Senin, 18 Januari 2010

BSS: Bumi Sejuta Sapi atau Bagai Slogan Saja?

PETERNAKAN SAPI

Seorang pekerja mengantarkan hijauan untuk sapi yang ditambat di kebun pakan milik majikannya. Masalah pakan menjadi salah satu kendala dalam pengembangan budidaya ternak sapi di Nusa Tenggara Barat. (Foto:Kompas/Frans Sarong)***

PETERNAKAN

BSS: Bumi Sejuta Sapi atau Bagai Slogan Saja?

Oleh KHAERUL ANWAR

Provinsi Nusa Tenggara Barat mencanangkan program Bumi Sejuta Sapi’ atau BSS. Populasi ternak ruminansia itu sejumlah sejuta ekor dicapai dalam periode 2008-2013, yqng merupakan masa kepemimpinan HM Zainul Majdi dan Badrul Munir selaku Gubernur NTB dan Wakil Gubernur NTB.

Program BSS punya alasan yang kuat di antaranya dari aspek budaya menyusul Lombok dan Sumbawa pernah menjadi gudang ternak sapi bali, malah tahun 1831 sapi asal Lombok diekspor ke Singapura, kata Gubernur Majdi.

Untuk mencapai sasaran itu, ada lima isu strategis berupa peningkatan populasi ternak, dengan indikator tercapainya panen pedet (anak sapi) 93.450 ekor tahun 2009, kemudian swasembada daging tahun 2010, yang indikatornya substitusi impor 20.000 ekor dari 350.000, serta peningkatan konsumsi daging.

Tahun 2011 peningkatan standar mutu daging, tahun 2012 peningkatan pendapatan petani dan nilai investasi mencapai Rp 3,1 triliun, dengan indikator peningkatan transaksi jual beli, sehingga tahun 2013 akan terwujud populasi sejuta ekor yang ditunjukkan oleh angka kelahiran 70 persen.

Untuk merealisasikan isu pertama, Pemprov NTB memberikan paket bantuan 113 ekor sapi pejantan senilai Rp 847.500.000 kepada sembilan kelompok tani di Pulau Lombok dan Sumbawa. Dari dana itu, setiap kelompok tani mendapatkan Rp 15 juta-Rp 120 juta yang digunakan membeli 6-16 ekor sapi.

Target sejuta sapi itu, kata Abdul Samad, Kepala Dinas Peternakan NTB, diikuti bantuan induk sapi dengan sistem bergulir, yaitu bantuan betina produktif diberikan kepada petani peternak yang tergabung dalam kelompok peternak. Jika melahirkan, anak sapi itu jadi milik petani.

Setelah tujuh-delapan bulan, pemeliharaan induk sapi itu berpindah tangan ke sesama anggota kelompok. Proses perguliran berjalan lima-enam kali, kemudian induk sapi itu dijual yang hasilnya digunakan modal membeli sapi lain.

Target sejuta ekor sapi itu diikuti dengan menekan tingkat kematian anak sapi secara bertahap dari 20 persen tahun 2008 menjadi 10 persen tahun 2009. Sedangkan jumlah kelahiran dinaikkan menjadi 70-80 persen pada periode lima tahun, yang tahun 2008 tingkat kelahirannya 62 persen. Diharapkan, seekor betina melahirkan satu ekor dalam setahun, semula hanya dua ekor dalam tiga tahun.

Pengeluaran sapi bibit pun dibatasi, yang semula rata-rata 13.000 ekor, dikurangi jadi 8.500 ekor setahun, dan sisanya 4.900 ekor sebagai stok induk dan pejantan di daerah. Populasi sapi bali di NTB tahun 2008 mencapai 546.114 ekor yang antara lain dikirim ke sejumlah daerah di Pulau Kalimantan dan Sulawesi.

Program ini direspons Bank BRI Cabang Praya, Lombok Tengah. Kata kepala cabangnya, Irwandi Yusuf, mengucurkan skema Kredit Ketahanan Pangan (KKP) untuk penggemukan sapi sebesar Rp 20,6 miliar dari plafon Rp 24,8 miliar yang tersedia bagi 114 kelompok peternak. Kredit ini suku bunganya 15,25 persen per tahun. Namun, hanya 8,25 persen yang dibebankan kepada peternak karena pemerintah pusat menyubsidi bunga kredit tersebut sebesar tujuh persen.

BRI Cabang Selong, Lombok Timur, mengucurkan KKP sebesar Rp 2,9 miliar. Kemudian Bank NTB mengalokasikan kredit untuk itu sejumlah Rp 40 miliar, meski Mei 2009 belum ada yang disalurkan kepada peternak.

Irwandi, kredit yang disalurkan Bank BPD Cabang Praya bermasalah alias macet pengembaliannya sebesar 17 persen, melampaui batas maksimal lima persen. Tidak dirinci penyebab kredit macet, tetapi dikatakan masalahnya pada peternak.

Dahlanuddin, pakar nutrisi ruminansia, dan dosen pada Fakultas Peternakan Universitas Mataram serta Koordinator Program Australian Center for International Agricultura Research (ACIAR), berpendapat, modal membeli sapi hanyalah satu persoalan dari banyak hal mendasar yang belum tersentuh saat ini.

Sistem budidaya ternak masyarakat di NTB, misalnya, umumnya masih sangat sederhana. Di Kabupaten Sumbawa dikenal sistem Lar dan Kabupaten Bima dan Dompu disebut So, yaitu sapi dibiarkan cari makan sendiri di ladang penggembalaan tanpa ada kontrol terhadap kesehatan ternak itu.

Di Lombok, sistem pemeliharaannya agak berbeda: sapi dikandangkan, meski kandang dibiarkan kotor, pemiliknya mencarikan rumput untuk makanan ternaknya karena ”hanya 37 persen peternak dari total peternak tidak memiliki lahan untuk budidaya pakan. Akibatnya, peternak menyabit rumput di pinggir jalan,” ujar Hermansyah Fany, dosen Fakultas Peternakan Unram.

Indikasinya pada musim kemarau ini, para peternak dari Lombok Tengah bahkan Lombok Timur berbondong-bondong memburu mengarit rumput ke Lombok Barat bahkan Kota Mataram, dengan menumpang truk.

Di wilayah Kabupaten Sumbawa, Lar kini tinggal 59 titik mengingat Lar lain di setiap desa diklaim sekelompok orang sebagai hak milik, bahkan terpangkas untuk pembangunan jalan, perumahan, dan fasilitas umum. Tanpa ketersediaan pakan yang cukup sebagai bahan nutrisi, mustahil tumbuh kembang sapi berjalan dengan baik.

Dahlanuddin juga meragukan implementasi program BSS ini di lapangan karena melihat masih kurangnya pendampingan kepada peternak oleh petugas penyuluh lapangan (PPL). Lewat PPL-lah petani mendapat motivasi, berkonsultasi, dan mengadukan persoalan setiap saat. Celakanya, tidak sedikit PPL yang jarang mendampingi peternak di lapangan karena mungkin dengan bekerja ”seadanya” mereka sudah mendapatkan gaji bulanan.

Jujur atau tidak, program BSS ini diadopsi dari program ACIAR yang mulai menampakkan hasilnya dua tahun terakhir ini, setelah didahului penelitian sejak tahun 2000 dilanjutkan dengan menyusun program yang terencana dan terarah, diperkuat dengan sumber daya manusia yang mau bekerja optimal.

Artinya, semua pihak terkait, khususnya instansi teknis, tidak sekadar berwacana mengatakan BSS sebagai proyek mercu suar, melainkan harus bekerja keras, ibarat peribahasa ”sedikit bicara banyak kerja”, jangan dibalik, malah nantinya BSS diterjemahkan seperti judul di atas.

Source : Kompas, Senin, 18 Januari 2010 | 02:28 WIB


0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template