Sabtu, 19 Februari 2011

Konfusianisme Bergerak Cepat

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

MIMPI TIONGHOA

Konfusianisme Bergerak Cepat

Konfusianisme Bergerak Cepat.(KOMPAS/JULIAN SIHOMBING)***

Oleh Rene L Pattiradjawane

Ada satu ungkapan China menarik menggambarkan negara raksasa yang menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia memasuki dekade kedua abad ke-21. Ungkapan ini berbunyi, ”Pi zhi bu cun, mao jiang yan fu?” Ketika kulit sudah tidak ada, bagaimana rambut bisa menempel dirinya sendiri?

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi China memang menghilangkan jati diri China sebagai negara sosialis, apa pun namanya. China kini negara kapitalis raksasa yang mengubah nasib dari negara sama rasa sama rata menjadi negara konsumtif yang menelan apa saja secara masif.

Ketika China menjadi kekuatan ekonomi kedua dunia setelah AS, mengalahkan Jepang dan Jerman, masyarakat dunia tercengang. China memiliki produk domestik bruto (PDB) 5,88 triliun dollar AS, lebih besar daripada Jepang dengan PDB 5,47 triliun dollar berdasarkan angka Januari 2011 (The Wall Street Journal, 15/2).

Memerhatikan China selama lebih dari 20 tahun, sekarang terasa ada yang hilang. Kita tidak lagi melihat kehadiran Partai Komunis China (PKC) dengan berbagai slogan, spanduk, papan reklame di seantero negeri. Dari Shanghai, kota terbesar di pesisir timur daratan China, sampai ke Provinsi Shandong, lalu ke pedalaman di kota Changsha, Provinsi Hunan, yang muncul adalah ketionghoaan ketimbang kekomunisan yang menjadi impian pendiri RRC.

Komunisme, atau sering didengungkan sebagai sosialisme berkarakteristik China, kehilangan rohnya dan hanya terasa sebagai kekuatan politik di ibu kota Beijing. Kaki tangan partai di daerah yang sebelumnya merasuk ke berbagai perusahaan milik negara atau menjadi bagian unit kerja berbagai perusahaan patungan tidak lagi memiliki pengaruh dalam jalannya modernisasi China.

Beberapa perubahan

Ketika perekonomian China mencapai tahapan lebih maju daripada ketika dicanangkan Modernisasi Empat (Sige Xiandaihua), terjadi perubahan penting dalam melihat beberapa persoalan modernisasi. Rakyat kebanyakan, terutama buruh pabrik di perusahaan manufaktur seantero China, mulai melihat perubahan yang lebih menuntut tidak hanya upah minimum, tetapi juga kualitas hidup.

Mencari uang, mengikuti diktum Deng Xiaoping ”menjadi kaya adalah mulia”, tidak lagi menjadi prioritas. Banyak buruh pabrik enggan meneruskan pekerjaan mereka di pesisir timur yang menjanjikan kemakmuran. Mereka memilih tinggal di pedalaman di bagian barat, seperti Provinsi Sichuan, Hubei, Shaanxi, dan Hunan, mencari pekerjaan yang tidak harus meninggalkan kampung halaman.

PKC yang sebelumnya menjadi inspirator dan penggerak utama pertumbuhan seperti kehilangan pegangan menghadapi rakyatnya yang semakin kaya dan makmur. Tanpa disadari, pegangan slogan sosialisme berkarakteristik China hilang ditelan kemakmuran. Saat bersamaan, muncul persoalan baru, terutama berkaitan dengan pangan, perumahan, energi, dan pertumbuhan penduduk yang melahirkan homogenisasi.

Homogenisasi budaya masyarakat Tionghoa modern menjadi kunci keberhasilan ketika sosialisme berkarakteristik China gagal memobilisasi berbagai aksi dalam masyarakat China. PKC seratus tahun lalu dengan mudah mengirim kader menginfiltrasi ke desa dan kota, menghasut dan menghimpun rakyat melawan kelompok Nasionalisme di bawah pimpinan Partai Nasionalis China, Kuomintang.

Sekarang, kehadiran jaringan digital kecepatan tinggi menghubungkan kota dan desa melalui komunikasi modern, seperti internet dan telepon seluler, memungkinkan gagasan berseliweran ke berbagai pelosok. Kereta api kecepatan 340 kilometer per jam menjadi bagian penting penghubung desa dan kota, termasuk jalan bebas hambatan yang menghubungkan 31 provinsi di China.

Filosofi umum

Kemajuan dan homogenisasi masyarakat Tionghoa itu menjelaskan kehadiran patung perunggu Konghucu setinggi 9,5 meter di luar Gedung Museum Nasional di Lapangan Tiananmen, Beijing, hal yang belum pernah terjadi dalam 100 tahun gerakan komunisme China. Konghucu mendapat tempat terhormat, ikon mimpi menjadi Tionghoa.

Konfusianisme menjadi pegangan penting dalam mengelola kebajikan individual, landasan penting membentuk peradaban Tionghoa modern.

Salah satu buku Konghucu, Daxue (Pembelajaran Akbar), menekankan kewu (menangani persoalan), zhizhi (mencapai pengetahuan), xiushen (memelihara kebajikan), qijia (menjaga keluarga), zhiguo (memerintah negara), dan pingtianxia (mendamaikan dunia di bahwa langit). Inti kebajikan dalam ajaran Konghucu diharapkan mampu menjadi pedoman PKC menjaga pertumbuhan China.

Penyejajaran sosialisme berkarakteristik China dengan Konfusianisme menjadi pembenaran membangun filosofi publik di tengah lingkaran komunitarian tanpa harus kehilangan nilai fundamental masyarakat Tionghoa yang berbasis kekeluargaan.

Di tengah derasnya globalisasi dan kemajuan teknologi, China sebagai Negara Tengah tidak punya pilihan kecuali melanggengkan bisnis dan perdagangan global yang menekankan kejujuran, penetrasi, dan akuntabilitas yang dipercaya mitra bisnis dan pelanggan. Tanpa ini, keberhasilan dalam 30 tahun tidak memiliki arti.

Ketika sosialisme berkarakteristik China tidak lagi mampu memberi jawaban dan landasan filosofi umum yang kuat, seperti terjadi di Korea Selatan, Singapura, atau Taiwan, kapital pada era globalisasi akan mudah ke luar dari daratan China. Mimpi Tionghoa pun akan kandas bersama hilangnya kepercayaan transaksi bisnis. Filosofi umum ini sekarang bertumpu pada Konfusianisme.***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template