Senin, 18 Januari 2010

Program Sapi Harus Masuk "Posyandu"

PEMBUDIDAYAAN SAPI

Biar Produktif, Sapi Harus Masuk "Posyandu"

Agar kesehatannya tetap terpantau, sapi mesti dipelihara secara intensif seperti punya kandang kolektif yang berfungsi semacam pos pelayanan terpadu (posyandu), dan dilengkapi alat timbang untuk memonitor perkembangan berat badannya. Di dalam kandang itu ada pula seekor pejantan (perame) selaku ”gigolo” yang siap mengawini puluhan betina atau perinak yang datang masa berahinya.

”Keadaan menuntut demikian, sebab kalau dibiarkan merumput sendiri, energinya banyak terbuang, apalagi dengan segala keterbatasan pemiliknya, menjadikan sapi tidak terkontrol perawatannya serta melambat perkembangan populasinya,” ujar Dahlanuddin, Kordinator Program Australian Center for International Agricultura Research (ACIAR), yang pakar nutrisi ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Dalam kandang kumpul itu berlangsung berbagai aktivitas bertalian dengan induk sapi, sejak masa kebuntingan, beranak, menyusui, penyapihan, termasuk soal produksi, reproduksi, penimbangan anak sapi (pedet) dan lainnya. Sapi yang dipilih untuk dikandangkan adalah sapi bali sebagai bentuk pelestarian plasma nutfah ternak itu di NTB.

Kandang pun dibuat sedemikian rupa, yaitu satu bilik khusus atau kandang perkawinan yang dihuni seekor pejantan unggul yang dipilih secara selektif. Bilik lainnya yang mengelilingi bilik khusus itu dihuni sapi betina. Karena berada di satu tempat, bisa diketahui masa berahi pejantan dan betina sehingga perkawinan dilakukan tepat waktu, tidak meleset.

”Selama ini sapi betina hanya bisa melahirkan dua kali dalam tiga tahun, tetapi dengan cara ini satu induk sapi dapat melahirkan satu kali setiap tahun (diistilahkan Tiga S > Satu induk, Satu Anak, Satu tahun),” tutur Hermansyah Fany, Program Specialist Team ACIAR, yang dosen Fakultas Peternakan Universitas Mataram.

Kelahiran induk sapi memang diatur, misalnya periode Juni-Desember adalah masa proses perkawinan pejantan dan induk. Diharapkan kelahiran terjadi periode April-Mei, saat musim hujan ketika sumber pakan melimpah, agar sapi tidak kekurangan bahan pakan. Setelah nifas, atau sekitar 21 hari kemudian sapi bisa dikawinkan lagi karena sapi bisa berahi kembali, yang berlangsung antara tiga hari dan tujuh hari, begitu seterusnya.

Strategi ini juga mesti didukung bahan pakan bergizi yang cukup berupa hijauan seperti rumput, lamtoro, dan daun turi yang tersedia di lokal asal peternak, maupun hijauan unggul impor dari Australia dan Thailand seperti Brachiaria mullato, Brachiaria documbens dan Setaria.

Aspek sanitasi kandang juga menjadi salah satu perhatian utama, sebab penyakit ataupun kematian anak sapi khususnya biasanya berawal dari kandang yang kotor. Boleh jadi susu induk sapi menyentuh lantai kandang yang kotor oleh kuman dan bakteri sebelum menyusui sang anak.

Model pemeliharaan sapi seperti ini adalah hasil penelitian mulai tahun 2000. Dari penelitian itu ditemukan berbagai persoalan mendasar, di antaranya kebanyakan peternak memelihara sapi di dalam kandang kumpul, yang dijaga setiap peternak secara bergiliran setiap malam. Pola pemeliharaan ini guna memperkecil ruang gerak kawanan garong yang memboyong sapi para peternak di pedesaan Pulau Lombok.

Karena kandang kolektif merupakan kombinasi pemeliharaan dan penggemukan, maka diperlukan pembenahan manajemen pemeliharaan, produksi dan reproduksi, serta perbaikan pakan ternak untuk penggemukan termasuk ketersediaan areal untuk budidaya hijauan.

Dengan daun turi dan rumput lapangan, merujuk penelitian Dahlanuddin, kenaikan berat badan rata-rata 0,475 kg per hari, atau 0,3 kg per hari jika pakannya rumput alam saja. Di Bali dengan pakan konsentrat kenaikan berat badan sapi bisa mencapai 0,6 kg per hari.

Keterbatasan hijauan itu terindikasi di musim kemarau. Para peternak yang berasal dari beberapa desa yang krisis air di Lombok Tengah dan Lombok Timur kesulitan mendapatkan hijauan di daerah asal. Dengan menyewa truk, mereka memburu rumput ke daerah yang relatif subur di Lombok Barat.

Hasil pemantauan ini kemudian diramu sedemikian, lalu kaji tindak penelitian dipusatkan di Lombok Tengah tahun 2007. ACIAR kemudian menyokong dana Rp 6 juta untuk membeli sapi pejantan, selain melakukan pendampingan pada peternak. Dalam dua tahun ini program ini membuahkan hasil menggembirakan.

Dari 24 kelompok binaan ACIAR di Lombok Tengah, angka kelahiran mencapai 90 persen atau lebih tinggi dari rata-rata kelahiran berdasarkan data Dinas Peternakan NTB sebesar 51,7 persen, malah lebih baik ketimbang tingkat keberhasilan kawin suntik (inseminasi buatan/IB) di Kabupaten Lombok Barat yang mencapai 16,3-23,25 persen.

Kemudian bobot lahir anak sapi juga meningkat menjadi rata-rata 15-16 kg, malah ada yang 22 kg, dari bobot lahir anak sapi bali umumnya 13 kg. Begitu pun tingkat kematian ditekan menjadi 5,7 persen (tahun 2009), atau di bawah angka kematian rata-rata NTB, 15 persen. Menurut penelitian tingkat kematian sapi bali di Bali 8,5 persen, di Sulawesi Selatan 8 persen, dan di Nusa Tenggara Timur sebesar 48 persen.

”Dari 35 ekor induk, 25 ekor di antaranya melahirkan dua bulan lalu. Tidak ada anak sapi yang mati,” ujar Fathul Hayi, On Grown Team ACIAR, petugas penyuluh lapangan yang bertugas di Desa Batu Nyala, Lombok Tengah.

Hasil-hasil itu mematahkan mitos seperti pejantan terlalu sering dikawinkan akan menjadi kurus. Realitas di lapangan menyebutkan, seekor pejantan sapi bali unggul mampu mengawini 100 ekor betina. Padahal, instansi teknis merekomendasi seekor pejantan maksimal mengawini 50 ekor betina.

Mengingat keterbatasan bahan pakan, peternak menanami sawahnya dengan hijauan. Alwi, warga Dusun Lelong, Desa Kelebuh, Lombok Tengah, umpamanya. Sawahnya seluas tiga are, seusai bercocok tanam padi, sebagian besar untuk budidaya hijauan makanan hewan, sisanya ditanami palawija.

Alwi sempat bertengkar dengan mertuanya, yang ingin sawahnya ditanami padi dan palawija, bukan rumput. Namun, ia berhasil membungkam mertuanya karena satu ekor sapi hasil penggemukannya bisa dijual Rp 6 juta.

Manfaat lain dari model pemeliharaan ini terlihat pada pemilik sapi pejantan. Pasalnya, pemilik sapi betina harus membayar ”mas kawin” kepada pemilik sapi pejantan sebesar Rp 20.000 untuk anggota kandang kumpul, dan Rp 25.000 untuk peternak bukan anggota kandang kelompok.

Rumawan, siswa kelas II Jurusan Multimedia SMK I Praya Tengah, mengatakan, seekor sapi pejantan milik pamannya yang dipeliharanya sudah mengawini 36 ekor sapi betina. Dari mas kawin sapi itu, warga Dusun Sukadana, Desa Jurang Jaler, Lombok Tengah, bisa membiayai sekolahnya.

”Semula, pulang sekolah, main-main, atau nonton televisi,” ungkapnya. Kini, Rumawan sibuk memberi makan dan memandikan sapinya, malah sapi itu diberinya penambah tenaga berupa dua butir telur ayam saban pagi, ”biar dia tambah kuat dan tangguh melayani betina,” tuturnya.

Program ini selain menimbulkan sikap kewaspadaan, juga memacu semangat berkompetisi antarpeternak, terutama meningkatkan berat badan ternaknya yang ditimbang tiap tiga bulan sekali. ”Pemilik yang berat sapinya tidak naik-naik, jadi bahan olok-olok peternak,” tutur Fathul Hayi. (RUL)***

Source : Kompas, Senin, 18 Januari 2010 | 02:29 WIB

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template