit UKM terkendala jaringan. Portofolio total kredit Bank DBS Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp 14,9 triliun.

Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Arwin Rasyid mengatakan, CIMB Niaga akan masuk ke bisnis microbanking. Tahun ini microbanking diharapkan memberi kontribusi 1,5 persen kinerja CIMB Niaga. CIMB dikuasai pihak Malaysia.

Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit bagi UKM mencapai 25,17 persen pada tahun 2010. Pangsa kredit UKM dari total kredit perbankan mencapai 53,32 persen. Tingkat kredit macet atau non-performing loan UKM sebesar 2,65 persen. (mas/idr/eni)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

Investor Waswas akan Efek Domino

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

Investor Waswas akan Efek Domino

JAKARTA, BISNIS REANG ONLINE - Investor dalam negeri dan asing mulai menekankan agar pemerintah mengantisipasi efek domino dari kekerasan oleh kelompok massa. Gejolak sosial harus segera diselesaikan agar tidak mengganggu pemasaran, distribusi, dan produksi.

Ketua Umum Federasi Gabungan Pengusaha Elektronik Indonesia Rahmat Gobel yang dihubungi di Jepang, Kamis (17/2), mengatakan, ”Pemerintah, intelijen, dan polisi harus bekerja keras untuk menciptakan stabilitas keamanan. Rasa aman sangat dibutuhkan investor.”

Penciptaan rasa aman menjadi prioritas mengingat belakangan ini begitu mudahnya terjadi gejolak sosial. Atas kepentingan tertentu, masyarakat mudah terprovokasi untuk melakukan aksi kekerasan, seperti terjadi di Banten, Temanggung, dan Pasuruan.

Rahmat mengatakan, penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya harus segera didorong oleh pemerintah. Jangan hanya bergantung kepada swasta.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan Sistem Fiskal dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengatakan, ”Kondisi ini jelek bagi citra investasi. Apalagi, kalangan pengusaha menduga gejolak sosial itu sudah didesain dengan membenturkan hubungan antarmasyarakat.”

Menurut Hariyadi, penyerangan terhadap kelompok tertentu jelas sekali menyebabkan instabilitas keamanan yang berujung pada perekonomian.

Putri Kuswisnuwardhani, Chief Executive Officer PT Mustika Ratu Tbk, mengatakan, ”Kekerasan menyebabkan sejumlah pemilik toko tutup. Apalagi, kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa diekspos media internasional. Jelas sekali, ini memengaruhi pandangan investor asing. Saya yakin, langkah pemerintah sangat dipantau oleh investor agar asetnya yang telah ditanam di Indonesia bisa selamat.”

”Beruntung konflik-konflik tersebut tidak berada di wilayah destinasi. Coba saja kalau kerusuhan seperti di Cikeusik dan Temanggung terjadi di Bali, pasti imbasnya langsung terasa. Seketika itu akan banyak turis yang membatalkan rencana liburan ke Indonesia,” kata Asnawi Bahar, Wakil Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata.

Secara terpisah, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Cabang Yogyakarta, Deddy Eryono Pranowo mengatakan, kerusuhan di Temanggung sejauh ini belum berdampak signifikan bagi kunjungan wisatawan ke Yogyakarta.

”Pemberitaan media cukup proporsional. Kekerasan tidak ditulis secara berlebihan sehingga tidak menimbulkan ketakutan,” katanya. (OSA/ENY)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • widhi setiono

Jumat, 18 Februari 2011 | 14:56 WIB

Iya..apa apa yang di jogja tetap aman... Ayo pada investasi ke jogja..

Balas tanggapan

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template