Kamis, 27 Mei 2010

Rotan Terkendala Infrastruktur

Kafiin (39) memindahkan sejumlah mebel rotan yang menumpuk di gudang milik pabrik rotan Latansa, Plumbon, Cirebon, Jawa Barat, yang dibatalkan pembeliannya oleh sebuah distributor rotan di Eropa, Senin (24/5). Akibat pembatalan tersebut, rotan ini menumpuk sejak tahun 2008, ditambah lagi dengan adanya persaingan harga rotan yang lebih murah di beberapa negara, seperti China dan Vietnam. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

Rotan Terkendala Infrastruktur

Menteri Perindustrian Berjanji Mencari Solusi

MAKASSAR - Gagasan membangun industri mebel rotan di daerah-daerah penghasil bahan baku rotan, seperti Sulawesi dan Kalimantan, patut diapresiasi. Namun, usaha itu terkendala minimnya tenaga terampil dan infrastruktur sehingga biaya produksi dan pemasaran meroket.

Demikian tanggapan sejumlah pengusaha rotan dan mebel rotan secara terpisah dari sejumlah daerah, Senin (24/5), terkait mati surinya hasil rotan dan industri rotan di Tanah Air. Mereka yang memberikan tanggapan adalah Sabar Nagarimba Liem (Direktur PT Gimex), Julius Hoesan (Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia/APRI), dan Hatta Sinatra (Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia/AMKRI).

Pernyataan mereka diperkuat komentar Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Kepala Bidang Industri dan Usaha Mikro Kecil Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Selatan Hasan Tolaohu, serta Kepala Bidang Produksi dan Peredaran Hasil Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Burhan Lakuy.

Janji menteri

Menteri Perindustrian MS Hidayat, Senin di Jakarta, mengakui, masalah kebijakan industri rotan sudah menjadi jeritan yang berkepanjangan. Pemerintah berjanji akan lebih serius menangani masalah ini.

”Saya mau undang Menteri Perdagangan untuk duduk bersama mencari solusi terbaik supaya pemerintah daerah yang dituntut memperoleh pendapatan daerah juga dapat merasakan hasil jerih payah petaninya,” tutur Hidayat.

Adapun Ketua Umum Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia Ambar Polah Tjahyono menambahkan, pemerintah harus memberi perhatian pada sektor hulu dan hilir industri rotan. Tidak cukup hanya menerbitkan keputusan Menteri Perdagangan tentang ekspor rotan.

Menurut Ambar, pesaing Indonesia sudah mengampanyekan plastik dengan motif mirip rotan sehingga menggilas produk rotan Indonesia. Industri rotan tergeser rotan plastik.

Menurut Ambar ”rotan plastik” telah memicu jatuhnya ekspor produk rotan dari 325 juta dollar Amerika Serikat (2005) menjadi hanya 100 juta dollar AS (2009).

”Minimnya penyerapan rotan mengindikasikan riset dan pengembangan industri rotan lemah. Untuk itu, dukungan pemerintah dalam mengampanyekan produk rotan juga sangat dibutuhkan, terutama dalam pemasaran,” papar Ambar.

Sabar Nagarimba Liem mengingatkan, gagasan membangun industri mebel rotan di Sulawesi dilontarkan Departemen Perindustrian tahun 2008 saat kementerian itu dipimpin oleh Fahmi Idris. Tujuannya, memberdayakan masyarakat di daerah penghasil bahan baku serta menambah nilai produk rotan di pasaran ekspor.

Namun, gagasan itu tak didukung penyediaan tenaga terampil di bidang kerajinan rotan. Akibatnya, investor harus mendidik sendiri atau mendatangkan perajin rotan dari Jawa dengan ongkos tinggi.

Pertimbangan itu mendorong pengusaha mebel rotan memilih mendirikan pabrik di Jawa, terutama di Cirebon, Jawa Barat.

Listrik dan infrastruktur

Persoalan mendasar lain adalah tidak memadainya suplai listrik dan infrastruktur. Di Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, misalnya, investor enggan masuk karena tidak ada jaminan pasokan listrik.

Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengatakan, suplai listrik untuk rumah tangga saja belum mencukupi, apalagi untuk industri. Karena itu, pihaknya terus mendesak agar pembangunan infrastruktur dan pasokan listrik dipercepat untuk mendukung industri di daerahnya. ”Konsumsi listrik hanya 45 persen dari kebutuhan rumah tangga, sedangkan untuk industri belum tersedia. Untuk kebutuhan sekarang masih kurang 52 megawatt,” kata Nur Alam sambil menegaskan, jika pemerintah serius ingin membangun industri mebel rotan di Sulawesi, seharusnya infrastruktur, sumber daya manusia, dan bahan pendukung dibangun dan diperbaiki.

Hatta Sinatra melihat, andai kata industri rotan bisa dibangun di Makassar atau Palu, tetap saja akan berbiaya tinggi sebab, dari sisi pengiriman barang, biaya pengapalan mebel dari Palu lebih mahal 750-1.000 dollar AS per kontainer dibandingkan dengan dari Jakarta. Sebab, pelabuhan di Palu tak laik disinggahi kapal kontainer tujuan luar negeri.

Meski sumber tanaman rotan ada di Sulawesi, rotan hanya mengisi 20 persen kebutuhan mebel. Komponen lain, seperti besi, sekrup, ampelas, dan cat, total nilainya mencapai 80 persen dari keseluruhan biaya.

Berdasarkan pantauan Kompas, di Sulawesi Tenggara—salah satu sentra penghasil bahan baku rotan—tidak ditemukan industri mebel rotan untuk kelas ekspor. Yang ada adalah industri setengah jadi dan itu pun kini gulung tikar.

Menurut data APRI Kabupaten Konawe, dari 33 usaha penggorengan (proses perebusan dengan minyak tanah), saat ini hanya tersisa enam.

Industri mebel rotan ekspor juga tak berkembang di Sulawesi Barat. Di Desa Keppe, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, produk kerajinan rotan hanya sebatas tikar. Menurut Nahar, Sekretaris Desa Keppe, industri mebel rotan pun hanya mengandalkan pasar lokal. Itu pun menunggu pesanan.

Situasi serupa terjadi di Sulsel akibat minimnya tenaga kerja terampil. ”Tak ada yang mau mengajari warga dan memang mereka lebih senang berkebun atau mencari rotan di hutan,” kata Hamsring (40), pengepul rotan di Luwu Timur.

Kondisi serupa terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Industri rotan hanya merambah pasar lokal, sebagaimana penjelasan Pelaksana Tugas Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel Gusti Yasin Iqbal. Permintaan dari luar negeri relatif kecil sebab umumnya berupa peralatan tradisional lampit atau tikar.

Di Papua, jenis rotannya mengandung kadar air tinggi sehingga kurang laku. ”Hutan pantai Sorong dan Kaimana sumbernya,” kata Kepala Bidang Produksi dan Peredaran Hasil Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Burhan Lakuy. (THT/REN/OSA/GRE/WER/NIT/NAR)

Sumber : Kompas, Selasa, 25 Mei 2010 | 03:00 WIB

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template