Kamis, 27 Mei 2010

Ungkapan Cinta Tanah Air Lewat Rotan

Rusdi (35), salah satu dari sejumlah perajin, merampungkan produksi satuan yang tersisa di bekas gudang salah satu pabrik mebel rotan besar yang bangkrut, Khandidat Rotan, di Plumbon, Cirebon, Jawa Barat, Senin (24/5). (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

NASIONALISME

Ungkapan Cinta Tanah Air Lewat Rotan

Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Nasrullah Nara

Ruang tamu Ny Akib (45), pengusaha rotan setengah jadi di Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, lebih mirip ruang pamer rotan. Mulai dari kursi tamu, meja, hingga pembatas ruang semuanya berbahan utama rotan.

Nyonya Akib memang memilih tidak memakai kayu atau mebel plastik sebagai pengisi ruang tamunya. Baginya, rotan bukan sekadar mebel, melainkan simbol denyut nadi hidup keluarga, buruh pabrik, serta ratusan petani dan pemetik rotan di kampungnya.

”Dengan menggunakan satu saja kursi rotan berarti membuat asap dapur perajin, petani, dan pemetik rotan bisa mengepul,” katanya.

Semangat yang sama juga ditampakkan sebagian masyarakat di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sentra industri mebel rotan. Sejak tiga tahun lalu, Bupati Cirebon Dedi Supardi menganjurkan rumah warganya, pusat bisnis, dan kantor pelayanan publik menggunakan mebel rotan.

Anjuran Dedi bertujuan memasyarakatkan komitmen yang telanjur ditampakkan oleh semua kantor dan hotel berbintang di Cirebon, yang memang sangat lekat dengan furnitur dan interior ruang berbahan rotan. Lobi hotel secara tak langsung jadi ruang pamer mebel rotan tanpa kehilangan nilai estetika dan kenyamanannya.

Meski kecil, langkah yang dilakukan Ny Akib di Luwu Timur dan masyarakat di Cirebon itu bisa menyambung hidup perajin, petani, dan pemetik rotan di Tanah Air. Tidak seperti mebel bahan sintetis dan stainless yang hanya memberi rezeki bagi buruh pabrik, pedagang, dan pengusaha, mebel rotan mampu menggerakkan perekonomian lima kelompok masyarakat sekaligus: petani/pemetik rotan, pemroses, pedagang, perajin, dan pemilik pabrik rotan. Rotan pula yang selama ini menghidupi masyarakat dari hulu hingga hilir di Indonesia, dari pedalaman gunung dan lembah hingga pesisir pantai.

Kisah rotan sarat ironi. Mentereng di pasar global, tetapi kurang populer di negeri sendiri. Dibandingkan dengan bahan mebel lain, rotan memang perlu perlakuan khusus, ketelatenan, dan cita rasa seni. Namun, kelenturan, penyesuaian suhu, estetika, hingga persoalan lingkungan justru mengangkat derajat mebel itu di pasaran internasional.

Pada abad XIX, rotan bahkan jadi tren—selayaknya fashion— furnitur di luar negeri. Dalam arsip situs Radio Nederland Wereldomroep.nl bertajuk ”100 Tahun Koninklijke Instituut voor de Tropen” disebutkan, tren mebel rotan bermula saat pemerintah kolonial Belanda memamerkannya di Koninklijke Instituut voor de Tropen, Kerajaan Belanda, sebagai produk dari Indonesia.

Dalam laporan penelitian (2007) yang dibuat oleh tim dari Departemen Kehutanan dan International Tropical Timber Organization—sebuah organisasi di bawah naungan PBB—disebutkan, dari 600 jenis rotan di dunia, 350 di antaranya ada di Indonesia. Sebanyak 80 persen rotan yang beredar di dunia juga berasal dari Indonesia. Luas areal hutan rotan di Indonesia diperkirakan mencapai 13,3 juta hektar, dari 143 juta hektar total luas hutan Indonesia.

Budi Hoesan (40), pengusaha rotan generasi ketiga di Makassar, meyakini bahwa, selain rempah-rempah, hasil bumi yang merangsang minat bangsa-bangsa Eropa memperebutkan Nusantara ini adalah rotan. Kepopuleran rotan dari Indonesia sempat mencapai puncaknya 5-10 tahun silam.

Ramah lingkungan

Saat ini pun rotan diperkirakan tetap dapat tempat di hati warga dunia. Helmut Merkel, Redaktur Pelaksana MobelMakt dalam artikel ”On The Trail of Rattan” memastikan rotan akan tetap laku di pasaran karena ramah lingkungan. Berbeda dengan kayu, proses pengambilan batang rotan tidak mengorbankan pohon induk sehingga hutan tidak rusak dan tak menimbulkan pemanasan global.

Menebang pohon, bagi petani rotan seperti Mans (46) di Pendolo, Poso, Sulawesi Tengah, justru membuat tempat hidup rotan hilang. ”Rotan hidup melingkari pohon inang. Jadi, semakin tinggi pohon, rotan yang melilitnya akan makin panjang,” kata Mans, yang sudah tiga turunan menjadi pencari rotan.

Kearifan lokal membiasakan petani tidak membabat habis rotan saat memetiknya. Pangkal tumbuhan ini selalu disisakan. Harapannya, kelak, 3-5 tahun ke depan rotan akan tumbuh lagi dan bisa mereka petik kembali.

Sayangnya, pamor rotan Indonesia terus meredup. Di pasar dunia, mebel rotan Indonesia pun kalah bersaing harga dengan China. Sudah saatnya kini rotan dipakai di dalam negeri.

Seperti batik, rotan yang dikenal sebagai kekayaan hayati endemik Indonesia seharusnya tidak hanya terpakai di rumah Ny Akib, yang jauh terpencil di dekat hutan. Seyogianya juga terpajang sebagai furnitur, dekorasi, interior di setiap rumah di negeri ini atau, setidaknya, di setiap kantor pemerintah, hotel, dan bandara yang menjadi gerbang masuk Indonesia.

Menggunakan satu set mebel dan kerajinan rotan dalam satu rumah tangga saja berarti telah mengayun sejuta langkah besar bagi petani, pemetik, perajin rotan, sekaligus mengampanyekan pelestarian lingkungan. Lawan rotan sintetis yang berbahan plastik! (WER/REN/THT)***

Sumber : Kompas, Kamis, 27 Mei 2010 | 03:16 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

susi @ Kamis, 27 Mei 2010 | 06:46 WIB
ungkapan cinta tanah air China...diekspor bahan baku rotan di Indonesia.

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template