Senin, 20 September 2010

Rakyat Indonesia Masih Miskin

Rakyat Indonesia Masih Miskin

JAKARTA - Meski target pengurangan kemiskinan ekstrem dan kelaparan sebagai salah satu sasaran Tujuan Pembangunan Milenium tercapai, pada kenyataannya rakyat Indonesia masih miskin. Pendapatan 1 dollar AS (kurang dari Rp 9.000) per hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Utusan khusus Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), Nila Djuwita Moeloek, mengemukakan hal tersebut seusai acara Parliamentary Stand Up For MDGs di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Jumat (17/9) pekan lalu.

Tanggal 20-22 September 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi untuk mengecek kemajuan MDGs. Sekitar 150 kepala negara akan hadir. Delegasi Indonesia dipimpin Kepala Bappenas Armida Alisjahbana. Semua negara harus melaporkan tingkat pencapaian sasaran-sasaran MDGs.

Nila selanjutnya mengatakan, untuk pengurangan angka kemiskinan, Indonesia masih tetap pada jalurnya. Namun, dengan ukuran kemiskinan, yakni pendapatan di bawah 1 dollar AS per hari per orang tentu dipertanyakan kualitas hidup yang dijalani masyarakat dengan pendapatan tepat di ambang batas itu, ataupun sedikit di atasnya yang menurut ukuran itu tidak tergolong miskin.

Proyek global MDGs terdiri atas 8 sasaran yang mencakup pengurangan kemiskinan ekstrem dan kelaparan, peningkatan angka partisipasi pendidikan primer, meningkatkan kesehatan ibu, mengurangi kematian anak, penyebaran HIV/AIDS, kesetaraan jender, memastikan lingkungan yang berkelanjutan, dan meningkatkan kemitraan global.

Saat ini Indonesia memilih menetapkan ambang batas kemiskinan pada pendapatan 1 dollar AS per hari per orang. Angka yang dicapai Indonesia menunjukkan perbaikan.

Tahun 1990, sekitar 20,6 persen penduduk pendapatannya di atas 1 dollar AS per hari. Tahun 2010, dari hasil sensus penduduk, menurut analis Kampanye dan Advokasi MDGs PBB di Indonesia, Wilson TP Siahaan, angka itu menjadi sekitar 13,33 persen jumlah penduduk, atau ada 31,02 juta penduduk miskin, dari data BPS per Maret 2010.

Menurut Nila, target-target yang dianggap telah on track sekalipun masih harus dilihat secara lebih detail. Di bidang pendidikan, misalnya, angka partisipasi murni (APM) untuk pendidikan dasar telah naik menjadi 95,14 persen pada tahun 2008 dibandingkan angka partisipasi murni tahun 1993 yang mencapai 91,23 persen.

Tak jauh beda dari pandangan Nila, Wilson melihat pencapaian MDGs Indonesia bagaikan potret bercampur. Di satu sisi, beberapa sasaran, seperti pengurangan kemiskinan, telah on track. Namun, kinerja dalam pengentasan rakyat miskin tetap jadi masalah. Selama periode 1990-2010, kemiskinan hanya turun 1 persen.

Berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 persen (27,2 juta orang miskin) dan pada tahun 2009 kemiskinan 14,15 persen (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 ada sekitar 31,7 juta orang miskin.

”Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 persen. Hanya saja, penurunan tidak cukup kencang dalam waktu 11 tahun,” ujarnya.

Masalah keadilan

MDGs yang dikemas dengan bungkus globalisasi, menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, sebagai proyek internasional dan komitmen bersama guna mengurangi kemiskinan, MDGs seakan terlepas dari masalah ketidakadilan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Palupi mengungkapkan, hal paling mendasar untuk melihat MDGs ialah dengan perspektif hak asasi manusia. Menurut dia, kapabilitas orang miskin harus ditingkatkan melalui pendidikan, peningkatan kesehatan, dan penyediaan kesempatan bekerja. Dengan demikian akan muncul kemandirian menghidupi diri sendiri dan keluarganya.

Ia mencontohkan, sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati 40 persen penduduk (golongan menengah) dan 20 persen (golongan terkaya). Sisanya yang 40 persen (penduduk termiskin) semakin tersingkir. Porsi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin menurun dari 20,92 persen pada tahun 2000 menjadi 19,2 persen tahun 2006.

Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah dan target MDGs yang bertentangan. Di satu sisi, sasaran MDGs ialah menjamin kelestarian lingkungan dan pengentasan rakyat miskin. Namun, pemerintah justru melakukan perusakan sistematis terhadap lingkungan.

Pemerataan

Persoalan MDGs tidak bisa dipandang sebatas angka secara nasional, tetapi harus dilihat bagaimana pemerataan pencapaiannya di seluruh bagian Indonesia. Hal itu dikemukakan Divisi Monitoring Kebijakan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.

Ade berpendapat, di Indonesia bagian timur yang lebih tertinggal dibandingkan dengan bagian Indonesia lain, masalahnya akan sangat kompleks ditambah dengan kondisi geografis yang menjadi tantangan tersendiri.

Perlu pemetaan daerah yang kaya dan minus sehingga kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sasaran.

”Selain itu, bias kebijakan juga harus dihindari. Permasalahan sebenarnya ada di daerah, tetapi penyelesaiannya menggunakan asumsi kota,” ujarnya. Menurut dia, penyelesaian masalah tidak bisa instan dan top down. ”Warga perlu terlibat dalam pembuatan kebijakan sehingga kebijakan dapat menjawab masalah-masalah mereka,” kata Ade.

Secara umum, menurut Wilson, Indonesia jelas lebih baik daripada negara-negara di Afrika dan India karena populasinya lebih sedikit. Di samping itu, Indonesia mempunyai potensi besar dalam hal pendanaan, institusi, dan sumber daya manusia. Persoalannya ialah memastikan di tingkat bawah akan efektivitas program dan kekonkretannya. Menurut Wilson, MDGs merupakan alat untuk melihat akuntabilitas pemimpin kepada masyarakat dalam perbaikan kesejahteraan.

Sementara Nila menegaskan, arah pemerintah selama ini sudah benar karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki semangat pro-poor, pro-growth, pro-job. Rencana pemerintah untuk mencapai semua sasaran MDGs tergambar pula dalam rencana pembangunan berjangka yang telah disusun. (INE/ELN/WHY)***

Source : Kompas, Senin, 20 September 2010 | 04:08 WIB

Ada 19 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • Bambang Budhianto

Senin, 20 September 2010 | 14:55 WIB

Tanpa memperdebatkan ukuran kemiskinan US$1/hari, maka bila memakai ukuran tsb sebenarnya secara statistik Indonesia sudah mempunyai kemajuan. Tahun 1990, dengan jumlah penduduk 179,4 jt jumlah orang miskin 27,2 jt (15,1%). Tahun 2009, jumlah penduduk 231 jt, jumlah org miskin tercatat 32,5 jt (14,15%). Artinya, selama 19 tahun, dengan penambahan penduduk sebesar 51,6 jt, hanya ada tambahan orang miskin 5,3 jt atau hanya 10,27%. Bukan kah ini menunjukkan ada upaya yang dilakukan untuk dapat mengurangi laju tingkat kemiskinan. Bisa kah membayangkan bila pemerintah tidak bekerja, berapa tingkat kemiskinan yang ada? Mari kita bersama-sama bekerja lebih keras untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia.

Balas tanggapan

  • purwanto prawiro

Senin, 20 September 2010 | 13:29 WIB

iya ya, knp org miskin diukur dari pendapatan 1 dolar AS/hr. kalo semua org miskin di ngr kt pendapatanya sdh 1 dolar/hr berarti ga ada org miskin lg ya, pdhl skrg bnyak ber pendapatan lebih dr 1 dolar/hr tp hdpnya tetap susah, gmn tuh

Balas tanggapan

  • bachtiar moerad

Senin, 20 September 2010 | 13:06 WIB

Permudah investasi, hukum gantung birokrat di pusat dan daerah yang kerjanya hanya menjadi pengemis berdasi, menghambat investasi. Perilaku menghambat investasi sama besar dosanya dengan yang korupsi ! sama, tidak salah lagi!

Balas tanggapan

  • bachtiar moerad

Senin, 20 September 2010 | 13:04 WIB

Kesalahan prinsipil dalam pengelolaan APBN kita.adalah bhw kementerian2 produksi (a/l perindustrian dan pertanian) berlomba-lomba menyedot APBN. Hal tersebut akan mubazir . . . karena pertumbuhan hanya mungkin didongkrak oleh investasi, sekali lagi investasi! APBN ber-trilyun2 utk kementerian2 hanya pemborosan saja, habis utk proyek2 yang semu dan lagi-2 untuk belanja pegawai. Sebagai pembayar pajak saya sungguh sangat keberatan dengan sistim pembangunan ala proyek2 ber-triyun2 dari kementerian2 !

Balas tanggapan

  • Thanon Dewangga

Senin, 20 September 2010 | 12:06 WIB

pemerintah rasanya sudah bekerja keras untuk memberantas kemiskinan. perlu waktu untuk itu karena kemiskinan yang kita alami sekarang warisan dari pemerintahan yang lalu. program2 pemerintah sekarang sudah pro poor, kita perlu dukung bersama-sama

Balas tanggapan

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template