Kamis, 17 Desember 2009

Kerajinan Tenun Dusun Gunden, Klaten, Jawa Tengah

Perempuan menyelesaikan tenun lurik di Dusun Gunden, Desa Balak, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (24/10). Tenun lurik merupakan salah satu program pemulihan sumber penghidupan warga yang menjadi korban gempa 27 Juli 2006. (Foto : Kompas/Heru Sri Kumoro)***

KORBAN GEMPA

Pemberdayaan Perempuan Pascabencana

Oleh Sri Rejeki

Sri Lestari (25) masih teringat rumahnya yang roboh akibat gempa 27 Juli 2006 dan merusakkan alat tenun kecilnya. Setahun setelah gempa, ia belum kembali menenun. Selain karena trauma teringat gempa, ia pun masih sibuk mengurus perbaikan rumahnya sehingga tidak sempat memperbaiki alat tenunnya.

Ia baru mulai menenun kembali setelah adanya program Pemulihan Sumber Penghidupan di kampungnya, Dusun Gunden, Desa Balak, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia bersama 28 perempuan lain lantas mengelompokkan diri dalam Kelompok TenunTirtomarto” yang dipimpinnya dan mendapat dana stimulan Rp 14,5 juta. Setiap orang mendapat Rp 500.000.

Pinjaman ini digunakan Sri dan rekan-rekannya untuk memperbaiki alat tenun bukan mesin yang disebut tustel. Dengan alat itu, mereka menenun serbet atau lap makan. Hasil dari menenun serbet sebenarnya kecil, tetapi sangat membantu perekonomian keluarga saat pekerjaan di sawah tidak ada. Pada musim tanam dan panen, Sri biasanya menjadi buruh tani dengan upah Rp 25.000-Rp 30.000 per hari. Namun, ini tidak berlangsung setiap hari. Tiga bulan sekali kami baru dapat pekerjaan,” katanya.

Serbet ukuran 40 cm x 40 cm dihargai Rp 1.300-Rp 1.400 per lembar. Nilai ekonomisnya rendah. Padahal, serbet itu dibuat secara manual. Lembaga swadaya masyarakat Gita Pertiwi yang menggelar program ini lantas mendampingi para perempuan untuk meningkatkan nilai ekonomi hasil tenun. Para ibu diarahkan untuk membuat kain lurik. Harga kain lurik ukuran 200 cm x 110 cm adalah Rp 50.000 per lembar dan ukuran 70 cm x 110 cm adalah Rp 40.000 per lembar.

Namun, bukan perkara mudah mengalihkan produksi dari serbet ke kain lurik. Kendala keterampilan, alat, modal, bahan baku, hingga pemasaran membuat banyak penenun berpikir panjang untuk membuat kain.

Seperti Sri Lestari, alat yang dimilikinya adalah tustel kecil yang hanya dapat digunakan untuk membuat serbet dan selendang. Untuk membuat kain lurik dibutuhkan tustel besar. Penenun juga harus meningkatkan keterampilan teknik menenunnya untuk membuat kain.

Penenun lain, Atun Wigati (40), mengeluhkan masalah modal, bahan baku, dan pemasaran. Menurut dia, harga benang untuk kain mencapai Rp 90.000 per kg, sedangkan untuk membuat serbet harganya hanya Rp 30.000 per kg. Setelah jadi kain juga bingung mau memasarkannya. Kalau serbet, ada pengepul yang rutin datang ke sini,” katanya.

Perubahan positif

Namun, Tatun Firnawati (29) telah merasakan perubahan positif dengan memproduksi kain lurik. Semula warga Dusun Bogor, Desa Bogor, Kecamatan Cawas, ini juga hanya membuat serbet. Setelah mengikuti pendampingan dari Gita Pertiwi, ia meneguhkan tekadnya membuat kain. Tatun banyak belajar dari sosok Mbah Mangun, sesepuh Dusun Soka di Desa Bogor yang dikenal sebagai penenun kawakan.

Tatun yang berasal dari Indramayu sebenarnya tidak bisa menenun. Mantan buruh pabrik ini mulai menenun setelah tinggal di kampung halaman suaminya di Desa Bogor. Tatun yang bergabung dengan Kelompok Tenun Bogor Sejahtera ini berbagi tustel dengan mertua perempuannya. Keduanya bergantian menenun dengan satu-satunya alat yang dimiliki.

Dari satu bum (kumpulan benang) dapat dihasilkan serbet 400 meter atau 40 kodi serbet dengan harga satu kodi Rp 30.000. Total diperoleh Rp 1,2 juta. Untuk produksi kain, dari satu bum dapat dihasilkan 150 meter kain atau 70 potong kain dengan harga Rp 50.000 per potong. Total diperoleh Rp 3,5 juta.

Untuk kasus penenun yang sulit beralih dari membuat serbet akhirnya diarahkan untuk membuat serbet dengan pewarnaan alami yang tidak luntur. Harganya lebih mahal dari serbet biasa, mencapai Rp 2.500 per lembar.

Surat edaran bupati

Perempuan di Cawas yang selama ini menekuni pertenunan, beberapa tahun terakhir, tersingkir oleh persaingan kain bermotif tenun produksi industri tekstil. Surat Edaran Bupati Klaten yang mewajibkan pakaian dinas lurik sekali seminggu di kalangan pegawai negeri sipil tidak serta-merta menguntungkan para penenun karena surat itu tidak tegas menyebutkan yang harus dipakai adalah lurik produksi alat tenun bukan mesin (ATBM).

Tenun adalah sumber penghidupan dan nafkah perempuan di Cawas. Terjadinya gempa menyebabkan perempuan menjadi korban ganda. Untuk itu, kami sengaja mengambil program dengan prioritas perempuan dan anak,” kata Direktur Eksekutif Gita Pertiwi Rossana Dewi.

Dengan menghidupkan kembali sumber penghidupan di desa, diharapkan para perempuan tidak berurbanisasi ke kota. Selama ini cukup banyak perempuan setempat yang merantau ke kota dengan menjadi pembantu rumah tangga. Program Pemulihan Sumber Penghidupan merupakan kerja sama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia yang dilaksanakan oleh Gita Pertiwi dan Yogyakarta-Central Java Assistance Program. Enam bulan pertama dari program yang dimulai Juli 2007 ini difokuskan pada perbaikan alat tenun.

Kami juga mengumpulkan anak-anak muda yang tidak bisa menenun, tetapi antusias bergabung. Mereka dilatih menjahit atau terlibat dalam pemasaran dan promosi,” tambah Dewi.

Selain meningkatkan nilai ekonomi hasil tenun, para ibu juga diajarkan pewarnaan alami untuk menekan dampak pencemaran lingkungan.

Setelah dua tahun berjalan, sejumlah produsen besar yang diundang bermitra mulai menjalin kerja sama penjajakan dengan penenun setempat, seperti Yoga Art and Craft, Klaten, sebuah produsen tas etnik di Yogyakarta, dan seorang pengusaha batik ternama di Solo.

Kini, sudah 918 orang tercatat sebagai penerima manfaat program ini dengan 98 persen di antaranya adalah perempuan. Program ini menyentuh 12 desa di Kecamatan Cawas dengan 30 bentukan kelompok swadaya, terdiri dari 23 kelompok tenun dan 7 makanan olahan. Ada 4 outlet produsen dan 1 outlet bersama untuk memajang produksi anggota kelompok yang peresmiannya dibuat meriah dengan hiburan kesenian lokal pada 24 Oktober 2009.

”Program ini memang tidak mudah karena melibatkan upaya mengubah paradigma. Meski secara resmi program ini berakhir November 2009, kami masih mendampingi hingga setahun ke depan untuk promosi dan pemasaran agar benar-benar berjalan,” kata Dewi.***

Source : Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 | 03:58 WIBmengawal

0 Comments:

 

Site Info

free counters

Followers

bisnisreang@yahoo.com Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template