Senin, 18 Januari 2010

Inpres Nomor 7 Tahun 2010 tentang Kebijakan Perberasan

BUSTANUL ARIFIN. (Foto : TOK)***

ANALISIS EKONOMI

Keterbukaan dan Kekakuan Birokrasi

Oleh BUSTANUL ARIFIN

Sebagaimana siklus tahunan, pada Desember-Januari harga beras pasti naik, kadang sangat signifikan karena volume suplai yang berkurang. Musim panen beras diperkirakan baru mulai bulan Maret karena hujan agak terlambat sehingga waktu tanam pun terlambat. Pemerintah pasti paham betul siklus tahunan ini sehingga keseimbangan penawaran dan permintaan beras di seluruh Indonesia sangat ditentukan oleh pengelolaan stok beras.

Inpres Nomor 7 Tahun 2010 tentang Kebijakan Perberasan telah memberi mandat kepada segenap instansi pusat dan daerah melalui Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk menetapkan kebijakan stabilisasi harga beras domestik.

Dengan demikian, diskusi publik bisa lebih produktif, dengan tidak terlalu mempersoalkan angka batas besaran kenaikan beras; apakah di atas 25 persen atau kurang, yang sering dijadikan basis pengambilan keputusan untuk operasi pasar. Diskusi bisa diarahkan pada peningkatan konfidensi pemerintah sehingga mampu menenangkan rakyat, menjaga psikologi pasar beras, atau mengurangi spekulasi para pemburu rente.

Pemerintah menggunakan argumen, kenaikan harga beras hanya 7,41 persen selama sebulan terakhir walaupun mengakui terjadi kenaikan 12,36 persen dibandingkan Januari 2009. Beberapa media nasional memberitakan telah terjadi kenaikan harga beras kualitas medium (IR 64 dan sejenisnya) sekitar Rp 1.000 rupiah per kilogram atau di atas 25 persen dibandingkan dengan harga bulan September 2009 (Kompas 14/1/2010).

Jika argumen terlalu terpaku pada persoalan teknis penghitungan tingkat kenaikan, perdebatan akan melebar sampai pada metodologi pengambilan data, jumlah sampel observasi, penghitungan rata-rata kenaikan, batas simpangan baku yang dibenarkan, dan seterusnya. Sementara harga beras terus naik dan mempersulit akses masyarakat terhadap pangan, terutama masyarakat miskin.

Berikut dibahas beberapa faktor strategis dalam fenomena kenaikan harga beras tahun ini serta jalan keluar yang seharusnya diambil pemerintah. Pertama, keterbukaan informasi stok beras yang dikelola pemerintah melalui Bulog yang kini mencapai 1,6 juta ton. Jumlah tersebut termasuk cadangan beras pemerintah sebanyak 526.000 ton, yang seharusnya selalu siap dimobilisasi untuk menstabilkan harga beras.

Saat ini pedagang dan spekulan beras tengah mencermati akurasi informasi stok sambil menunggu informasi lain yang relevan untuk menyesuaikan perencanaan stok dan volume perdagangan beras yang dikehendaki.

Ketika harga beras dunia amat liar pada 2008 dan 2009, Indonesia mampu meredam kenaikan harga beras di dalam negeri karena ”keberhasilan” Bulog mengelola stok beras domestik, kekuatan jaringan Bulog dengan pedagang swasta, dan faktor dukungan produksi padi yang memadai.

Tindakan spekulasi dan penimbunan beras dapat dihindari karena harga di pasar internasional sangat tinggi. Apabila pada musim tanam (paceklik) tahun ini pemerintah dan Bulog mampu melakukan minimal sama dengan 2009, kenaikan harga yang lebih tinggi pasti dapat dihindari.

Persoalannya, saat ini produksi padi yang diperkirakan 63,8 juta ton gabah kering giling atau 38 juta ton beras mungkin akan turun. Laporan dari Departemen Pertanian AS, 13 Januari 2010, memuat estimasi produksi beras dunia 2009/2010 mencapai 434,7 juta ton atau sekitar 3 persen dari produksi 2008/2009. Penyebabnya, penurunan produksi di Brasil, India, Indonesia, dan Filipina karena iklim ekstrem pada pertengahan 2009. Adapun produksi beras AS meningkat sampai 7 juta ton karena pertambahan produktivitas yang cukup pesat.

Produksi beras Indonesia diperkirakan turun 600.000 ton, atau maksimum mencapai 37,4 juta ton, karena dampak musim kering 2009. Estimasi ini tidak jauh beda dari perkiraan penulis (Kompas, 27/7/2009).

Masalah manajemen

Apabila pemerintah dan Bulog sengaja menyimpan informasi stok beras yang sebenarnya untuk tujuan mengurangi kepanikan pasar, mungkin tindakan itu masih dapat dibenarkan. Taruhannya adalah ketika volume beras yang diperdagangkan di pasar semakin tipis dan stok beras yang dikuasai Bulog semakin habis, kenaikan harga beras dapat lebih dahsyat.

Pada bulan Januari ini, Bulog nyaris tidak melakukan pengadaan beras dari gabah petani sehingga harga beras sangat ditentukan oleh volume keseimbangan penawaran dan permintaan di lapangan. Pada kondisi ini, pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat dengan segera menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang estimasi produksi sebagai gambaran kemampuannya mengelola stok beras di dalam negeri.

Kedua, harga keseimbangan beras di dalam negeri sangat terkait dengan tekanan permintaan beras dari kelompok rumah tangga miskin dan menengah. Jika penyaluran beras kepada kelompok miskin normal, mereka cukup mengandalkan pasokan beras dari program beras untuk rakyat miskin (raskin).

Namun, ketika penyaluran raskin terhambat karena persoalan birokrasi di tingkat pusat, kelompok miskin (dan menengah) terpaksa membeli beras secara komersial. Pada siklus berikutnya, tambahan tekanan permintaan ini—apalagi pada kondisi stok beras yang kritis—dapat mengerek harga keseimbangan beras ke atas.

Pada tahun ini pemerintah dan anggota parlemen sepakat mengurangi jumlah rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin, dari 18,5 juta menjadi 17,5 juta. Volume beras yang disalurkan pun dikurangi dari 15 kg menjadi 13 kg per bulan karena pagu subsidi pangan menurun dari sekitar Rp 13 triliun pada APBN-Perubahan Tahun 2009 menjadi Rp 11,84 triliun pada APBN 2010.

Pemerintah daerah yang selama ini menjadi ujung tombak penyaluran raskin dari titik distribusi sampai ke RTS tampak tidak mau mengambil risiko karena panduan pelaksanaan perubahan kebijakan itu belum jelas. Pada kondisi seperti ini, operasi pasar mungkin hanya bermanfaat untuk meredam kenaikan harga beras lebih tinggi, tetapi tidak memecahkan persoalan manajemen stok beras dan keseimbangan logistik.

Apakah seharusnya Bulog segera melakukan operasi pasar? Boleh saja. Paling tidak itu bermanfaat untuk mengelola faktor psikologis pasar dan menghindari spekulasi beras dari para pemburu rente. Namun, yang lebih penting adalah pembenahan birokrasi kebijakan beras dari pusat sampai daerah, berikut peningkatan kapasitas pelaku administrasi di lapangan. Inilah esensi besar harapan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa 100 hari yang sangat kritis ini.***

Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung;

Proffessorial Fellow di Intercafe dan MB-IPB

Source : Kompas, Senin, 18 Januari 2010 | 03:05 WIB

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template