Kamis, 27 Mei 2010

Tata Niaga Rotan Bermuatan Politik

KRISIS INDUSTRI ROTAN

Tata Niaga Rotan Bermuatan Politik

MAKASSAR - Kebijakan tata niaga rotan yang berubah empat kali dalam 12 tahun terakhir ditengarai bertali-temali dengan kepentingan politik yang menyandera lembaga riset kementerian terkait. Akibatnya, investor merasakan tidak adanya kepastian usaha karena ketidakpastian hukum.

Pandangan itu diungkapkan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia Julius Hoesan dan Ketua Asosiasi Mebel Kerajinan Rotan Indonesia Hatta Sinatra secara terpisah, Selasa (25/5). Mereka mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang adil, konsisten, dan berumur panjang.

Menurut Julius, kebijakan pemerintah tentang tata niaga rotan sudah berganti sebanyak empat kali sejak tahun 1998. Biasanya bersiklus lima tahunan, mendekati dan pascapemilu.

Pada tahun 1998, menurut Julius, di bawah desakan perdagangan bebas dan reformasi, Presiden BJ Habibie membuka keran ekspor rotan seluas-luasnya, termasuk dalam bentuk asalan atau mentah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 440/MPP/KP/9/1998. Kebijakan ini memperbarui kebijakan sebelumnya, yakni pada tahun 1986, yang melarang ekspor rotan batangan.

Akan tetapi, pada tahun 2004 kebijakan itu direvisi lagi. Pada masa kampanye calon presiden menjelang Pemilu 2004, terbit lagi Surat Keputusan Nomor 355/MPP/Kep/5/2004 tertanggal 27 Mei yang isinya menghentikan seluruh ekspor rotan bulat ke luar negeri. ”Saat itu Megawati sebagai Presiden dan Rini Suwandi sebagai Menteri Perdagangan. Peraturan itu diumumkan di Cirebon, Jawa Barat,” kata Julius.

Kala itu, Cirebon yang merupakan pusat industri rotan menjadi kiblat politik. Data dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon menyebutkan, selama dua kali pemilihan umum, yakni tahun 1999 dan 2004, kedua daerah tersebut merupakan basis PDI Perjuangan dengan perolehan 30,57 persen suara.

Hatta Sinatra juga menilai kebijakan tata niaga yang muncul pada tahun 2005, yakni SK Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2005, berbau politik. Kebijakan itu dibuat saat Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden. Hal itu menguntungkan pengusaha ekspor rotan di wilayah Sulawesi yang merupakan basis Partai Golkar. Saat itu Jusuf Kalla merangkap sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Kini, muncul Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36/2009 yang malah dianggap tak menguntungkan pengusaha bahan baku rotan di Pulau Sulawesi dan pengusaha mebel di Pulau Jawa. Menurut Hatta dan Julius, dua kementerian yang berkaitan, yakni Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, pun tidak pernah seiring sejalan.

Terkait dengan hal itu, Boedi Hoesan (40), pemasok rotan dari Makassar ke Cirebon, berharap lembaga riset pada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian bekerja serius dan memberi masukan obyektif kepada menteri sehingga kebijakan menteri tidak ”tersandera” kepentingan politik.

Peraturan rumit

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, kemarin, di Jakarta memberikan penjelasan tentang Permendag No 36/2009 yang rumit tersebut. Dalam penjelasan tertulisnya, ia mengatakan, Permendag No 36/2009 adalah untuk mengatur larangan ekspor rotan dalam bentuk asalan, baik taman/sega dan irit (TSI) maupun nontaman/sega dan irit (NTSI). Rotan hanya boleh diekspor oleh eksportir terdaftar rotan (ETR), dengan jenis rotan TSI yang telah melalui proses pencucian dan belerang (W/S) dan sistemnya kuota.

Ekspor jenis rotan NTSI dapat dilaksanakan setelah ETR melaksanakan wajib pasok terhadap kebutuhan bahan baku dalam negeri. Adapun rotan yang tak dapat digunakan di dalam negeri bisa diekspor setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan.

Sementara ETR, demikian Mari, hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan. Terhadap ekspor rotan, pemberitahuan ekspor barang disampaikan kepada Kantor Pabean di daerah penghasil rotan.

Mari menjelaskan, keluarnya Permendag No 36/2009 telah melalui pembahasan panjang. Berdasarkan pembahasan itu disepakati perubahan Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/6/2005 jadi Permendag Nomor 36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan.

”Dalam Permendag No 36/ 2009, pelaksanaan ekspor rotan lebih diperketat, bahkan ETR wajib memasok rotan bagi industri dalam negeri. Kebijakan ini dimaksudkan untuk keseimbangan antara kepentingan petani rotan dan industri barang jadi rotan di dalam negeri,” papar Mari. (MON/PPG/OSA/WER/REN/THT/NIT/NAR)***

Sumber : Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 03:01 WIB

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template