Selasa, 06 Juli 2010

Arah Ekonomi Merisaukan

Forum Sarasehan Ekonom Senior-Ekonom Muda Indonesia yang diselenggarakan harian umum Kompas di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin (5/7). Hadir pada acara tersebut Dr Firmanzah, Dr Prasetyantoko, Ir Hartarto Sastrosoenarto, Dr Tony A Prasetyantono, Sofjan Wanandi, Prof Dr Adrianus Mooy, Drs Rahmat Saleh, Prof Dr Ali Wardhana, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Prof Dr Soebroto, Prof Dr BS Muljana, Prof Dr JB Sumarlin, Prof Dr Suhadi Mangkusuwondo, dan Dr Djunaedi Hadisumarto. (KOMPAS/LASTI KURNIA)***

Arah Ekonomi Merisaukan

Perlu Pengawasan dalam Pelaksanaan Kebijakan

JAKARTA - Kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Program yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antarkementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat roh pembangunan untuk rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun melebar.

Demikian benang merah Forum Sarasehan Ekonom Senior- Ekonom Muda Indonesia yang berlangsung di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin (5/7). Sarasehan ini dipandu Prof Dr Soebroto setelah dibuka oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama.

Ekonom senior yang hadir adalah Adrianus Mooy, Ali Wardhana, BS Muljana, Djunaedi Hadisumarto, Hartarto Sastrosoenarto, JB Sumarlin, Rahmat Saleh, Suhadi Mangkusuwondo, dan ekonom muda Firmanzah (Universitas Indonesia), Prasetyantoko (Universitas Atma Jaya), dan Tony A Prasetyantono (Universitas Gadjah Mada), serta Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.

Pemerintahan masih harus menuntaskan pekerjaan rumah mereka dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dunia usaha masih menghadapi ekonomi biaya tinggi, infrastruktur yang belum memadai, keterbatasan pasokan energi, ekonomi biaya tinggi, dan kebijakan pusat-daerah yang tidak sejalan.

Beberapa hal ini sebenarnya bisa diatasi apabila segera diambil keputusan secara cepat dengan landasan yang tepat. Pelaksanaan program yang tidak solid dan penyelesaian persoalan yang berlarut-larut justru semakin memperbesar masalah.

Terungkap dalam sarasehan bahwa berbagai kebijakan yang tidak solid seperti konversi minyak tanah ke gas dengan sosialisasi buruk mulai menelan korban jiwa. Demikian juga kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai akibat pengurangan subsidi bahan bakar minyak tahun 2005, tetapi pemerintah malah menambah bantuan sosial bagi masyarakat.

Kehilangan panduan

Ditekankan juga, kebijakan ekonomi yang disusun dari penjabaran janji kampanye membuat Indonesia kehilangan panduan ekonomi jangka panjang. Program-program yang disusun berorientasi jangka pendek dengan hasil instan.

Seorang panelis mengungkapkan, pertumbuhan 4,5 persen saat krisis global tahun 2009 seharusnya menjadi momentum Indonesia mencapai pertumbuhan 8 persen tahun 2010. Namun, pemerintah hanya berani menargetkan 6 persen. Malaysia yang perekonomian terpuruk hingga minus kini malah tumbuh 4 persen.

Para panelis menyadari, situasi perekonomian sekarang sudah berubah dari masa Orde Baru. Padahal, soliditas kebijakan berpadu dengan keputusan yang tegas dan cepat bisa membuat anggota kabinet kompak menjalankan program pemerintah.

Menurut salah satu panelis, kondisi yang ada menunjukkan Indonesia tidak punya masalah perekonomian jangka pendek. Nilai tukar rupiah relatif stabil, cadangan devisa meningkat, dan ekspor-impor masih berimbang.

Akan tetapi, semua pertumbuhan ekonomi relatif berjalan tanpa fokus yang jelas. Perekonomian nasional kini lebih banyak bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam seperti pertambangan dan perkebunan, tanpa pengembangan industri nilai tambah.

Dampaknya, Indonesia mengekspor bahan baku ke negara lain yang terus mengembangkan industri mereka. Apabila hal ini terus terjadi, Indonesia akan memiliki perekonomian terjajah dalam 10 tahun mendatang karena hanya bergantung pada impor.

Amerika Serikat dan China punya cadangan energi dalam jumlah besar, tetapi melarang ekspor. Sementara Indonesia yang berada di urutan ke-16 dunia malah mengekspor sebagian besar energinya.

Keterbatasan energi membuat investor lama kesulitan mengembangkan kapasitas produksi. Investor baru pun berpikir ulang mewujudkan rencana investasi mereka.

Kondisi ini membuat pro poor, pro job, dan pro growth tinggal menjadi slogan dan upaya penciptaan lapangan kerja formal baru pun semakin sulit terlaksana.

Panelis lain menambahkan, anggaran (APBN) pemerintah telah tumbuh dari Rp 400 triliun menjadi Rp 1.200 triliun dalam 6 tahun. Namun, selama periode tersebut lapangan kerja formal justru menciut sehingga jutaan angkatan kerja lama dan baru harus masuk ke lapangan kerja informal.

Dari 113,83 juta angkatan kerja per Agustus 2009, hanya 29,11 juta orang yang bekerja di sektor formal. Karena itu, pemerintah dan perbankan harus segera memerhatikan sektor usaha kecil dan menengah.

Pengawasan

Kebijakan pemerintah saat ini tidak ada yang salah. Namun, masalahnya adalah pelaksanaan dari kebijakan itu.

Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang sukses meningkatkan produktivitas pertanian pangan masa Orde Baru bisa berjalan berkat pengawasan ketat. Seusai mengumumkan program Bimas, Menteri Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro setiap hari menelepon para menteri dan pejabat terkait untuk memastikan program terlaksana dengan baik.

Pemerintah pusat, walau telah membentuk koalisi, kini masih kewalahan mengawasi program di daerah. Anggota legislatif pun berperan melebihi eksekutif.

Anggota DPR tak lagi sebatas membahas program kerja pemerintah, tetapi turut terlibat membahas formulir A3 yang sudah sangat teknis rinci.

Situasi telah berbeda berkat demokrasi dan otonomi daerah. Namun, harus ada pemisahan jelas antara eksekutif dan legislatif agar tidak rancu dalam menjalankan fungsi masing-masing.

(HAM)***

Sumber : Kompas, Selasa, 6 Juli 2010 | 03:24 WIB

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template