Sabtu, 19 Februari 2011

Temukan Jalan Sendiri

Jumat,

18 Februari 2011

Bisnis Reang Online

POLA PEMBANGUNAN

Temukan Jalan Sendiri

Melihat kemajuan dahsyat ekonomi China, muncul sebuah pertanyaan. Haruskah Indonesia meniru China?

”Jangan. Tak perlu meniru. Lakukan saja program pembangunan sesuai dengan latar belakang dan keadaan di Indonesia sendiri,” kata Prof Dr Zha Daojiang dari Universitas Peking.

Menurut Zha, ketika memulai reformasi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik China cukup genting sehingga satu-satunya jalan keluar adalah gencar membangun. Maklum, banyak rakyat yang menganggur, sementara bahan makanan yang tersedia sangat terbatas.

Lantas diciptakan program pembangunan dengan istilah growth at all cost, pertumbuhan dengan biaya seberapa pun. Istilah ini kembali disebutkan dalam repelita ke-12 China. Tetapi, fokusnya berubah, dari growth at all cost ke pembangunan lebih berkualitas, lebih seimbang, dan menghasilkan pembangunan yang melanggengkan keharmonisan warga.

Serupa dengan Zha, Jacques Borremans, General Manager SMEBOR International di Beijing, juga berpendapat, ”Tak perlu meniru pola pembangunan China.” Hal yang sama disuarakan Jan van der Ven, eksekutif asal Eropa yang sudah puluhan tahun tinggal di Beijing.

Saran untuk tidak meniru China itu bukan berarti bahwa Indonesia sudah maju dan tak perlu lebih berkembang, melainkan Indonesia harus melihat konteks situasi yang ada di China. Asas ”pertumbuhan dengan biaya seberapa pun” diterapkan karena pada awalnya China tidak memiliki banyak sumber daya dan tidak memiliki jiwa kewirausahaan. Semangat bisnis telah lama terbenam oleh sistem perencanaan terpusat, yang mengharamkan keberadaan para kapitalis di masa lalu.

Karena itu, Pemerintah China pada awalnya mendatangkan pebisnis asing dengan segala fasilitas dan kemudahan. Selain untuk membangkitkan perekonomian, tujuan yang lain adalah menumbuhkan kembali jiwa-jiwa bisnis mereka.

Namun, konsekuensi dari pola pembangunan seperti itu tidak murah. Yang paling jelas adalah tingginya tingkat kesenjangan pendapatan. Buruh dibungkam, upah mereka juga tak memadai. Ini semua dilakukan demi terus merangsang kedatangan investor asing.

Kini, Pemerintah China mulai berubah. Mereka mengingatkan investor asing, ke depan akan ada peningkatan biaya buruh. Maklum, Pemerintah China sudah mulai menekankan aspek pemberian jaminan sosial tenaga kerja.

Selama ”pertumbuhan dengan biaya apa pun” dijalankan, rakyat China memang banyak berkorban. Sejak pembangunan dimulai tahun 1978, tidak sedikit warga yang terpaksa atau dipaksa kehilangan lahan dan rumah- rumah mereka demi pembangunan itu. Sebaliknya, sekarang ketika China telah maju, si pemilik lahan atau rumah yang tergusur harus diberi kompensasi yang menguntungkan.

”Sekarang banyak warga di China yang memilih lahan dan rumahnya digusur karena pasti menguntungkan,” kata Pikri Ilham K, General Manager Garuda Wilayah Shanghai dan Kawasan Timur China.

”Karyawan saya baru saja mendapatkan rumah baru yang jauh lebih bagus dan lebih luas, dan sudah berani mengundang saya datang ke rumahnya. Sebelumnya, mereka malu mengundang saya,” ujarnya.

Tidak sehat

Alasan lain mengapa Indonesia disarankan tidak meniru China adalah ekses negatif yang tak kalah gentingnya. Kualitas udara di China tergolong tidak sehat lagi. Pernah ada berita besar dan mendunia soal produksi makanan di China yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan selain kasus anak-anak yang mendadak sakit karena keracunan, karyawan pabrik yang terpapar bahan-bahan berbahaya dan bekerja di lingkungan kerja tidak sehat, serta kasus bahan makanan dari sektor pertanian yang terkena limbah beracun dari pabrik-pabrik kimia sehingga berpotensi menyebabkan kanker.

Pemerintah China sadar akan hal ini. Tidak heran jika repelita ke-12 China semakin menekankan produksi yang ramah lingkungan, udara bersih, dan sungai yang bebas dari polusi akibat limbah perusahaan.

Apabila ”meniru China” bukanlah cara yang dianjurkan, lantas apa yang disarankan? Semua kalangan yang dihubungi Kompas mendorong Indonesia untuk memiliki pemerintahan dengan program-program pembangunan yang jelas serta bisa memanfaatkan kekayaan alamnya demi kemakmuran warga sendiri.

Yang tak kalah penting, kata mereka, harus ada perhatian terhadap pembangunan infrastruktur yang sangat ketinggalan. Jangan biarkan

rakyat Indonesia terbiasa berjam-jam tersendat di jalanan yang macet. Kemacetan jalan raya mungkin bisa menjadi indikator kemacetan ekonomi. (MON)***

Source : Kompas, Jumat, 18 Februari 2011

KOMENTAR

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini.

  • Wahyudi Ho

Jumat, 18 Februari 2011 | 12:33 WIB

kita selalu bingung mencari jalan untuk maju,padahal rumusan untuk itu sudah ada yaitu UUD 1945,jalankan saja itu,pasti rakyat makmur,jgn seperti sekarang kita seperti tamu di negara sendiri,menjadi kacung di negara sendiri,memanggil TUAN kepada orang asing,wahai para pemimpin berpikir lah untuk maju kedepan jgn hanya beretorika tdk karuan,pikirkan bangsa lima puluh tahun kedepan,jgn hanya memikirkan bagaimana menang kembali 5thn mendatang.

Balas tanggapan

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template